Rintik hujan yang turun hampir setiap sore
menggodaku untuk membalik semua kenangan yang telah ku timbun dalam lemari
waktu.
Ia berikan sebuah tas transparan berbentuk persegi
panjang. Aku sempat terkesiap melihat isinya. Ragu-ragu kuraih tas itu. Kuamati..Sempat juga kubolak-balik dan kuremas-remas sekadar ingin melunasi rasa
penasaran. Membayangkan jika buntalan hitam itu memang benar-benar asli, aku
jadi risi. Buru-buru kukembalikan lagi tas plastik itu. Ada senyum tersungging
di bibirnya. Aku tersenyum masam.
"Bagaimana?! Masih belum yakin kalau ini
potongan kain bajuku?" tanyanya sembari memasukkan kembali plastik itu ke
dalam tas kerja ke abu abuan yang rebah di antara kedua pahanya.
Aku tak gampang percaya pada omongan orang lain
jika tak ada buktinya. Bahkan, meski ia baru saja menunjukkan buntalan hitam
itu potongan bajuku pun, aku masih saja ragu.
Kupikir, bisa jadi buntalan hitam
dalam plastik itu adalah kain yang dibelinya lalu diperlihatkannya kepadaku.
Tapi, kupikir, ia bukan tipe wanita yang mau menyia- nyiakan waktu untuk
melakukan hal bodoh semacam itu. Maka kupilih bungkam, tak menanggapi
pertanyaannya.
Suatu senja di awal Maret, gerimis panjang belum
juga berhenti. Siang tadi, lewat Whatsapp, ia mengajakku makan di sebuah mal di
wilayah kota selatan itu. Hari-hari belakangan, langit selalu dirundung
mendung. Aku sempat ragu sebelum menyanggupi ajakannya. Nyatanya cuaca buruk
tak mampu merintangi janji yang telah kami sepakati. Setelah semua tugas
kantornya selesai, ia langsung menuju toko swalayan tempat kami janji bertemu.
Langit senja terasa lebih pekat kala hujan. Udara
makin dingin karena dia enggan mematikan AC mobil. Dari balik kaca mobil yang
dihiasi percik-percik air, kulihat orang-orang berteduh berdiri kedinginan di
emperan toko atau di depan pintu masuk pusat perbelanjaan. Air hujan meluap
sampai ke jalan. Warnanya keruh kecoklatan.
Dia mengemudikan mobilnya perlahan
saja. Kami terpesona memandangi gerimis yang tampak indah membias karena lampu
jalan, lampu kendaraan, dan kerlap-kerlip sinar layar papan reklame. Kami
singgah sebentar di sebuah mushola cantik di tengah kota.
"Sampai sekarang aku nggak bisa lupa mimik
wajah pemilik butik itu." Usai menunaikan shalat magrib, perjalanan kami
lanjutkan. "Waktu aku minta agar buntalan potongan bajuku dikumpulkan,
lewat pantulan cermin kulihat dia bengong seperti habis bangun tidur," sambil terkekeh-kekeh.
"Lantas, untuk apa kau simpan potongan kain
bajumu?"
Ia sempat diam sejenak sebelum berkata,
"Yeah, untuk mengingatkanku pada kepahitan-kepahitan hidupku dulu...."
Kulirik wajahnya sekilas. Suaranya datar dan tak
kudapati ekspresi apa pun di wajahnya. Aku juga diam membayangkan apa yang
berkecamuk dalam benaknya sesaat sebelum ia ucapkan kalimat itu. Tentu saja
setiap orang pernah mengalami masa-masa pahit dalam hidupnya. Tapi menyimpan
potongan kain baju itu sebagai kenangan atas kepahitan-kepahitan hidup ? Ah, entahlah.............. kadang hidup ini aneh dan sulit dimengerti.
++++++++++++..
Kukenal Hedy
tiga puluh lima tahun lalu ketika kami masih sama-sama kuliah di Bandung. Waktu
itu, ia kerap mengeluh karena pacarnya--teman kuliah juga--tipe lelaki yang
suka memelihara cemburu. Rasa memiliki yang kelewat berlebihan kadangkala
menjengkelkan. Begitu selesai kuliah, kami pun hilang kontak. Tenggelam dalam
dunia masing-masing. Orang-orang datang dan pergi dari kehidupan kami. Bukankah
itu hal yang biasa ?
Puasa tahun yang lalu Hedy memunculkan diri lagi
di depan mataku. Entah angin apa yang memprovokasinya untuk bertandang ke
rumah. Tiga puluh lima tahun tak bersua, aku sempat pangling juga melihatnya.
Rambut Hedy yang dulu pendek sebatas bahu, kini agak panjang. Tutur kata dan
bahasa tubuhnya pun tampak lebih tenang dan berbicara dengan suara lembut.
Dia pun merangkai cerita dan aku memasang telinga
lebar-lebar. Ia bercerita bahwa pacarnya pergi dengan perempuan lain. Aku tak
kaget lagi mendengarnya. Itu bukan cerita baru. Setelah mantan pacarnya
menikah, ia terbang ke Jakarta. Mukanya memerah waktu kuledek bahwa dia pergi ke jakarta hanya untuk melupakan kenangan pahit. Lima tahun bekerja di Jakarta, rupanya Hedy tak
kerasan. Dia rindu Kota Bandung. Rindu rumah dan orang-orang yang ia sayangi.
