Kepahaman diri seseorang, sejauh yang aku pahami sebagai
orang awam dan dungu, bukan melulu ditakar dari tinggi jenjang status sosial, pendidikan
akademis orang itu ataupun seberapa banyak buku-buku berkelas yang telah ia
baca, melainkan juga perlu memperhatikan, salah satunya, laku kehidupan
sehari-hari orang itu dalam berinteraksi dengan manusia lain dalam everyday-life (kehidupan sehari-hari).
…
Interaksi
bisa dimana pun terjadi dan seperti
biasa kalau lagi libur toko aku suka ketemuan dengan beberapa teman di
Corner Resto. Seperti biasa kami ber
haha hihi dan ngobrol tentang hal yang ringan dan santai..yaah pokoknya ngobrol
yang gak bikin pusing kepala, suasana rileks ini membuat lelah seminggu menjadi
kendor. Pengunjung resto malam ini cukup ramai dari hari hari biasanya. Aku
dan Reina duduk di pojok belakang dekat kolam kecil resto, ditempat ini tidak
ada asap rokok dan sejuk membuat suasana yang enak buat bicara dan tidak begitu
gaduh.
Malam
ini teman teman yang suka nimbrung bareng menghabiskan malam di Corner Resto sepertinya
masih punya kegiatan yang padat. Jadi malam ini hanya aku berdua saja dengan Reina, dan aku paham betul menu favorit temanku
Reina: Secangkir luwak white
kaffie panas. Sementara menu favoritku:
secangkir kopi latte tanpa gula dan
gorengan berminyak yang lezat (setidaknya menurutku demikian).
Aku
sudah berteman dengan Reina sejak awal mula aku membuka toko bahan kimia dan plastik
milikku. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Ya, setelah aku menyelesaikan
kuliah dan mengalami kerasnya dunia kerja di lingkungan perusahaan yang penuh
intrik kotor dan menjijikkan, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha saja. Istilahnya “Jadi bos bagi diriku sendiri”, itu keinginanku.
Beruntung,
aku mendapat warisan dari kedua orang tuaku berupa tanah berukuran 250 meter persegi yang terletak tepat di
pinggir jalan raya dekat rumahku. Sebenarnya, tanah itu milik almarhum kakekku,
yang diwariskan ke bapakku, yang sudah bertahun-tahun dibiarkan terlantar begitu
saja. Lalu, sebagian dari luas tanah
warisan itu aku jual ke seorang pengusaha bengkel mobil dan kemudian uang
pembayarannya aku gunakan sebagai modal awalku untuk membuka usaha bahan kimia
karena aku memang punya pengalaman di bidang ini. Usaha
ini sungguh menjanjikan mengingat di daerahku ini lingkungan usaha home industri, sebelum aku membuka usaha ini
biasanya mereka membeli bahan kimia ke kota dan sedikit sekali orang yang membuka usaha
toko bahan kimia dan plastik kemasan, pikirku dulu.
Jadi,
suatu siang Reina datang ke toko milikku. Kebetulan, aku sedang ada di toko dan
melayani para pelanggan setiaku.
“Mas,
ada baking soda merk, butterfly, gak?” tanya Reina, dengan ramah dan ekspresi
yang sedikit bingung. Ia waktu itu memakai T-shirt berwarna biru muda kotak kotak dan jeans ketat berwarna hitam, sementara
rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai indah.
“Ada,
mbak. Mau berapa banyak ya?”
“Dua
botol yang ukuran besar , Mas. ya?”
“Oh
iya, ada Mbak. Tunggu sebentar ya, saya ambilkan dulu.”
Aku
lalu pergi ke belakang menuju gudang penyimpan yang sudah aku buatkan untuk
masing masing bahan khusus makanan dan minuman biasa disimpan. Nah
ini dia, baking soda yang mbak cantik
itu cari.
“Ini,
Mbak. Baking Soda butterfly nya. Gimana?”
“Oke,
Mas. Jadi, berapa?” jawabnya sambil sesekali mengecek smartphone miliknya.
“90
ribu, Mbak.” jawabku singkat sembari menatap matanya dalam-dalam.
Lalu,
ia mengeluarkan sebuah dompet lipat panjang dari tas hitam mungil bermerek Mulberry miliknya. Woow Ia bukan
seorang perempuan biasa, pikirku.
“Ini
uangnya, Mas,” ia menyodorkan uang pembayarannya ke tanganku. “Oh ya, Mas, saya
boleh minta tolong dipindahin kotak kayu
di dalam mobil saya ini ke kabin
belakang?” Ia meminta dengan senyum
manis yang begitu menggoda. Tanpa banyak berpikir, aku langsung mengangguk dan
buru-buru mengangkat kotak kayu yang dimaksud ke dalam kabin bagasi mobil BMW hitam
miliknya.
