Friday, 24 March 2017

SEBUAH CERITA ROMANTIKA HIDUP .

Kepahaman diri seseorang, sejauh yang aku pahami sebagai orang awam dan dungu, bukan melulu ditakar dari tinggi jenjang status sosial, pendidikan akademis orang itu ataupun seberapa banyak buku-buku berkelas yang telah ia baca, melainkan juga perlu memperhatikan, salah satunya, laku kehidupan sehari-hari orang itu dalam berinteraksi dengan manusia lain dalam everyday-life (kehidupan sehari-hari).



Interaksi  bisa dimana pun terjadi dan seperti biasa kalau lagi libur toko aku suka ketemuan dengan beberapa teman di Corner Resto. Seperti biasa  kami ber haha hihi dan ngobrol tentang hal yang ringan dan santai..yaah pokoknya ngobrol yang gak bikin pusing kepala, suasana rileks ini membuat lelah seminggu menjadi kendor. Pengunjung resto malam ini cukup ramai dari hari hari biasanya. Aku dan Reina duduk di pojok belakang dekat kolam kecil resto, ditempat ini tidak ada asap rokok dan sejuk membuat suasana yang enak buat bicara dan tidak begitu gaduh.
Malam ini teman teman yang suka nimbrung bareng  menghabiskan malam di Corner Resto sepertinya masih punya kegiatan yang padat. Jadi malam ini  hanya aku berdua saja dengan Reina,  dan aku paham betul menu favorit  temanku Reina: Secangkir luwak  white kaffie  panas. Sementara menu favoritku: secangkir kopi  latte tanpa gula dan gorengan berminyak yang lezat (setidaknya menurutku demikian).
Aku sudah berteman dengan Reina sejak awal mula aku membuka toko bahan kimia dan plastik milikku. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Ya, setelah aku menyelesaikan kuliah dan mengalami kerasnya dunia kerja di lingkungan perusahaan yang penuh intrik kotor dan menjijikkan, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha saja. Istilahnya “Jadi bos bagi diriku sendiri”, itu keinginanku.
Beruntung, aku mendapat warisan dari kedua orang tuaku berupa tanah berukuran  250 meter persegi yang terletak tepat di pinggir jalan raya dekat rumahku. Sebenarnya, tanah itu milik almarhum kakekku, yang diwariskan ke bapakku, yang sudah bertahun-tahun dibiarkan terlantar begitu saja. Lalu, sebagian  dari luas tanah warisan itu aku jual ke seorang pengusaha bengkel mobil dan kemudian uang pembayarannya aku gunakan sebagai modal awalku untuk membuka usaha bahan kimia karena aku memang punya pengalaman di bidang ini. Usaha ini sungguh menjanjikan mengingat di daerahku ini lingkungan usaha home  industri, sebelum aku membuka usaha ini biasanya mereka membeli bahan kimia ke kota dan sedikit sekali orang yang membuka usaha toko bahan kimia dan plastik kemasan, pikirku dulu.
Jadi, suatu siang Reina datang ke toko milikku. Kebetulan, aku sedang ada di toko dan melayani para pelanggan setiaku.
“Mas, ada baking soda merk, butterfly, gak?” tanya Reina, dengan ramah dan ekspresi yang sedikit bingung. Ia waktu itu memakai T-shirt berwarna biru muda kotak kotak  dan jeans ketat berwarna hitam, sementara rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai indah.
“Ada, mbak. Mau berapa banyak  ya?”
“Dua botol yang ukuran besar , Mas.  ya?”
“Oh iya, ada Mbak. Tunggu sebentar ya, saya ambilkan dulu.”
Aku lalu pergi ke belakang menuju gudang penyimpan yang sudah aku buatkan untuk masing masing bahan khusus makanan dan minuman  biasa disimpan.  Nah ini dia, baking soda  yang mbak cantik itu cari.
“Ini, Mbak. Baking Soda butterfly nya. Gimana?”
“Oke, Mas. Jadi, berapa?” jawabnya sambil sesekali mengecek smartphone miliknya.
“90 ribu, Mbak.” jawabku singkat sembari menatap matanya dalam-dalam.
Lalu, ia mengeluarkan sebuah dompet lipat panjang dari tas hitam mungil bermerek Mulberry miliknya. Woow  Ia bukan seorang perempuan biasa, pikirku.
“Ini uangnya, Mas,” ia menyodorkan uang pembayarannya ke tanganku. “Oh ya, Mas, saya boleh minta tolong dipindahin kotak kayu  di dalam mobil saya ini  ke kabin belakang?” Ia meminta dengan senyum manis yang begitu menggoda. Tanpa banyak berpikir, aku langsung mengangguk dan buru-buru mengangkat kotak kayu yang dimaksud  ke dalam kabin bagasi mobil BMW hitam miliknya.
“Terima kasih ya, Mas.”
“Iya, sama-sama, Mbak.”
“Reina.” Dia mengenalkan dirinya.
“Oh iya. Ferry.” Sambut ku membalas.
“Oh, Mas pegawai di sini ya?”
“Kebetulan saya pemilik toko  bahan kimia dan plastik ini, Mbak.”
“Wah. Maaf, ya Mas? He he. Saya tidak tahu.”
Aku tertawa kecil dalam hati. Wajahku memang tidak terlihat meyakinkan untuk dianggap sebagai pengusaha. Malu juga ya? Menyedihkan sekali aku ini. Aku lalu menjawab tidak masalah dan ia tersenyum. Setelah itu, ia masuk ke dalam mobilnya dan pergi melesat meninggalkanku sendirian.
Oh ya, ia memberikan nomor hapenya kepadaku. Ia bilang kepadaku, telfon ia jika ingin bertemu.
