Sunday, 6 March 2016

BALADA DUO PENSIUNAN DI BANGKU TAMAN ITU...

Lelaki tua berbaju hangat itu masih setia duduk di bangku taman  kota berpantai indah sebelah utara kota itu berdua dengan temannya, bersisian duduk seperti jejeran buku di lemari yang tlah reyot. Angin bersemilir  menyapu topi lusuh menutupi rambut mereka yang sudah penuh uban. 

thatsfunnyshit.blogspot,com
Selembar tas kresek hitam bekas yang melayang-layang di atas rumput akhirnya mendarat di ujung sepatu lars mereka yang sudah lama tidak di semir. Tak satu pun peduli untuk menyingkirkannya. Keduanya masih mengenakan baju hangat yang menenggelamkan tubuh mereka. Matahari memang belum hangat, hawa dingin baru lewat. Pagi itu terendus selayang wangi bunga cempaka. Suara-suara anak para penjaja sarapan pagi kota seolah mendesir di antara ranting dan daun-daun, lalu turun pelan-pelan di tepi kuping.

Tak ada yang bicara. Masing-masing sibuk memutar ulang bayangan rupa dalam kepala. Di bangku kayu itu mereka namakan “kenangan” – segala sesuatu yang tertinggal. Seperti tapak sepatu berjejak pada debu.

Berpuluh tahun yang lalu, sulit membayangkan hari ini. Bahkan sekarang pun, rasanya masih aneh berusia tujuh puluh lima tahun. Banyak hal telah berubah, banyak hal tetap. Mereka  tetap berteman sejak masih sekolah dan hingga mereka meninggalkan kampung halaman lalu barengan lulus tes masuk kerja sampai punya keluarga bertetanggaan dan masih berbagi kopi atau teh serta pisang goreng di malam hari. 

Tiga hari sekali keduanya akan berbelanja ke pasar, membeli roti, susu, daging, dan berbagai keperluan remeh harian. Tiap hari Sabtu , mereka berjalan ke gedung pertemuan di sebelah wahana rekreasi anak muda, bermain gaplek atau catur bersama orang-orang tua lain. Sesekali akan datang sekelompok anak muda yang memainkan gitar untuk mereka. Anak-anak muda yang suka mengadakan acara musik di hari Minggu dan jika ditegur “ apa khabar anak muda “ dengan penuh semangat mereka menjawab, “Baik Ooom !” lalu anak anak itu menyapa mereka  
“om juga ada sehat semua?”..”in syaa allah sehat “ balas mereka.

Apa kabar... Keduanya sudah lupa, kapan terakhir kali mereka saling menyapa dengan kalimat itu. Mungkin jika kita hidup cukup lama, hari-hari akan terasa sama. Kemarin, tiga hari lalu, minggu lalu, bulan lalu, bahkan tahun lalu, tak lagi amat berbeda dengan pagi ini. Waktu, jangan-jangan adalah segelas air  yang menyapu segala yang pernah kita cicip di lidah ini  – manis, pahit, asam, pedas, dan asin, lalu meninggalkannya kembali hambar dan netral. Rasa jadi sesuatu yang begitu kini. Seperti ketupat sayur nangka pagi.

“Aku lupa membeli selai strawberry dan roti tawar kemarin,” lelaki itu menggaruk dagunya yang tak gatal. “Selai nanas yang kumakan tadi sudah kering dan susah nempel di rotiku. Aku seperti mengunyah gabus kenyal, bukan roti lapis berselai.”

Rais terkekeh pelan. “Kita senasib,” katanya, “Aku lupa membeli sabun mandi. Semalam aku terpaksa menyabuni badanku dengan shampoo.”

Keduanya terbahak. Mengagetkan burung merpati yang sedang mengais sebaran jagung di dekat kaki mereka langsung terbang karena kaget...

“Shampoo!! Hahahaha… Bagaimana rasanya?”

“Seperti soto daging berminyak bikinan Mak Junah, lengket dibadan!”

Mereka tertawa ngakak hingga terbungkuk-bungkuk.

Mak Junah, Mak Junah... Mak Junah  membersihkan rumah mereka. Ia datang seminggu dua kali. Perempuan gemuk  setengah baya yang selalu ceria dan rajin bekerja. 

Menyapu, menyingkirkan debu, membuang sampah, membersihkan kaca jendela, menjaga rumput di halaman agar tak terlalu tinggi, dan menjamin toilet-kamar mandi tetap harum – adalah tugasnya. Memasak – bukan.

