Selasa (150316)
Hari ini aku dan adik perempuanku Daisy meluangkan waktu untuk bersilaturahmi ke tempat teman kami di Tokyo serta temu
kangen dengan anak gadisku yang kuliah disana.
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang dua
jam tepatnya jam 20:45 wib dari rumah sampailah kami di bandara Soetta Tangerang. Kami
langsung ke check-in counter. Pada saat itu, ada satu pengalaman yang agak seru
juga, soal bawaan bagasi yang kupikir udah sesuai aturan penerbangan, namun
bagi petugas ternyata menjadi masalah yang tak sama dengan yang aku pikirkan.
Ceritanya
setiap penumpang cuma dikasih batas
bawaan untuk satu penumpang maks 46 kg, tapi itu bukan berat 1 koper/bawaannya tapi harus dibagi dalam beberapa koper/tas, petugas meminta aku untuk membongkar dan
memindahkan barang ke koper lain, karena koperku beratnya 37 kg harus dikurangi 5 kg..lhaa aku kan gak bawa koper cadangan, bagaimana ini???..tuing tuing..bingung juga..
Saat kebingungan itu, hp-ku berdering dan ternyata
teman yang akan ku kunjungi menanyakan keberangkatan kami. Lalu ku jawab sesuai
jadwal dan sekalian kuberitahu tentang masalah yang kuhadapi. Dia tertawa
mendengar keluhanku..”Nanti akan dikasih tahu sama petugas biar bisa nanti
diselesaikan..”
Alhamdulillah, tidak
begitu lama petugas yang lain memanggil kami dan chek-in pun bisa dilakukan....
Dalam hati aku bersyukur pada Allah. “Duuh untung temanku bisa membantu proses ini dengan baik..tidak terbayangkan jika isi
koper yang penuh dengan makanan ini jadi berantakan..”
Kata si petugas itu sambil tersenyum “Bu, mohon maaf tadi ada pemberitahuan dari perwakilan perusahaan kami di Tokyo dan mereka sudah memberi jaminan untuk membantu ibu chek-in”... lalu aku juga meminta maaf sama si petugas karena sudah merepotkannya.. (pengalaman yang berharga), lain waktu kalau bawa oleh-oleh lebih baik dipisah dan masukin kardus saja.
Selesai chek in, kami menuju ke boarding
lounge, pukul 22.30 masuk ke pesawat dan 23:45 wib take off.
Kalau aku perhatikan trotoar/pedestrian jalan dikota ini memberi fasilitas buat masyarakat yang memiliki kemampuan berbeda. Dengan penyediaan fasilitas umum yang memperhatikan kaum difabel (Different Ability). Di Jepang tidak lagi menjadi isu yang harus selalu disosialisasikan, tetapi telah menjadi bagian dari kehidupan setiap orang . Diharapkan dapat memanfaatkannya.
Jalur pedestrian/trotoar dilengkapi dengan jalur pengarah (guiding block) dan peringatan (warning block), didesain sebagai sebuah jalur yang lebar dengan permukaan yang datar serta digunakannya curb ramp pada perbedaan-perbedaan ketinggian. Bahkan untuk penyeberangan, lampu lalu lintas dilengkapi juga dengan sinyal suara, atau jika harus melalui jembatan penyebrangan maka tersedia ramp yang nyaman untuk digunakan untuk naik dan turun, berbeda dengan di Jakarta pedestrian yang sempit dan dipenuhi pedagang kaki lima, semua itu tidak menghargai hak orang lain. Di Indonesia,orang difabel belum mendapat tempat. Padahal sebagai warga negara mereka mempunyai hak yang sama seperti orang berfisik normal. Kaum difabel di Indonesia seperti terpinggirkan. Mereka sangat susah untuk mendapatkan hak menikmati fasilitas publik.
Shibuya Crossing ini diapit beberapa gedung dengan layar LED super besar, jadi kalau malam suasana penyebrang jalan jadi semarak dengan cahaya-cahaya lampu dari gedung sekitar.
160316 (rabu)
Tiba di Haneda International Airport pukul 08.40 waktu Tokyo, pertama kali menginjak kaki di Tokyo, alhamdulillah..!! Udara mulai terasa dingin ditubuhku. Padahal sudah mulai memasuki musim semi. Oh ya bandara yang besar dan banyak banget brosur dan peta perjalanan yang bisa diambil disana, jadi kalau kita gak bawa peta dari Indonesia gak masalah. Suprise juga setelah turun dari pesawat kami dijemput staff perwakilan perusahaan penerbangan yang dikomandoi temanku..waaah kayak tamu penting saja. Untuk urusan imigrasi di Jepang, bagi aku jauh lebih baik dari Indonesia.
