Lelaki tua berbaju hangat itu masih setia duduk di bangku taman kota berpantai indah sebelah utara kota itu
berdua dengan temannya, bersisian duduk seperti jejeran buku di lemari yang tlah reyot. Angin
bersemilir menyapu topi lusuh menutupi rambut mereka yang sudah penuh uban.
Selembar tas kresek hitam bekas yang melayang-layang di
atas rumput akhirnya mendarat di ujung sepatu lars mereka yang sudah lama tidak
di semir. Tak satu pun peduli untuk menyingkirkannya. Keduanya masih
mengenakan baju hangat yang menenggelamkan tubuh mereka. Matahari memang
belum hangat, hawa dingin baru lewat. Pagi itu terendus selayang wangi bunga
cempaka. Suara-suara anak para penjaja sarapan pagi kota seolah mendesir di
antara ranting dan daun-daun, lalu turun pelan-pelan di tepi kuping.
Tak ada
yang bicara. Masing-masing sibuk memutar ulang bayangan rupa dalam kepala. Di
bangku kayu itu mereka namakan “kenangan” – segala sesuatu yang tertinggal.
Seperti tapak sepatu berjejak pada debu.
Berpuluh tahun
yang lalu, sulit membayangkan hari ini. Bahkan sekarang pun, rasanya masih aneh
berusia tujuh puluh lima tahun. Banyak hal telah berubah, banyak hal tetap.
Mereka tetap berteman sejak masih sekolah dan hingga mereka meninggalkan
kampung halaman lalu barengan lulus tes masuk kerja sampai punya keluarga bertetanggaan
dan masih berbagi kopi atau teh serta pisang goreng di malam hari.
Tiga hari
sekali keduanya akan berbelanja ke pasar, membeli roti, susu, daging, dan
berbagai keperluan remeh harian. Tiap hari Sabtu , mereka berjalan ke gedung
pertemuan di sebelah wahana rekreasi anak muda, bermain gaplek atau catur bersama
orang-orang tua lain. Sesekali akan datang sekelompok anak muda yang memainkan gitar
untuk mereka. Anak-anak muda yang suka mengadakan acara musik di hari Minggu
dan jika ditegur “ apa khabar anak muda “ dengan penuh semangat mereka menjawab,
“Baik Ooom !” lalu anak anak itu menyapa mereka
“om juga ada sehat semua?”..”in syaa allah sehat “ balas mereka.
“om juga ada sehat semua?”..”in syaa allah sehat “ balas mereka.
Apa kabar...
Keduanya sudah lupa, kapan terakhir kali mereka saling menyapa dengan kalimat
itu. Mungkin jika kita hidup cukup lama, hari-hari akan terasa sama. Kemarin,
tiga hari lalu, minggu lalu, bulan lalu, bahkan tahun lalu, tak lagi amat
berbeda dengan pagi ini. Waktu, jangan-jangan adalah segelas air yang
menyapu segala yang pernah kita cicip di lidah ini – manis, pahit, asam, pedas, dan asin, lalu meninggalkannya
kembali hambar dan netral. Rasa jadi sesuatu yang begitu kini. Seperti ketupat
sayur nangka pagi.
“Aku lupa
membeli selai strawberry dan roti tawar kemarin,” lelaki itu menggaruk dagunya
yang tak gatal. “Selai nanas yang kumakan tadi sudah kering dan susah nempel
di rotiku. Aku seperti mengunyah gabus kenyal, bukan roti lapis berselai.”
Rais
terkekeh pelan. “Kita senasib,” katanya, “Aku lupa membeli sabun mandi. Semalam
aku terpaksa menyabuni badanku dengan shampoo.”
Keduanya
terbahak. Mengagetkan burung merpati yang sedang mengais sebaran jagung di dekat kaki mereka
langsung terbang karena kaget...
“Shampoo!! Hahahaha… Bagaimana rasanya?”
“Seperti soto
daging berminyak bikinan Mak Junah, lengket dibadan!”
Mereka
tertawa ngakak hingga terbungkuk-bungkuk.
Mak Junah,
Mak Junah... Mak Junah membersihkan rumah
mereka. Ia datang seminggu dua kali. Perempuan gemuk setengah baya yang selalu ceria dan
rajin bekerja.
Menyapu, menyingkirkan debu, membuang sampah, membersihkan kaca
jendela, menjaga rumput di halaman agar tak terlalu tinggi, dan menjamin toilet-kamar
mandi tetap harum – adalah tugasnya. Memasak – bukan.