Tapi secara teratur, ia akan membersihkan isi kulkas dan memanfaatkan apa saja yang hampir kadaluarsa di dalamnya. Sebagai perantau dari desa tertinggal, ia merasa berdosa jika ada makanan yang dibiarkan basi membusuk. Meski begitu, ia bukan tukang masak yang baik. Ikan goreng balado nya selalu garing dan gosong. Telor dadar goreng bikinannya selalu keasinan. Kolak ubi  kreasinya ( Rais dan Topik  kesulitan mendefinisikan apa sesungguhnya yang dibuat Mak Junah ) terasa seperti obat sakit masuk angin.

Tapi tak ada yang mengalahkan soto daging berminyaknya. Kedua laki-laki itu selalu pucat jika Mak Junah menyuguhkan soto daging masakannya di meja: cairan bening berwarna kekuningan dengan potongan sayur dan berbagai hal yang berhasil ditemukan perempuan itu di lemari pendingin. Hal-hal yang tak wajar berada dalam soto daging itu. Sobekan roti (yang sudah mengembung dan sedikit hancur karena basah), cacahan bawang, kol, potongan daging, soun yang seperti lidi melengkung, gilingan kacang, bahkan butiran kismis dan kurma pun di campurkannya.

Selain berbau gak karuan, entah kenapa, soto itu  itu selalu membuat Rais teringat pada kencing tikus got.  Ia menyebutnya ‘racun nenek tukang sihir ’. “Mungkin dia memang ingin meracuni kita,” selorohnya.

Tapi mereka tahu, Mak Junah berhati emas dan tak mampu membunuh seekor kecoa sekalipun. Ia hanya seorang perempuan yang baik dengan maksud mulia – kombinasi yang membuat bahkan orang tua tak sabaran seperti Rais dan Topik sekalipun tak tega menyakiti hatinya. Mereka hanya bisa sabar dan menabahkan diri, menyuap sendok demi sendok makanan itu di depan Mak Junah yang berdiri menunggui dengan senyum senang. 

Soto Daging Mak Junah adalah salah satu bentuk berempati yang membuat Rais dan Topik makin merasa senasib sependeritaan.

“Sudah, sudah,” Rais memegangi perutnya yang sedikit kejang. Dengan punggung tangan, ia menyeka air mata di pipinya yang sekusut kaos lupa digosok. Ia selalu begitu jika terlalu geli. “Kita tak berdaya tanpanya.”

“Aku tahu,” Topik masih terkekeh, berdiri meluruskan kaki.

Ia memanggil tukang koran yang lewat didepan mereka. Halaman belakang berisi sambungan artikel serta iklan keluarga. Matanya tertumbuk kolom Berita Duka, pada sebuah nama yang ia kenal. “Hei! Bro , kau ingat Pamuncak ? Ia meninggal minggu lalu!” 

Disorongkannya lembar tadi pada Rais yang lantas  memicingkan mata, berusaha untuk membaca huruf-huruf di koran yang tercetak kecil-kecil itu.
“Oohhhh….,” ujarnya. Entah apa maksudnya.

Di hari-hari ini, berita kematian tak lagi mengejutkan dan membuat sedih. Berbeda dengan belasan tahun lalu ketika semua yang ia kenal masih ada. Berbeda dengan tujuh tahun lalu ketika Dennis meninggalkannya. Dennis  yang tabah akhirnya menyerah kalah pada penyakit yang menggerogoti livernya. Rais mengembalikan koran tadi ke Topik yang melipatnya dengan rapi, mengepitnya di ketiak, dan  kembali duduk.

Sekali lagi kesunyian hadir di antara mereka berdua seperti orang ketiga – sosok asing yang tak pernah bisa mereka jadi akrab.

Di hari Dennis  pergi, kesunyian yang sama pelan-pelan datang, menempati kursi yang biasa ia duduki di meja makan, berlutut di samping rumpun bunga melati di halaman depan, mengisi sisi kosong di tempat tidurnya, berdiam di sofa di mana Dennis  selalu menghabiskan sore sambil merajut. Meski tanpa bentuk dan wajah, Rais tak pernah gagal mengenalinya.

Rais tak lagi sedih. Ia tak bisa mengatakan kapan tepatnya rasa itu hilang. Tak seperti luka yang dalam, kesedihan itu tlah pergi tanpa bekas. Mengingat Dennis  hari ini hanya sanggup sedikit menghangatkan ruang yang makin lama makin kecil dalam hatinya. Tapi kesunyian itu tinggal makin jelas. 