Pihak imigrasi di bandara Haneda International Airport aku nilai sangat ramah, dan rata rata orang Jepang terlihat sangat sopan melayani kami... aaah, sungguh menyenangkan sekali travelling ke Jepang.... Sesudah melewati counter imigrasi bandara, kami menuju tempat pengambilan bagasi yang jaraknya cukup jauh dari terminal kedatangan, setelah semua selesai baru keluar ketempat para penjemput menunggu, dari jauh aku sudah melihat anak dan temanku duduk menunggu, setelah ngobrol sebentar kami semua segera menuju apartemen-nya di Meguro Park Heights, kalau di Jakarta layaknya di kawasan Menteng karena berada di jantung kota Tokyo.
Sedikit ilustrasi wilayah Meguro ini.
Meguro salah satu wilayah kampungnya orang indonesia di kota Tokyo Jepang, dan mungkin orang Indonesia yang berada di Tokyo banyak yang tinggal disini. Di Meguro ada Kedubes Republik Indonesia, karena keterkaitan kebutuhan dan sarana yang ada di wilayah ini membuat warga Indonesia yang tinggal di Tokyo dapat merasa seperti berada di tanah air sendiri. Di Meguro juga terdapat restoran Indonesia. Kalau dianalogikan sepanjang jalan raya Meguro ini kayak jalan Sabang versi modern dan lebih rapi. Berjejer toko toko yang jual baju, sepatu, tas serta kebutuhan sehari hari.
Sedikit ilustrasi wilayah Meguro ini.
Meguro salah satu wilayah kampungnya orang indonesia di kota Tokyo Jepang, dan mungkin orang Indonesia yang berada di Tokyo banyak yang tinggal disini. Di Meguro ada Kedubes Republik Indonesia, karena keterkaitan kebutuhan dan sarana yang ada di wilayah ini membuat warga Indonesia yang tinggal di Tokyo dapat merasa seperti berada di tanah air sendiri. Di Meguro juga terdapat restoran Indonesia. Kalau dianalogikan sepanjang jalan raya Meguro ini kayak jalan Sabang versi modern dan lebih rapi. Berjejer toko toko yang jual baju, sepatu, tas serta kebutuhan sehari hari.
Selain itu, Meguro ini juga merupakan wilayah penduduk yang padat, sehingga Meguro punya stasiun kereta yang besar… Ada dua stasiun besar yang berseberangan di Meguro, Japan Railways (JR) station dan Subway Station.
Japan Railways (JR) train kereta lokal yang rel-nya ada dipermukaan tanah, sedangkan subway adalah kereta bawah tanah yang dimiliki oleh beberapa perusahaan swasta. Selama di jepang sebisa mungkin kami menggunakan JR train karena akses yang mudah dan jenis jalur yang lebih sederhana dibandingkan subway. Untuk pembayaran, kami menggunakan kartu elektronik (e-ticketting).
1. JR Pass, kartu yang cocok digunakan selama di Jepang apabila kita mau pergi ke kota yang berbeda, seperti: Tokyo-Osaka-Kyoto-Tokyo. Kartu ini sangatlah cocok untuk digunakan karena akan mengurangi biaya tranportasi kita, apalagi kalau kita naik Shinkazen.
Dengan menggunakan kartu JR Pass bisa mendapatkan diskon sekitar 50-75%, jika kita menggunakan kereta yang ditentukan oleh JR Pass. JR Pass bisa dibeli via internet dan pembayaran dengan kartu kredit dan bisa kita dapatkan di bandara (terminal kedatangan) tapi minimal seminggu sebelum tiba di Jepang kita sudah melalukan pemesanan.
2 Kartu Suica dan Pasmo, ini kartu seperti Flazz dan E-money di Jakarta. Prepaid Card yang bisa kita gunakan selama di Tokyo. Kartu ini mempermudah pembelian tiket subways dan kereta. Dengan kartu ini kita tidak perlu lagi untuk antri dan membeli tiket di mesin tiket. Untuk tarif yang dikenakan sama saja dengan harga tiket yang biasa. Kartu Suica bisa dibeli di mesin tiket. Bila saldo kita habis kita bisa melakukan penambahan saldo di setiap mesin tiket di stasiun baik di tokyo maupun kota lain sebesar 500, 1000, 2000 dan juga 5000 Yen. Dan bisa juga di mesin tiket airport Haneda. Supaya uang deposit kita tidak hilang ada baiknya kita melakukan refund kartu Suica dan Pasmo yang telah kita beli, karena kita tidak bisa melakukan refund di luar dari kota Tokyo.
