Thursday, 3 March 2016

"Lantas, untuk apa kau simpan potongan kain bajumu ?"

Rintik hujan yang turun hampir setiap sore menggodaku untuk membalik semua kenangan yang telah ku timbun dalam lemari waktu.

Ia berikan sebuah tas transparan berbentuk persegi panjang. Aku sempat terkesiap melihat isinya. Ragu-ragu kuraih tas itu. Kuamati..Sempat juga kubolak-balik dan kuremas-remas sekadar ingin melunasi rasa penasaran. Membayangkan jika buntalan hitam itu memang benar-benar asli, aku jadi risi. Buru-buru kukembalikan lagi tas plastik itu. Ada senyum tersungging di bibirnya. Aku tersenyum masam.

"Bagaimana?! Masih belum yakin kalau ini potongan kain bajuku?" tanyanya sembari memasukkan kembali plastik itu ke dalam tas kerja ke abu abuan yang rebah di antara kedua pahanya.

Aku tak gampang percaya pada omongan orang lain jika tak ada buktinya. Bahkan, meski ia baru saja menunjukkan buntalan hitam itu potongan bajuku pun, aku masih saja ragu. 

Kupikir, bisa jadi buntalan hitam dalam plastik itu adalah kain yang dibelinya lalu diperlihatkannya kepadaku. Tapi, kupikir, ia bukan tipe wanita yang mau menyia- nyiakan waktu untuk melakukan hal bodoh semacam itu. Maka kupilih bungkam, tak menanggapi pertanyaannya.

Suatu senja di awal Maret, gerimis panjang belum juga berhenti. Siang tadi, lewat Whatsapp, ia mengajakku makan di sebuah mal di wilayah kota selatan itu.  Hari-hari belakangan, langit selalu dirundung mendung. Aku sempat ragu sebelum menyanggupi ajakannya. Nyatanya cuaca buruk tak mampu merintangi janji yang telah kami sepakati. Setelah semua tugas kantornya selesai, ia langsung menuju toko swalayan tempat kami janji bertemu.

Langit senja terasa lebih pekat kala hujan. Udara makin dingin karena dia enggan mematikan AC mobil. Dari balik kaca mobil yang dihiasi percik-percik air, kulihat orang-orang berteduh berdiri kedinginan di emperan toko atau di depan pintu masuk pusat perbelanjaan. Air hujan meluap sampai ke jalan. Warnanya keruh kecoklatan. 

Dia mengemudikan mobilnya perlahan saja. Kami terpesona memandangi gerimis yang tampak indah membias karena lampu jalan, lampu kendaraan, dan kerlap-kerlip sinar layar papan reklame. Kami singgah sebentar di sebuah mushola cantik di tengah kota.

"Sampai sekarang aku nggak bisa lupa mimik wajah pemilik butik itu." Usai menunaikan shalat magrib, perjalanan kami lanjutkan. "Waktu aku minta agar buntalan potongan bajuku dikumpulkan, lewat pantulan cermin kulihat dia bengong seperti habis bangun tidur,"  sambil terkekeh-kekeh.

"Lantas, untuk apa kau simpan potongan kain bajumu?"

Ia sempat diam sejenak sebelum berkata, "Yeah, untuk mengingatkanku pada kepahitan-kepahitan hidupku dulu...."

Kulirik wajahnya sekilas. Suaranya datar dan tak kudapati ekspresi apa pun di wajahnya. Aku juga diam membayangkan apa yang berkecamuk dalam benaknya sesaat sebelum ia ucapkan kalimat itu. Tentu saja setiap orang pernah mengalami masa-masa pahit dalam hidupnya. Tapi menyimpan potongan kain baju itu sebagai kenangan atas kepahitan-kepahitan hidup ? Ah, entahlah.............. kadang hidup ini aneh dan sulit dimengerti.

                                                         ++++++++++++..

Kukenal  Hedy tiga puluh lima tahun lalu ketika kami masih sama-sama kuliah di Bandung. Waktu itu, ia kerap mengeluh karena pacarnya--teman kuliah juga--tipe lelaki yang suka memelihara cemburu. Rasa memiliki yang kelewat berlebihan kadangkala menjengkelkan. Begitu selesai kuliah, kami pun hilang kontak. Tenggelam dalam dunia masing-masing. Orang-orang datang dan pergi dari kehidupan kami. Bukankah itu hal yang biasa  ?

Puasa tahun yang lalu Hedy memunculkan diri lagi di depan mataku. Entah angin apa yang memprovokasinya untuk bertandang ke rumah. Tiga puluh lima tahun tak bersua, aku sempat pangling juga melihatnya. Rambut Hedy yang dulu pendek sebatas bahu, kini agak panjang. Tutur kata dan bahasa tubuhnya pun tampak lebih tenang dan berbicara dengan suara lembut.