“Terima
kasih ya, Mas.”
“Iya,
sama-sama, Mbak.”
“Reina.”
Dia mengenalkan dirinya.
“Oh
iya. Ferry.” Sambut ku membalas.
“Oh,
Mas pegawai di sini ya?”
“Kebetulan
saya pemilik toko bahan kimia dan plastik
ini, Mbak.”
“Wah.
Maaf, ya Mas? He he. Saya tidak tahu.”
Aku
tertawa kecil dalam hati. Wajahku memang tidak terlihat meyakinkan untuk
dianggap sebagai pengusaha. Malu juga ya? Menyedihkan sekali aku ini. Aku lalu
menjawab tidak masalah dan ia tersenyum. Setelah itu, ia masuk ke dalam
mobilnya dan pergi melesat meninggalkanku sendirian.
Oh
ya, ia memberikan nomor hapenya kepadaku. Ia bilang kepadaku, telfon ia jika
ingin bertemu.
Semenjak
itu, aku sering bertemu Reina, terutama saat malam liburan. Aku, kemudian,
mengetahui bahwa Reina, anak seorang pengusaha beberapa hotel di Jakarta. Sementara ibunya menjadi dosen di
salah satu universitas swasta di Jakarta juga. Ia tinggal di sini bersama dua adiknya,
seorang satpam dan seorang pembantu rumah tangga. Atas pengakuannya sendiri, ia
berkata kepadaku bahwa ia rindu dengan kedua orangtuanya yang terlalu sibuk
dengan urusannya masing-masing. Sementara ayah dan ibunya menempati rumah di Jakarta,
ia hidup di sini, di daerah kecil ini.
Saat
awal bertemu denganku ia berumur sembilan
belas tahun atau empat tahun lebih muda daripada aku. Aku tanya mengapa ia
tidak kuliah dan ia jawab kuliah itu mengekang pikirannya dan malah membuat ia
seperti robot-robot pencari kuasa. Aku kemudian membalas begini: Tetapi
barangkali kuliah bisa menyelamatkan banyak orang dari kubangan kemiskinan kronis..
waktu itu, kami ngobrol di dekat
rumahku, dia cuma tersenyum sembari mengggores-gores meja dengan kunci
mobilnya. Aku juga tersenyum melihat ia memasang ekspresi bingung.
***
Malam
ini aku dan dia sudah banyak bicara soal apa saja yang bikin suasana rileks,
rasanya gak habis habisnya yang di obrolin lalu terdiam sesaat sambil menikmati cuaca cerah malam karena
beberapa hari ini cuaca kurang bersahabat.
“Eiiih,
omong-omong nih, aku mau cerita sesuatu ke kamu Fer,” tiba-tiba air muka Reina,
teman perempuanku yang manis itu, berubah menjadi serius banget.
“Cerita
apa nih? Ayo cerita saja Reina,” jawabku dengan santai.
“Jadi
gini, Fer. Kemarin aku ketemu bapakku. Nah, dia bilang kalau aku harus cepat
nikah karena bapak dan mama ku sudah kepengen punya momongan cucu. Kamu kan tahu Fer kalau aku anak sulung. Apalagi, aku anak
perempuan. Masalahnya, aku belum siap nikah. Aku juga ragu dengan tujuan nikah.
Buat apa sih nikah itu?” Ia bercerita dengan
semangat, sesekali memasang muka sebal, sambil menghirup white kaffie panasnya.
“Waduh.
Aku juga bingung nih. Soalnya, aku juga belum pernah dituntut nikah. Ibu aku
selama ini cukup tenang melihat aku yang hampir kepala tiga ini masih
melajang,” jawabku bingung.
“Fer,
bagaimana kalau kamu jadi pacar aku?”
“Hah?
Gila kamu!! Ha ha ha,” sebenarnya aku senang dengan permintaan Reina, tetapi aku
teringat latar belakang keluarganya.
Aku
teringat pertemuan pertamaku dengan ayah dan ibu Reina lima tahun yang lalu.
Waktu itu, aku diajak Reina mengunjungi orang tuanya di Jakarta. Ketika aku
sampai di rumah orang tuanya, aku dibuat kagum dengan kemegahan rumahnya yang mewah
dan bergaya retro. Itu sudah cukup membuat nyaliku menciut. Setelah
dipersilakan masuk oleh ayah ibu Reina, kami berempat duduk di ruang tamu.
Setelah berbasa basi, menanyakan nama, alamat tinggalku, tiba-tiba ayah Reina
memutarkan pertanyaan yang di luar perkiraanku: “ Kerja kamu apa, Fer?”