3. Kartu Icoca, konsep kartu ini sama dengan Suica maupun Pasmo. Kartu Icoca merupakan kartu transportasi yang digunakan selama di kota OSAKA. Konsep pembelian dan pengembaliannya kartunya sama dengan suica dan pasmo. Ingat refund kartu tidak bisa diluar kota osaka.
Masing-masing perusahaan biasanya punya paket subway pass yang bisa dibeli oleh turis untuk unlimited ride per hari. Kalau Anda mau berhitung dengan cermat, beli pass bisa jadi lebih murah dibanding bayar per-trip ala Pasmo/Suica yg tarif terdekat saja ¥200/trip. Tinggal anda combine dengan Pasmo/Suica jika jalur yang Anda pakai tidak dicover oleh Subway Pass tadi.
Tips buat yang minat travelling ke Jepang, jika:
Memakai fasilitas Kartu JR-Pass, Suica dan ICOCA tidak hanya digunakan untuk membeli tiket kereta dan subway tapi juga bisa digunakan untuk membayar tiket bus dan juga taksi, selain itu membayar belanjaan di mini market dan juga pembayaran lainnya.
Keuntungan lain yang dimiliki oleh JR-Pass adalah kita akan mendapat diskon dibeberapa tempat makan (restoran ataupun cafe) dan juga hotel yang bekerjasama dengan JR-Pass, sangat cocok digunakan selama kita traveling di Jepang khususnya di Tokyo, Osaka dan Kyoto.
Untuk keliling kota di Tokyo ini aku gunakan JR Yamanote Line. Rute yang kami ambil untuk ke Shibuya dari Meguro, route lengkapnya: Meguro – Ebisu – Shibuya – Harajuku – Yoyogi – Shinjuku, dan waktu tempuhnya sangat singkat.
Selain itu di Jepang mobil bukan lagi menjadi simbol status sosial individu, dan memang akibat bergesernya gaya hidup hemat membuat jalan di perkotaan menjadi nyaman dan bebas macet, untuk penggunaan mobil sebagai alat transportasi alternatif bagi keluarga disana maka kita bisa menggunakan jasa car sharing.
Car sharing ini menurut cerita keponakanku yang kebetulan juga tinggal di Tokyo, kita diwajibkan untuk mendaftar terlebih dahulu di perusahaan pengelola yang nantinya akan diberikan sebuah kartu anggota berfungsi untuk membuka pintu mobil pada saat kita akan memakai mobil tersebut. Keuntungannya? Lebih hemat dibandingkan menggunakan mobil pribadi atau sewa mobil mengingat kita tidak perlu dipusingkan dengan masalah perawatan mobil dan lainnya. Apalagi rumah rumah di Tokyo ini tidak punya garasi dan disetiap beberapa blok sudah tersedia grasi khusus dari pengelola car sharing ini. Ohya, disini setiap orang yang akan membeli mobil akan di survey kerumahnya untuk memastikan si pembeli punya garasi mobil, jadi tidak seperti di negara kita yang bisa sesukanya beli mobil.
Selain itu di Jepang mobil bukan lagi menjadi simbol status sosial individu, dan memang akibat bergesernya gaya hidup hemat membuat jalan di perkotaan menjadi nyaman dan bebas macet, untuk penggunaan mobil sebagai alat transportasi alternatif bagi keluarga disana maka kita bisa menggunakan jasa car sharing.
Car sharing ini menurut cerita keponakanku yang kebetulan juga tinggal di Tokyo, kita diwajibkan untuk mendaftar terlebih dahulu di perusahaan pengelola yang nantinya akan diberikan sebuah kartu anggota berfungsi untuk membuka pintu mobil pada saat kita akan memakai mobil tersebut. Keuntungannya? Lebih hemat dibandingkan menggunakan mobil pribadi atau sewa mobil mengingat kita tidak perlu dipusingkan dengan masalah perawatan mobil dan lainnya. Apalagi rumah rumah di Tokyo ini tidak punya garasi dan disetiap beberapa blok sudah tersedia grasi khusus dari pengelola car sharing ini. Ohya, disini setiap orang yang akan membeli mobil akan di survey kerumahnya untuk memastikan si pembeli punya garasi mobil, jadi tidak seperti di negara kita yang bisa sesukanya beli mobil.