Suara yang makin lama makin keras. Kadang begitu nyaring, hingga ia tak lagi bisa mendengar apa-apa. Seperti baru saja. Topik menggamitnya. Rais terlonjak kaget. “Aku bilang, Dede tak akan datang di hari ulang tahunku nanti,” ulangnya lantang. Rais menggerutu, “Aku tidak tuli.” Topik tak peduli.

“Ia menelponku tadi pagi,” lanjutnya, “ia bilang, Menik sakit gigi.”

Menik adalah kucing Dede . Dede  anak  satu-satunya. Ia tinggal di kota sebelah yang berjarak tempuh sekitar dua jam saja dengan mobil. Topik mencintai Dede. Dede mencintai Menik. Sebuah hubungan segitiga yang agak rumit.

Lebaran tahun lalu, ia tidak datang karena Menik terserang kurap telinga. Dokter hewan bilang, kucing turki itu alergi terhadap udara panas. Puasa tahun ini juga terpaksa dilewatkan Topik hanya bersama Rais, karena kuku Menik patah ketika ia mengejar anjing di halaman belakang rumahnya. Lain kali, Dede bilang, kucingnya itu kena pilek, hingga ia tak bisa menemani Topik pergi ke dokter memeriksakan asam uratnya yang kumat berkala.

“Aku baru tahu kalau kucing bisa sakit gigi,” ujar Rais. Topik cuma mengangkat bahu. Ia juga, tapi tak ingin lebih jauh mencari tahu. Sesuatu di dalam hatinya melarangnya melakukan itu. 

Topik tetap ingin percaya bahwa Dede memang tak bisa datang karena alasan-alasan yang dikatakannya. Karena itu ia hanya diam ketika kunjungan-kunjungan yang awalnya sebulan sekali, kemudian berkurang jadi empat  bulan sekali, lalu setahun sekali. Dede selalu minta maaf. Topik selalu memaklumi. “Tak apa, sayang. Aku mencintaimu.”

Sekarang, sudah tiga tahun Dede tak pulang. Topik cuma bisa menyimpan rindunya.
Ia simpan rindu itu di kotak indomie di bawah meja gudang bawah tanah. Sesekali, jika ia benar-benar kesepian, laki-laki tua itu akan menarik kotak itu dari tempatnya yang gelap, dan mengeluarkan isinya satu-satu: surat-surat, kartu-kartu ucapan, foto-foto keluarga lama yang sudah menguning, ijasah-ijasah usang, dan cincin pernikahan yang tidak pernah dipakainya lagi semenjak Citra istrinya meninggal dan bayi enam bulan mereka tlah dibawa pergi bersama seorang supir truck, entah ke mana.

Topik tak pernah berhenti mencintai Citra. Ia cuma berhenti naik mobil sekarang.
Rais melirik sahabatnya. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan Topik. Pelan ia menepuk lututnya. “Tentang ulang tahunmu,” ujarnya dengan suara  ceria yang sedikit dipaksakan, “kita buat acara silaturahmi. Kita undang semua teman kita biar meriah!”

Topik menghitung dengan jarinya. “Kamu lupa, teman kita tinggal tiga.”

Rais tersenyum. “Aku tahu.”

Keduanya tertawa.

“Baiklah. Kita bikin acara tersebut  sampai pagi. Aku akan minta Mak Junah memasak untuk kita!”

Keduanya terbahak-bahak, tak peduli pada pandangan aneh ibu-ibu muda yang mulai datang dengan membawa kereta bayi dan anak-anak yang sibuk berlari-lari sambil disuapi makan bubur.

Matahari sudah mulai meninggi. Bayang-bayang makin pendek. Topik menengok arloji tua di tangan kanannya. “Jam sepuluh. Mau ngupi ?” Lewat sudut matanya ia melihat anggukan Rais. 

Keduanya berdiri, pelan-pelan melangkah meninggalkan taman. Di ujung taman itu  sudah terlihat papan yang sudah buram bertuliskan “Kedai Mak Odeng”.

Plang Kayu yang bertulis  “Kedai Mak Odeng”  telah berada di sana sejak – entahlah.....


Kisah imajiner ini  saat diri kami sudah uzur....



By: ww050316


0 komentar:

Post a Comment