Ya, ya, rindu adalah rasa sakit yang paling indah ya... Sekarang sudah dua setengah
tahun lebih dia pulang dan bekerja di sebuah perusahaan tekstil.
****
Aku melangkah masuk ke sebuah resto cepat saji ala
Jepang dan mendapati ruangan yang tak seberapa luas itu nyaris dipenuhi
manusia. Berpasang-pasangan, bersama keluarga atau teman sebaya. Suasana riuh.
Kucari tempat yang masih tersisa. Ahaa, di pojok ruangan dekat jendela ada dua
kursi kosong. Letaknya persis menghadap jalan raya. Kupikir tempat itu cukup
nyaman untuk orang yang datang sendirian. Aku bergegas ke sana setelah menegur
seorang pelayan dan memesan mie ramen alias chuka soba, Makanan khas jepang
yang bernama mie ramen ini. Mie ramen ini biasanya di campur dengan kuah kaldu
campuran tulang sapi, tulang ayam, kacang kedelai gongseng, shiitake, bawang
bombay atau daun bawang dan juga makanan khas jepang mie ramen ini berisi
didalamnya seperti irisan daun bawang yang membuat rasa mie ramen lebih gurih kalo
di jepang suka dikasih campuran tulang babi...eiit maaaaf...kok ceritanya malah
promosi makanan jepang nih. Gak lupa pesan minum jus jeruk.
Meja dan bangku yang kududuki bentuknya persegi panjang.
Warnanya pun senada. Persis di sebelah kananku, seorang remaja putri duduk
berhadapan dengan dua temannya. Tiga rangkai sakura yang menunggu musim semi
tiba itu masih mengenakan seragam sekolah. Mungkin baru pulang les tambahan di
sekolah mereka. Tak sengaja telingaku menangkap percakapan mereka tentang film
bioskop, handphone android yang lagi
trend, mode pakaian terbaru, dan gebyar diskon akhir tahun. Aku
tersenyum kecut ketika gadis di sampingku menggerutu karena hujan belum juga
reda.
Ah, kenapa hujan kerap dimaknai sebagai aral,
ketimbang percaya bahwa lengkung pelangi yang kelak jatuh di kotamu begitu
penuh memukau?
Aku mengunyah makanan yang ku pesan dalam kesunyian
di resto ini. Mengurai sepi di tengah keramaian. Lima orang pelayan tampak
kewalahan melayani pembeli yang berjubel dan semuanya ingin cepat dilayani. Aku
tak risau meski pesananku terlambat diantar. Aku tidak sedang dan paling anti
diburu waktu. Apa yang membawaku singgah dan ingin berlama-lama di tempat ini
adalah saran yang dianjurkan seorang rekan dalam tulisannya di google plus. Dia
bilang ada beberapa tips melawan lupa. Dua di antaranya adalah mengingat setiap
nama yang berhubungan dengan kenangan, dan datangilah tempat-tempat rendezvous
yang bisa menyegarkan ingatan terhadap suka atau pengkhianatan yang melukai....
Aku suka dengan tips sederhana itu dan kurasa tak perlu membantahnya lagi.
Lalu kuraih sebuah handphone tablet dari dalam tas
yang ku bawa. Kutelusuri berita disertai gambar dari display monitornya satu persatu dengan membaca secara
acak.
Ada sebuah cerita tentang kenangan.........”Bila
hujan kembali turun, siapkan mantelmu sebelum kau berangkat untuk kemudian
melupakan rumah ini. Simpanlah di dalam tubuhmu dan kenanglah aku yang
mengingatkanmu.
Aku pun termangu. Hujan masih berdesir kencang di
luar sana. Sesekali tempiasnya singgah di kulit tangan dan pelipis, tapi tak
sampai ke dalam hati. Jalanan basah. Daun-daun kuyup. Genangan air lumpur di
tepi jalan. Batang pohon dan tiang listrik seperti menggigil kedinginan.
Roda-roda kendaraan menyibak air lumpur jalanan. Meninggalkan desis panjang dan
lirih.
Tak ada yang istimewa bagi ku di saat itu. Masih
tersimpan pesan singkat di whatsapp didalam
ponselku. Hedy mengirimnya beberapa hari lalu waktu kutanya pendapatnya tentang
hujan yang turun nyaris setiap sore di bulan Maret ini. Aku tersenyum kecut mengingat kalimat
itu. Tidakkah ia rasakan Desember pun begitu cepat datang dan berlalu ? Tidakkah
rintik hujan sampai di hatinya serupa nyanyian pilu ?
Baru beberapa detik kugenggam Jus jeruk, tiba-tiba
ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Aku menghela napas. Hedy, Hedy.