Sontak
aku kaget. Mengapa ayah Reina bertanya soal kerjaanku? Aneh sekali ini. Aku
dengan pelan menjawab, “ Berdagang, Pak.” Ia nampak bingung dengan jawabanku
dan menjawab, “Oh. Saya kira kamu punya perusahaan, Fer. Dalam pikiranku berdagang itu bagus tapi dengan kondisi saat ini agak
berat ya? Turunnya daya beli sulit
untuk berkembang.”
Tiba
tiba Reina ngangetin aku, bilang; “Fer, aku serius sama kamu. Begini, Fer. Aku
lebih baik terus sama kamu, walaupun kita berdua nggak menikah, daripada harus
dijodoh-jodohkan dengan seorang pria yang nggak aku suka. Aku lebih baik mati
di samping kamu, Fer.. Aku serius !”..
Ah,
Reina. Kau pandai menciptakan problem baru dalam diriku. Selama aku SMA dan kuliah
dulu, aku tidak pernah bertemu dengan sosok perempuan yang sama lucunya, yang
sama cantiknya, yang sama uniknya seperti kau Reina. Tetapi ini gila! Aku masih
ingat bahwa orang tuamu kelihatan aneh ketika mengetahui pekerjaanku. Aku tidak
ingin membuat kau terluka dengan jurang pemisah semacam perbedaan status sosial
seperti ini. Aku ini pedagang kecil yang takkan bisa menyaingi usaha bapakmu
apalagi membuat dirimu bahagia dalam usaha kecilku ini…
Tapi kata orang
bijak, bahwa: Cinta itu dapat bebas sejauh ia tidak menentang status sosial
orang. Itu yang masih aku percayai sampai detik
ini. Sialnya, aku bertemu dengan seorang malaikat cantik yang pesakitan, yang
menantang prinsip cintaku ini.
Spontan
aku mencium pipinya dengan mesra. Lekat sekali, hangat sekali. –begitu
saja.
Aku terdiam,
seolah tak menyangka, bagaimana bisa sesuatu yang aku pikir tidak mungkin
adalah sesuatu yang mungkin, aku mencintainya juga, sejak pertama kali aku
bertemu Reina, aku telah jatuh cinta. Tapi mendengar ucapannya membuat aku bahagia.
“Bagaimana
jika aku mencintaimu juga?" kataku pada Reina.
“Ya, aku
senang, sangat senang, setidaknya hatiku tak bertepuk sebelah tangan, Reina
menjawab ucapanku. Mengetahui bahwa ciuman yang kau berikan padaku, bukan hanya
pipimu, tapi hatimu juga, apa kau mencintaiku sebagaimana aku?“ ucap Reina.
“Mencintaimu? Sudah ku lakukan, sejak pertama kali kita saling bertemu di tokoku, kau begitu
tergesa-gesa pergi, hingga sesuatu yang tumbuh di tempat lain tak kau sadari, bahwa
aku ingin menciummu berkali-kali, tapi tak pernah sampai pada bibir hatimu. Aku
sudah mencintaimu sebelum bertemu, dan lebih mencintaimu sesudah bertemu“,
jawabku.
Reina memelukku,
sangat erat seperti tak ingin sesuatu terlepas, begitu juga aku, aku memeluknya
begitu erat, sangat erat, seperti seorang kanak menggenggam kembang gula demi
tak dipinta seseorang, kami saling terdiam dalam pelukan yang saling erat,
begitu lama.
“Aku
bahagia, sangat bahagia, ternyata hati kita sudah saling mengenali,
sudah saling berciuman. Maafkan aku, tak seharusnya aku mengatakan bahwa aku
mencintaimu sementara aku tak memiliki kesiapan memilikimu, semestinya aku
biarkan saja kau terus bertanya-tanya tentang perasaanku, biar tak ku lukai
hatimu yang begitu sangat ingin ku rengkuh, tapi aku ingin kamu juga tahu, biar
terus mengingat bahwa aku juga merindukanmu, aku kehilangan jika kau tak ada. Aku mencintaimu, sungguh ini kesalahanku“. Ucapnya, kali ini matanya yang sendu
menjatuhkan gerimis, mengalir menuju pipinya, kemudian jatuh di bibirnya.
Karena
sudah larut malam dan jam menunjukkan pukul 23:00 wib, kami beranjak pulang dan
ku antar Reina pulang. Setelah sampai di rumahnya aku katakan pada Reina untuk
segera menemui kedua orangtuanya. Kita tak perlu menunggu waktu lagi dan jadilah
teman hidupku selamanya..
By: FR
By: FR
0 komentar:
Post a Comment