Tapi
secara teratur, ia akan membersihkan isi kulkas dan memanfaatkan apa saja yang
hampir kadaluarsa di dalamnya. Sebagai perantau dari desa tertinggal, ia merasa
berdosa jika ada makanan yang dibiarkan basi membusuk. Meski begitu, ia bukan
tukang masak yang baik. Ikan goreng balado nya selalu garing dan gosong. Telor
dadar goreng bikinannya selalu keasinan. Kolak ubi kreasinya ( Rais dan Topik kesulitan mendefinisikan apa sesungguhnya yang
dibuat Mak Junah ) terasa seperti obat sakit masuk angin.
Tapi tak
ada yang mengalahkan soto daging berminyaknya. Kedua laki-laki itu selalu pucat
jika Mak Junah menyuguhkan soto daging masakannya di meja: cairan bening
berwarna kekuningan dengan potongan sayur dan berbagai hal yang berhasil
ditemukan perempuan itu di lemari pendingin. Hal-hal yang tak wajar berada
dalam soto daging itu. Sobekan roti (yang sudah mengembung dan sedikit hancur
karena basah), cacahan bawang, kol, potongan daging, soun yang seperti lidi
melengkung, gilingan kacang, bahkan butiran kismis dan kurma pun di
campurkannya.
Selain
berbau gak karuan, entah kenapa, soto itu itu selalu membuat Rais teringat pada kencing
tikus got. Ia menyebutnya ‘racun nenek tukang sihir ’. “Mungkin dia memang ingin meracuni kita,” selorohnya.
Tapi
mereka tahu, Mak Junah berhati emas dan tak mampu membunuh seekor kecoa
sekalipun. Ia hanya seorang perempuan yang baik dengan maksud mulia – kombinasi yang
membuat bahkan orang tua tak sabaran seperti Rais dan Topik sekalipun tak tega
menyakiti hatinya. Mereka hanya bisa sabar dan menabahkan diri, menyuap sendok
demi sendok makanan itu di depan Mak Junah yang berdiri menunggui dengan senyum
senang.
Soto Daging Mak Junah adalah salah satu bentuk berempati yang membuat Rais
dan Topik makin merasa senasib sependeritaan.
“Sudah,
sudah,” Rais memegangi perutnya yang sedikit kejang. Dengan punggung tangan, ia
menyeka air mata di pipinya yang sekusut kaos lupa digosok. Ia selalu begitu
jika terlalu geli. “Kita tak berdaya tanpanya.”
“Aku
tahu,” Topik masih terkekeh, berdiri meluruskan kaki.
Ia
memanggil tukang koran yang lewat didepan mereka. Halaman belakang berisi
sambungan artikel serta iklan keluarga. Matanya tertumbuk kolom Berita Duka,
pada sebuah nama yang ia kenal. “Hei! Bro , kau ingat Pamuncak ? Ia meninggal
minggu lalu!”
Disorongkannya lembar tadi pada Rais yang lantas memicingkan
mata, berusaha untuk membaca huruf-huruf di koran yang tercetak kecil-kecil
itu.
“Oohhhh….,”
ujarnya. Entah apa maksudnya.
Di
hari-hari ini, berita kematian tak lagi mengejutkan dan membuat sedih. Berbeda
dengan belasan tahun lalu ketika semua yang ia kenal masih ada. Berbeda dengan
tujuh tahun lalu ketika Dennis meninggalkannya. Dennis yang tabah akhirnya menyerah kalah pada
penyakit yang menggerogoti livernya. Rais mengembalikan koran tadi ke Topik
yang melipatnya dengan rapi, mengepitnya di ketiak, dan kembali duduk.
Sekali
lagi kesunyian hadir di antara mereka berdua seperti orang ketiga – sosok asing
yang tak pernah bisa mereka jadi akrab.
Di hari Dennis
pergi, kesunyian yang sama pelan-pelan
datang, menempati kursi yang biasa ia duduki di meja makan, berlutut di samping
rumpun bunga melati di halaman depan, mengisi sisi kosong di tempat tidurnya,
berdiam di sofa di mana Dennis selalu
menghabiskan sore sambil merajut. Meski tanpa bentuk dan wajah, Rais tak pernah
gagal mengenalinya.
Rais tak
lagi sedih. Ia tak bisa mengatakan kapan tepatnya rasa itu hilang. Tak seperti
luka yang dalam, kesedihan itu tlah pergi tanpa bekas. Mengingat Dennis hari ini hanya sanggup sedikit menghangatkan
ruang yang makin lama makin kecil dalam hatinya. Tapi kesunyian itu tinggal
makin jelas.