Semenjak itu, aku sering bertemu Reina, terutama saat malam liburan. Aku, kemudian, mengetahui bahwa Reina, anak seorang pengusaha beberapa hotel  di Jakarta. Sementara ibunya menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta  juga. Ia tinggal di sini bersama dua adiknya, seorang satpam dan seorang pembantu rumah tangga. Atas pengakuannya sendiri, ia berkata kepadaku bahwa ia rindu dengan kedua orangtuanya yang terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Sementara ayah dan ibunya menempati rumah di Jakarta, ia hidup di sini, di daerah kecil ini.
Saat awal bertemu denganku ia berumur  sembilan belas tahun atau empat tahun lebih muda daripada aku. Aku tanya mengapa ia tidak kuliah dan ia jawab kuliah itu mengekang pikirannya dan malah membuat ia seperti robot-robot pencari kuasa. Aku kemudian membalas begini: Tetapi barangkali kuliah bisa menyelamatkan banyak orang dari kubangan kemiskinan kronis.. waktu itu, kami ngobrol  di dekat rumahku, dia cuma tersenyum sembari mengggores-gores meja dengan kunci mobilnya. Aku juga tersenyum melihat ia memasang ekspresi bingung.
***
Malam ini aku dan dia sudah banyak bicara soal apa saja yang bikin suasana rileks, rasanya gak habis habisnya yang di obrolin lalu terdiam sesaat  sambil menikmati cuaca cerah malam karena beberapa hari ini cuaca kurang bersahabat.
“Eiiih, omong-omong nih, aku mau cerita sesuatu ke kamu Fer,” tiba-tiba air muka Reina, teman perempuanku yang manis itu, berubah menjadi serius banget.
“Cerita apa nih? Ayo cerita saja Reina,” jawabku dengan santai.
“Jadi gini, Fer. Kemarin aku ketemu bapakku. Nah, dia bilang kalau aku harus cepat nikah karena bapak dan mama ku sudah kepengen punya momongan  cucu. Kamu kan tahu Fer kalau aku anak sulung. Apalagi, aku anak perempuan. Masalahnya, aku belum siap nikah. Aku juga ragu dengan tujuan nikah. Buat apa sih nikah itu?” Ia bercerita dengan semangat, sesekali memasang muka sebal, sambil  menghirup white kaffie  panasnya.
“Waduh. Aku juga bingung nih. Soalnya, aku juga belum pernah dituntut nikah. Ibu aku selama ini cukup tenang melihat aku yang hampir kepala tiga ini masih melajang,” jawabku bingung.
“Fer, bagaimana kalau kamu jadi pacar aku?”
“Hah? Gila kamu!! Ha ha ha,” sebenarnya aku senang dengan permintaan Reina, tetapi aku teringat latar belakang keluarganya.
Aku teringat pertemuan pertamaku dengan ayah dan ibu Reina lima tahun yang lalu. Waktu itu, aku diajak Reina mengunjungi orang tuanya di Jakarta. Ketika aku sampai di rumah orang tuanya, aku dibuat kagum dengan kemegahan rumahnya yang mewah dan bergaya retro. Itu sudah cukup membuat nyaliku menciut. Setelah dipersilakan masuk oleh ayah ibu Reina, kami berempat duduk di ruang tamu. Setelah berbasa basi, menanyakan nama, alamat tinggalku, tiba-tiba ayah Reina memutarkan pertanyaan yang di luar perkiraanku: “ Kerja kamu apa, Fer?”
Sontak aku kaget. Mengapa ayah Reina bertanya soal kerjaanku? Aneh sekali ini. Aku dengan pelan menjawab, “ Berdagang, Pak.” Ia nampak bingung dengan jawabanku dan menjawab, “Oh. Saya kira kamu punya perusahaan, Fer. Dalam pikiranku berdagang  itu bagus tapi dengan kondisi saat ini agak berat  ya? Turunnya daya beli  sulit untuk berkembang.”
Tiba tiba Reina ngangetin aku, bilang; “Fer, aku serius sama kamu. Begini, Fer. Aku lebih baik terus sama kamu, walaupun kita berdua nggak menikah, daripada harus dijodoh-jodohkan dengan seorang pria yang nggak aku suka. Aku lebih baik mati di samping kamu, Fer.. Aku serius !”..
Ah, Reina. Kau pandai menciptakan problem baru dalam diriku. Selama aku SMA dan kuliah dulu, aku tidak pernah bertemu dengan sosok perempuan yang sama lucunya, yang sama cantiknya, yang sama uniknya seperti kau Reina. Tetapi ini gila! Aku masih ingat bahwa orang tuamu kelihatan aneh ketika mengetahui pekerjaanku. Aku tidak ingin membuat kau terluka dengan jurang pemisah semacam perbedaan status sosial seperti ini. Aku ini pedagang kecil yang takkan bisa menyaingi usaha bapakmu apalagi membuat dirimu bahagia dalam usaha kecilku ini…
Tapi kata orang bijak, bahwa: Cinta itu dapat bebas sejauh ia tidak menentang status sosial orang. Itu yang masih aku percayai sampai detik ini. Sialnya, aku bertemu dengan seorang malaikat cantik yang pesakitan, yang menantang prinsip cintaku ini.
Spontan aku mencium pipinya dengan mesra. Lekat sekali, hangat sekali. –begitu saja.
Aku terdiam, seolah tak menyangka, bagaimana bisa sesuatu yang aku pikir tidak mungkin adalah sesuatu yang mungkin, aku mencintainya juga, sejak pertama kali aku bertemu Reina, aku telah jatuh cinta. Tapi mendengar ucapannya membuat aku bahagia.

