Pengertian
mazhab itu adalah metode (manhaj) implementasi ajaran Islam yang dibentuk
melalui pemikiran, kemudian orang yang menjalani akan menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya.
Seorang
Mujtahid yang telah merumuskan keputusan atas beberapa persoalan dalam implementasi
ajaran Islam, kemudian diikuti oleh banyak orang, beliau inilah yang disebut
sebagai Imam Mazhab. Karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk
mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/akidah dengan menggunakan
akal pikiran, sehingga dalam masalah-masalah akidah ini tidak perlu dan tidak
dibolehkan bertaqlid kepada orang lain. Akan tetapi dalam masalah-masalah
fiqih/furu'uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit
sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al Qur'an dan
hadits. Hanya para mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini.
Oleh karena itu, dalam masalah fiqih ini orang awam (yang belum mencapai
peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja' (perujukan).
Dalam
pengertian yang sama ketika kita dihadapkan pada sebuah permasalahan yang tidak
ditemukan rujukan eksplisit dari Quran maupun sunnah, maka seseorang akan
berfikir baik dengan menimbang secara rasional maupun dengan menggunakan data
tambahan sebagai rujukan, untuk mendapatkan kesimpulan agar segera dapat
diambil tindakan nyata untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Usaha semacam
inilah yang secara umum dikenal dengan kata ijtihad. Secara khusus makna
ijtihad dibatasi hanya untuk para ulama tertentu yang "memiliki"
kualifikasi sebagai seorang mujtahid. Dalam pengertian ini, usaha serupa yang
dilakukan orang awam tidak disebut sebagai ijtihad.
Pentingnya
kualifikasi tentu saja berkaitan dengan "tingkat kesempurnaan" atau
akurasi pengambilan keputusan. Orang dengan penguasaan Quran 70%, Sunnah 80%,
diharapkan mampu untuk lebih akurat menganalisa masalah dan mengambil keputusan
dibandingkan mereka yang tingkat penguasaan Quran dan Sunnahnya tidak lebih
dari itu. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa pendapat orang awam
pada satu kasus tertentu lebih akurat dibanding pendapat ulama atau bahkan
mujtahid. Untuk kasus khusus seperti ini seorang ulama yang arif tak segan
untuk mengambil pendapat orang awam tersebut dan menjadikannya sebagai sandaran
hujjah dalam keputusan yang diambilnya. Umar bin Khattab pernah mencontohkan hal
demikian dengan kalimatnya yang terkenal, "...ibu ini benar, dan Umar
salah"...
Seorang
Mujtahid yang telah merumuskan keputusan atas beberapa persoalan dalam
implementasi ajaran Islam, kemudian diikuti oleh banyak orang, beliau inilah
yang disebut sebagai Imam Mazhab.
Syaikh
Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqh Al Islami wa Adilatuhumenyebutkan 6 tingkatan mujtahid fiqih.
Pertama:
Mujtahid
mustaqil (mujtahid independen).
Ini
tingkatan paling tinggi. Seorang mujtahid mustaqil memiliki kemampuan untuk
menetapkan kaidah-kaidah fikih berdasarkan kesimpulan terhadap perenungan dalil Al
Quran dan Sunah. Selanjutnya, kaidah-kaidah ini digunakan sebagai landasan dalam
membangun pendapatnya. Di antara ulama yang telah mencapai derajat mujtahid
mustaqil adalah para imam mazhab yang empat.
Kedua:
Mujtahid
mutlaq yang tidak mustaqil.
Mereka
adalah orang yang telah memenuhi persyaratan dalam berijtihad secara
independen, namun mereka belum membangun kaidah sendiri tetapi hanya mengikuti
metode imam mazhab dalam berijtihad. Mereka memiliki kemampuan menetapkan hukum
dari beberapa dalil sesuai dengan kaidah yang ditetapkan pemimpin mazhab. Bisa
jadi, mereka berselisih pendapat dalam beberapa masalah yang terperinci di
bidang fikih, namun secara prinsip, mereka mengikuti imam mazhab. Seperti murid
para imam mazhab.
Ketiga:
Mujatahid
muqayyad (mujtahid terikat).