Suara yang makin lama makin keras. Kadang begitu nyaring, hingga
ia tak lagi bisa mendengar apa-apa. Seperti baru saja. Topik menggamitnya. Rais
terlonjak kaget. “Aku bilang, Dede tak akan datang di hari ulang tahunku
nanti,” ulangnya lantang. Rais menggerutu, “Aku tidak tuli.” Topik tak peduli.
“Ia
menelponku tadi pagi,” lanjutnya, “ia bilang, Menik sakit gigi.”
Menik
adalah kucing Dede . Dede anak satu-satunya. Ia tinggal di kota sebelah yang
berjarak tempuh sekitar dua jam saja dengan mobil. Topik mencintai Dede. Dede
mencintai Menik. Sebuah hubungan segitiga yang agak rumit.
Lebaran
tahun lalu, ia tidak datang karena Menik terserang kurap telinga. Dokter hewan
bilang, kucing turki itu alergi terhadap udara panas. Puasa tahun ini
juga terpaksa dilewatkan Topik hanya bersama Rais, karena kuku Menik patah
ketika ia mengejar anjing di halaman belakang rumahnya. Lain kali, Dede bilang,
kucingnya itu kena pilek, hingga ia tak bisa menemani Topik pergi ke dokter
memeriksakan asam uratnya yang kumat berkala.
“Aku baru
tahu kalau kucing bisa sakit gigi,” ujar Rais. Topik cuma mengangkat bahu. Ia
juga, tapi tak ingin lebih jauh mencari tahu. Sesuatu di dalam hatinya
melarangnya melakukan itu.
Topik tetap ingin percaya bahwa Dede memang tak bisa
datang karena alasan-alasan yang dikatakannya. Karena itu ia hanya diam ketika
kunjungan-kunjungan yang awalnya sebulan sekali, kemudian berkurang jadi
empat bulan sekali, lalu setahun sekali. Dede selalu minta maaf. Topik
selalu memaklumi. “Tak apa, sayang. Aku mencintaimu.”
Sekarang,
sudah tiga tahun Dede tak pulang. Topik cuma bisa menyimpan rindunya.
Ia simpan
rindu itu di kotak indomie di bawah meja gudang bawah tanah. Sesekali, jika ia
benar-benar kesepian, laki-laki tua itu akan menarik kotak itu dari tempatnya
yang gelap, dan mengeluarkan isinya satu-satu: surat-surat, kartu-kartu ucapan,
foto-foto keluarga lama yang sudah menguning, ijasah-ijasah usang, dan cincin
pernikahan yang tidak pernah dipakainya lagi semenjak Citra istrinya meninggal dan
bayi enam bulan mereka tlah dibawa pergi bersama seorang supir truck, entah ke mana.
Topik tak
pernah berhenti mencintai Citra. Ia cuma berhenti naik mobil sekarang.
Rais
melirik sahabatnya. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan Topik. Pelan ia menepuk
lututnya. “Tentang ulang tahunmu,” ujarnya dengan suara ceria yang
sedikit dipaksakan, “kita buat acara silaturahmi. Kita undang semua teman kita
biar meriah!”
Topik
menghitung dengan jarinya. “Kamu lupa, teman kita tinggal tiga.”
Rais
tersenyum. “Aku tahu.”
Keduanya
tertawa.
“Baiklah.
Kita bikin acara tersebut sampai pagi.
Aku akan minta Mak Junah memasak untuk kita!”
Keduanya
terbahak-bahak, tak peduli pada pandangan aneh ibu-ibu muda yang mulai datang
dengan membawa kereta bayi dan anak-anak yang sibuk berlari-lari sambil disuapi
makan bubur.
Matahari sudah
mulai meninggi. Bayang-bayang makin pendek. Topik menengok arloji tua di tangan
kanannya. “Jam sepuluh. Mau ngupi ?” Lewat sudut matanya ia melihat anggukan Rais.
Keduanya berdiri, pelan-pelan melangkah meninggalkan taman. Di ujung taman itu sudah terlihat papan yang sudah buram
bertuliskan “Kedai Mak Odeng”.
Plang
Kayu yang bertulis “Kedai Mak Odeng” telah berada di sana sejak – entahlah.....
Kisah imajiner
ini saat diri kami sudah uzur....
By: ww050316
By: ww050316
0 komentar:
Post a Comment