Dia pun merangkai cerita dan aku memasang telinga lebar-lebar. Ia bercerita bahwa pacarnya pergi dengan perempuan lain. Aku tak kaget lagi mendengarnya. Itu bukan cerita baru. Setelah mantan pacarnya menikah, ia terbang ke Jakarta. Mukanya memerah waktu kuledek bahwa dia pergi ke jakarta hanya untuk melupakan kenangan pahit. Lima tahun bekerja di Jakarta, rupanya Hedy tak kerasan. Dia rindu Kota Bandung. Rindu rumah dan orang-orang yang ia sayangi. Ya, ya, rindu adalah rasa sakit yang paling indah ya... Sekarang sudah dua setengah tahun lebih dia pulang dan bekerja di sebuah perusahaan tekstil.

                                        ****

Aku melangkah masuk ke sebuah resto cepat saji ala Jepang dan mendapati ruangan yang tak seberapa luas itu nyaris dipenuhi manusia. Berpasang-pasangan, bersama keluarga atau teman sebaya. Suasana riuh. Kucari tempat yang masih tersisa. Ahaa, di pojok ruangan dekat jendela ada dua kursi kosong. Letaknya persis menghadap jalan raya. Kupikir tempat itu cukup nyaman untuk orang yang datang sendirian. Aku bergegas ke sana setelah menegur seorang pelayan dan memesan mie ramen alias chuka soba, Makanan khas jepang yang bernama mie ramen ini. Mie ramen ini biasanya di campur dengan kuah kaldu campuran tulang sapi, tulang ayam, kacang kedelai gongseng, shiitake, bawang bombay atau daun bawang dan juga makanan khas jepang mie ramen ini berisi didalamnya seperti irisan daun bawang yang membuat rasa mie ramen lebih gurih kalo di jepang suka dikasih campuran tulang babi...eiit maaaaf...kok ceritanya malah promosi makanan jepang nih. Gak lupa pesan minum jus jeruk.

Meja dan bangku yang kududuki bentuknya persegi panjang. Warnanya pun senada. Persis di sebelah kananku, seorang remaja putri duduk berhadapan dengan dua temannya. Tiga rangkai sakura yang menunggu musim semi tiba itu masih mengenakan seragam sekolah. Mungkin baru pulang les tambahan di sekolah mereka. Tak sengaja telingaku menangkap percakapan mereka tentang film bioskop, handphone android yang lagi  trend, mode pakaian terbaru, dan gebyar diskon akhir tahun. Aku tersenyum kecut ketika gadis di sampingku menggerutu karena hujan belum juga reda.

Ah, kenapa hujan kerap dimaknai sebagai aral, ketimbang percaya bahwa lengkung pelangi yang kelak jatuh di kotamu begitu penuh memukau?

Aku mengunyah makanan yang ku pesan dalam kesunyian di resto ini. Mengurai sepi di tengah keramaian. Lima orang pelayan tampak kewalahan melayani pembeli yang berjubel dan semuanya ingin cepat dilayani. Aku tak risau meski pesananku terlambat diantar. Aku tidak sedang dan paling anti diburu waktu. Apa yang membawaku singgah dan ingin berlama-lama di tempat ini adalah saran yang dianjurkan seorang rekan dalam tulisannya di google plus. Dia bilang ada beberapa tips melawan lupa. Dua di antaranya adalah mengingat setiap nama yang berhubungan dengan kenangan, dan datangilah tempat-tempat rendezvous yang bisa menyegarkan ingatan terhadap suka atau pengkhianatan yang melukai.... 

Aku suka dengan tips sederhana itu dan kurasa tak perlu membantahnya lagi.

Lalu kuraih sebuah handphone tablet dari dalam tas yang ku bawa. Kutelusuri berita disertai gambar dari display monitornya satu persatu dengan membaca secara acak.

Ada sebuah cerita tentang kenangan.........”Bila hujan kembali turun, siapkan mantelmu sebelum kau berangkat untuk kemudian melupakan rumah ini. Simpanlah di dalam tubuhmu dan kenanglah aku yang mengingatkanmu.

Aku pun termangu. Hujan masih berdesir kencang di luar sana. Sesekali tempiasnya singgah di kulit tangan dan pelipis, tapi tak sampai ke dalam hati. Jalanan basah. Daun-daun kuyup. Genangan air lumpur di tepi jalan. Batang pohon dan tiang listrik seperti menggigil kedinginan. Roda-roda kendaraan menyibak air lumpur jalanan. Meninggalkan desis panjang dan lirih.

Tak ada yang istimewa bagi ku di saat itu. Masih tersimpan pesan singkat di whatsapp  didalam ponselku. Hedy mengirimnya beberapa hari lalu waktu kutanya pendapatnya tentang hujan yang turun nyaris setiap sore di bulan Maret  ini. Aku tersenyum kecut mengingat kalimat itu. Tidakkah ia rasakan Desember pun begitu cepat datang dan berlalu ? Tidakkah rintik hujan sampai di hatinya serupa nyanyian pilu ?

Baru beberapa detik kugenggam Jus jeruk, tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Aku menghela napas. Hedy, Hedy. Teknologi memang telah mengubah segalanya. Meski lama sudah kami bertemu, pesan-pesan singkat cukup membuat kami kembali merasa dekat. Hedy mengabarkan bahwa ia masih terperangkap di jalan pintu tol pasopati. Menunggu antrian mobil yang sedang membayar tol sedangkan hujan belum juga reda. Dia pasti sedang jenuh dengan suasana antrian itu.