“Bagaimana jika aku mencintaimu juga?" kataku pada Reina.
“Ya, aku senang, sangat senang, setidaknya hatiku tak bertepuk sebelah tangan, Reina menjawab ucapanku. Mengetahui bahwa ciuman yang kau berikan padaku, bukan hanya pipimu, tapi hatimu juga, apa kau mencintaiku sebagaimana aku?“ ucap Reina.

“Mencintaimu? Sudah ku lakukan, sejak pertama kali kita saling bertemu di tokoku, kau begitu tergesa-gesa pergi, hingga sesuatu yang tumbuh di tempat lain tak kau sadari, bahwa aku ingin menciummu berkali-kali, tapi tak pernah sampai pada bibir hatimu. Aku sudah mencintaimu sebelum bertemu, dan lebih mencintaimu sesudah bertemu“, jawabku.
            
Reina memelukku, sangat erat seperti tak ingin sesuatu terlepas, begitu juga aku, aku memeluknya begitu erat, sangat erat, seperti seorang kanak menggenggam kembang gula demi tak dipinta seseorang, kami saling terdiam dalam pelukan yang saling erat, begitu lama.

“Aku bahagia, sangat bahagia, ternyata hati kita sudah saling  mengenali,  sudah saling berciuman. Maafkan aku, tak seharusnya aku mengatakan bahwa aku mencintaimu sementara aku tak memiliki kesiapan memilikimu, semestinya aku biarkan saja kau terus bertanya-tanya tentang perasaanku, biar tak ku lukai hatimu yang begitu sangat ingin ku rengkuh, tapi aku ingin kamu juga tahu, biar terus mengingat bahwa aku juga merindukanmu, aku kehilangan jika kau tak ada. Aku mencintaimu, sungguh ini kesalahanku“. Ucapnya, kali ini matanya yang sendu menjatuhkan gerimis, mengalir menuju pipinya, kemudian jatuh di bibirnya.
Karena sudah larut malam dan jam menunjukkan pukul 23:00 wib, kami beranjak pulang dan ku antar Reina pulang. Setelah sampai di rumahnya aku katakan pada Reina untuk segera menemui kedua orangtuanya. Kita tak perlu menunggu waktu lagi dan jadilah teman hidupku selamanya..


By: FR

0 komentar:

Post a Comment