Mereka
adalah kelompok ulama mujtahid yang memiliki kemampuan untuk mengkiaskan
keterangan-keterangan yang disampaikan oleh imam mazhab, untuk memecahkan
permasalahan baru yang tidak terdapat dalam keterangan-keterangan ulama mazhab.
Pendapat hasil ijtihad ulama pada tingkatan ini disebut dengan “al wajh”.
Terkadang, dalam satu mazhab, para ulama dalam mazhab tersebut berbeda
pendapat, sehingga sering dijumpai dalam penjelasan di buku fikih, pada suatu
permasalahan terdapat sekian wajh. Artinya, dalam permasalahan itu terdapat
sekian pendapat dalam mazhab tersebut.
Keempat:
Mujtahid
takhrij.
Mereka
adalah deretan ulama yang men-takhrij beberapa pendapat dalam mazhab. Kemampuan
mereka dalam menguasai prinsip dan pengetahuan mereka dalam memahami landasan
mazhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk menguatkan salah satu pendapat.
Kelima:
Mujtahid
tarjih.
Mereka
adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan memilih pendapat yang lebih
benar dan lebih kuat, ketika terdapat perbedaan pendapat, baik perbedaan antara
imam mazhab atau perbedaan antara imam dengan muridnya dalam satu mazhab.
Keenam:
Mujtahid
fatwa.
Mereka
adalah para ulama yang memahami pendapat mazhab, serta menguasai segala
penjelasan dan permasalahan dalam mazhab, sehingga mereka mampu menentukan
mana pendapat yang paling kuat, agak kuat, dan lemah. Namun, mereka belum
memiliki kepiawaian dalam menentukan landasan kias dari mazhab.
Tambahan
1 peringkat oleh Ibnu Abidin yakni:
Ketujuh,
Tingkatan
para muqallid (orang yang taklid).
Mereka
adalah orang yang tidak mampu membedakan antara (pendapat) yang kuat dan yang
tidak kuat. Inilah tingkatan umumnya dari masyarakat.
Mazhab
itu ada 4 (empat) yang terkemuka dan menjadi rujukan umat islam hingga
hari ini:
Mazhab
Al-Hanifiyah.
Didirikan
oleh An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) atau lebih dikenal sebagai Imam Abu
Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup
dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah.
Mazhab
Al-Hanafiyah ini; Sangat dikenal dan terkemuka
dalam masalah pemanfaatan akal/logika mengupas masalah fiqih.
Mazhab
Al-Malikiyah.
Mazhab
ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93– 179H).
Berkembang
sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab
Al-Malikiyah ini, merujuk
dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan cara hidup penduduk
Madinah, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.
Mazhab
ini adalah kebalikan dari mazhab Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali
mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid
di Kufah, mazhab Maliki justru 'kebanjiran' sumber-sumber syariah.
Mazhab
As-Syafi'iyah.
Didirikan
oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H).Beliau dilahirkan di Gaza Palestina
(Syam) tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.
Imam
Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau
mampu memadukan fiqh ahli ra'yi (Al-Hanafiyah) dan fiqh ahli hadits
(Al-Malikiyah).
Mazhab
As-Syafi'iyah ini :
Al-Quran,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, ”Jika
sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah
madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Beliau
tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa
salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah)
sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk
Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia
telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan, ”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah (pembela sunnah),”
Mazhab
Al-Hanabilah.
Didirikan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H) dikenal sebagai Imam
Hambali. Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada
bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di
pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam.
Imam
Syafi’I adalah guru beliau ketika datang ke Baghdad, sehingga menjadi mujtahid
mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai
sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan
berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari (104 – 183 H).
Mazhab
Al-Hanabilah
Dasar
madzhab, adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab,
Maslahah mursalah, saddudzarai’. Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun
tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukan madzhabnya dari perkataan,
perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain.
Namun
beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis.
Beliau memiliki kekuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal
dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau
munkar.
Jadi
untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan
bantuan dan perantara "ahli khibrah". "Ahli khibrah" ialah
orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan
mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan
membedakan antara mujtahid dan antara a'lam dengan yang tidak.
Semoga
bermanfaat.
By: ZM
By: ZM
0 komentar:
Post a Comment