"Aku ingin main atau kumpul lagi dengan teman-teman. Seperti dulu. Ternyata nggak enak ya kalo sendirian," keluh Hedy dalam pesan berikutnya. Setelah berfikir sejenak, iseng-iseng kusuruh dia menyisihkan waktu untuk mematung di tepi jendela mobilnya. Menekuri cuaca yang sedang tak bersahabat itu. Dia bisa saja leluasa membongkar-bongkar kenangan silam. Tentang apa saja. Mungkin tentang masa lalu yang makin menjauh, tentang lelaki yang ia cintai namun tak bisa ia miliki, atau tentang jejaknya yang tertinggal di kota-kota yang pernah ia singgahi. Sayang, aku lupa bahwa lain lubuk lain ikannya. Hedy bukan tipe wanita yang betah mengukur jarak sepi. "Justru itu aku selalu mencari kesibukan biar nggak merasa kesepian dan jenuh. Main game online, berjam-jam di depan komputer, menelepon teman lama, atau jalan jalan ke Mall atau hadiri acara resepsi pernikahan. Ya, begitulah hidup. Berbagai masalah harus dihadapi dan kita mesti cari solusi yang terbaik," begitu pesan terakhirnya sebelum baterai ponselku mulai habis.

Gerimis dan kesepian datang membawa noktah noktah  kenangan. Aku jadi tak punya nyali untuk bercerita lebih banyak pada Hedy tentang malam-malam larut, hening yang mencengkam, dan cinta yang menggelayut. Meski ada yang mekar diam-diam di tanah basah ini, aku percaya tak semua tanya butuh jawaban. Realisasi perjalanan sebuah doa kadang tak bisa dipahami dengan akal sehat atau logika. Sebagaimana yang kukatakan, Hedy pun sepakat kota ini sudah terlalu riuh dan pelik untuk dipahami. Maka biarlah semua itu ikut bersama sobekan lembaran angka-angka di kalender. Biarlah orang-orang datang dan pergi dari kehidupan kita. Bukankah itu hal yang biasa terjadi sesuai sunnatullah?

                                                               ***

Bunyi gerimis hujan diluar seperti selimut sutra turun dari langit terdengar seperti  mendesis lirih.  Mungkin di suatu tempat, seseorang tengah menyanyikan lirik lagu sentimentil nan romantis. Suasana gerimis mempercepat suasana kelam. Aku masih berteduh di dalam sebuah resto kembali ditemani segelas kopi panas. Uap tipis panasnya  meliuk liuk keluar dari gelas lalu raib dalam udara. Kupanggil seorang pelayan lelaki yang lewat mejaku. Kusodorkan sebuah disc kepadanya dan minta diputarkan sebuah tembang. Aku merasa mungkin, mimik pelayan itu mirip mimik penjahit butik tempat Hedy minta potongan bahan kain baju itu di kumpulkan. Ah, mungkin juga dia belum sadar bahwa menganggap remeh hal-hal yang sepele adalah kesalahan besar.

Begitulah. Selang beberapa menit kemudian terdengar "Januarinya -Glen Fredly" mengalun, membakar hawa dingin.Dalam cuaca begini muram, tak ada hal menarik yang ingin kulakukan selain mengingat. Bukankah masa lalu dan kenangan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan kini dan nanti?


Usai gerimis, kota ini akan kembali riuh. Aku ingin menyusuri ruas-ruas jalannya. Menyaksikan hal-hal sepele seperti jalanan basah, kaca berembun, langkah diselingi liukan tubuh  orang-orang menghindari genangan air, atau perempuan berbaju jaket hujan transparan buatan china.

Dan, mungkin juga, ketika gerimis itu benar-benar usai, akan kusambangi sebuah pintu yang sudah lama tertutup rapat. Pintu yang meneteskan air mata sejak kutinggalkan. Apa kabarnya perempuan dalam rumah itu? Apakah dia baik-baik saja setelah bercerai dengan suaminya? Entahlah. Namun, sungguh, gerimis ini begitu menghasut kenangan. Tiba-tiba aku ingin berada didekatnya kembali. Mengenang gerimis-gerimis silam. Lalu kubayangkan apa yang akan kami perbuat di ujung percakapan. Mungkin dia akan menutup pintu dan jendela lalu memadamkan semua lampu. Mungkin akan kumatikan ponsel agar tak ada yang mengganggu; teman, kenalan, atau Hedy sekalipun. Mungkin...

Bulan Maret ini nyatanya telah menghampiri ku..aku merasa telah separuh jalan hidupku sudah kujalani...aku nggak bisa lupa mimik wajah pemilik butik itu, potongan kain bajuku yang di sodorkan Hedy padaku adalah potongan kenangan masa lalu yang jadi timbangan hidupku di kemudian hari...semoga.


***

Cerita ini ku persembahkan untuk yang berulang tahun dibulan ini...semoga selalu sehat dan diberi umur yang penuh barokah agar husnul khotimah...

by : gmarpi16.

0 komentar:

Post a Comment