Teknologi memang telah mengubah segalanya. Meski lama sudah kami bertemu,
pesan-pesan singkat cukup membuat kami kembali merasa dekat. Hedy mengabarkan
bahwa ia masih terperangkap di jalan pintu tol pasopati. Menunggu antrian mobil
yang sedang membayar tol sedangkan hujan belum juga reda. Dia pasti sedang
jenuh dengan suasana antrian itu.
"Aku ingin main atau kumpul lagi dengan
teman-teman. Seperti dulu. Ternyata nggak enak ya kalo sendirian," keluh Hedy
dalam pesan berikutnya. Setelah berfikir sejenak, iseng-iseng kusuruh dia
menyisihkan waktu untuk mematung di tepi jendela mobilnya. Menekuri cuaca yang
sedang tak bersahabat itu. Dia bisa saja leluasa membongkar-bongkar kenangan
silam. Tentang apa saja. Mungkin tentang masa lalu yang makin menjauh, tentang
lelaki yang ia cintai namun tak bisa ia miliki, atau tentang jejaknya yang
tertinggal di kota-kota yang pernah ia singgahi. Sayang, aku lupa bahwa lain lubuk
lain ikannya. Hedy bukan tipe wanita yang betah mengukur jarak sepi.
"Justru itu aku selalu mencari kesibukan biar nggak merasa kesepian dan
jenuh. Main game online, berjam-jam di depan komputer, menelepon teman lama,
atau jalan jalan ke Mall atau hadiri acara resepsi pernikahan. Ya, begitulah
hidup. Berbagai masalah harus dihadapi dan kita mesti cari solusi yang
terbaik," begitu pesan terakhirnya sebelum baterai ponselku mulai habis.
Gerimis dan kesepian datang membawa noktah noktah kenangan. Aku jadi tak punya nyali untuk
bercerita lebih banyak pada Hedy tentang malam-malam larut, hening yang mencengkam,
dan cinta yang menggelayut. Meski ada yang mekar diam-diam di tanah basah ini,
aku percaya tak semua tanya butuh jawaban. Realisasi perjalanan sebuah doa
kadang tak bisa dipahami dengan akal sehat atau logika. Sebagaimana yang
kukatakan, Hedy pun sepakat kota ini sudah terlalu riuh dan pelik untuk
dipahami. Maka biarlah semua itu ikut bersama sobekan lembaran angka-angka di
kalender. Biarlah orang-orang datang dan pergi dari kehidupan kita. Bukankah
itu hal yang biasa terjadi sesuai sunnatullah?
***
Bunyi gerimis hujan diluar seperti selimut sutra
turun dari langit terdengar seperti mendesis lirih. Mungkin di suatu tempat, seseorang tengah menyanyikan
lirik lagu sentimentil nan romantis. Suasana gerimis mempercepat suasana kelam.
Aku masih berteduh di dalam sebuah resto kembali ditemani segelas kopi panas.
Uap tipis panasnya meliuk liuk keluar
dari gelas lalu raib dalam udara. Kupanggil seorang pelayan lelaki yang lewat
mejaku. Kusodorkan sebuah disc kepadanya dan minta diputarkan sebuah tembang. Aku
merasa mungkin, mimik pelayan itu mirip mimik penjahit butik tempat Hedy minta
potongan bahan kain baju itu di kumpulkan. Ah, mungkin juga dia belum sadar
bahwa menganggap remeh hal-hal yang sepele adalah kesalahan besar.
Begitulah. Selang beberapa menit kemudian
terdengar "Januarinya -Glen Fredly" mengalun, membakar hawa dingin.Dalam cuaca begini muram, tak ada hal menarik yang ingin kulakukan selain
mengingat. Bukankah masa lalu dan kenangan adalah bagian yang tak terpisahkan
dalam perjalanan kini dan nanti?
Dan, mungkin juga, ketika gerimis itu benar-benar
usai, akan kusambangi sebuah pintu yang sudah lama tertutup rapat. Pintu yang
meneteskan air mata sejak kutinggalkan. Apa kabarnya perempuan dalam rumah itu?
Apakah dia baik-baik saja setelah bercerai dengan suaminya? Entahlah. Namun,
sungguh, gerimis ini begitu menghasut kenangan. Tiba-tiba aku ingin berada
didekatnya kembali. Mengenang gerimis-gerimis silam. Lalu kubayangkan apa yang
akan kami perbuat di ujung percakapan. Mungkin dia akan menutup pintu dan
jendela lalu memadamkan semua lampu. Mungkin akan kumatikan ponsel agar tak ada
yang mengganggu; teman, kenalan, atau Hedy sekalipun. Mungkin...
Bulan Maret ini nyatanya telah menghampiri ku..aku
merasa telah separuh jalan hidupku sudah kujalani...aku nggak bisa lupa mimik wajah
pemilik butik itu, potongan kain bajuku yang di sodorkan Hedy padaku adalah
potongan kenangan masa lalu yang jadi timbangan hidupku di kemudian hari...semoga.
***
Cerita ini ku persembahkan untuk yang berulang
tahun dibulan ini...semoga selalu sehat dan diberi umur yang penuh barokah agar
husnul khotimah...
by : gmarpi16.
0 komentar:
Post a Comment