Awal kunjungan kami di Tokyo, anakku mengajak pergi ke Shibuya dan daerah sekitarnya. Di Shibuya banyak sekali tempat-tempat belanja dan hiburan malam, tempat ini paling disukai kalangan anak remaja. Tepat di stasiun Shibuya ada Patung Hachiko yang biasanya digunakan sebagai tempat janjian ketemu. Ngomongin Hachiko pasti semua tahu tentang cerita anjing yang setia dengan tuannya itu, di Shibuya ini aku bisa merasakan aura kesibukan. Tepatnya di Shibuya Crossing atau Persimpangan Shibuya.
Setiap dua menit sekali lampu hijau menyala untuk pejalan kaki, dan entah darimana asalnya tiba-tiba manusia begitu banyak menyebrang bersamaan, dan itupun nggak ada habis-habisnya. Orang
Jepang lebih menyukai berjalan kaki dalam menjalankan segala aktivitas keluar rumah. Sangat berbeda dengan orang Indonesia yang lebih memilih
gaya-gayaan menggunakan sepeda motor atau mobil kemana-mana, dampaknya kemacetan dijalan.
Kalau aku perhatikan trotoar/pedestrian jalan dikota ini memberi fasilitas buat masyarakat yang memiliki kemampuan berbeda. Dengan penyediaan fasilitas umum yang memperhatikan kaum difabel (Different Ability). Di Jepang tidak lagi menjadi isu yang harus selalu disosialisasikan, tetapi telah menjadi bagian dari kehidupan setiap orang . Diharapkan dapat memanfaatkannya.
Jalur pedestrian/trotoar dilengkapi dengan jalur pengarah (guiding block) dan peringatan (warning block), didesain sebagai sebuah jalur yang lebar dengan permukaan yang datar serta digunakannya curb ramp pada perbedaan-perbedaan ketinggian. Bahkan untuk penyeberangan, lampu lalu lintas dilengkapi juga dengan sinyal suara, atau jika harus melalui jembatan penyebrangan maka tersedia ramp yang nyaman untuk digunakan untuk naik dan turun, berbeda dengan di Jakarta pedestrian yang sempit dan dipenuhi pedagang kaki lima, semua itu tidak menghargai hak orang lain. Di Indonesia,orang difabel belum mendapat tempat. Padahal sebagai warga negara mereka mempunyai hak yang sama seperti orang berfisik normal. Kaum difabel di Indonesia seperti terpinggirkan. Mereka sangat susah untuk mendapatkan hak menikmati fasilitas publik.
Di
Tokyo, selama kita ada di jalur pejalan kaki, kita tidak perlu terlalu
memperhatikan kondisi sekeliling kita selama berjalan. Masyarakat tidak
khawatir jika ada mobil yang melintas secara tiba-tiba, juga tidak perlu menggunakan
jalan utama karena ada kendaraan yang parkir di jalur pejalan kaki. Kita bisa
dengan santai mendengarkan musik tanpa mendengar suara lingkungan sekitar. Yang
kita butuhkan adalah melihat simbol lampu hijau bagi pejalan kaki untuk menyebrang dan rambu-rambu batas jalur pejalan kaki.
Tak
jauh berbeda, di stasiun dan didalam kereta serta bis-bis juga dilengkapi dengan ramp yang menghubungkan halte dan
lantai yang berbeda ketinggian, pintu yang lebar dan ruang khusus bagi pengguna
kursi roda. Untuk mengingatkan penumpang lainnya, himbauan untuk memberikan
kesempatan bagi yang lebih membutuhkan juga terpasang di jendela kaca bis dan
kereta api tersebut.
Hampir
semua fasilitas publik seperti bangunan pemerintahan, perkantoran, pusat
perbelanjaan dan plaza atau ruang terbuka yang ada di Jepang, paling tidak aksesibilitas tersebut dimunculkan dalam bentuk
pemasangan ubin pengarah, denah timbul, meja informasi dan telepon umum yang
mudah dicapai dan digunakan, transportasi vertikal yang aksesibel-dalam bentuk
ramp maupuan lift, hingga furnitur-furnitur yang memberikan kemungkinan untuk
digunakan oleh banyak orang dengan kemampuan yang berbeda-beda.
Kami pulang kerumah sudah menjelang malam.
0 komentar:
Post a Comment