Thursday, 30 June 2016

Kenapa Perlu Mengetahui Mazhab

Pengertian mazhab itu adalah metode (manhaj) implementasi ajaran Islam yang dibentuk melalui pemikiran, kemudian orang yang menjalani akan  menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya.

Seorang Mujtahid yang telah merumuskan keputusan atas beberapa persoalan dalam implementasi ajaran Islam, kemudian diikuti oleh banyak orang, beliau inilah yang disebut sebagai Imam Mazhab. Karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/akidah dengan menggunakan akal pikiran, sehingga dalam masalah-masalah akidah ini tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain. Akan tetapi dalam masalah-masalah fiqih/furu'uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al Qur'an dan hadits. Hanya para mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini. Oleh karena itu, dalam masalah fiqih ini orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja' (perujukan).

Dalam pengertian yang sama ketika kita dihadapkan pada sebuah permasalahan yang tidak ditemukan rujukan eksplisit dari Quran maupun sunnah, maka seseorang akan berfikir baik dengan menimbang secara rasional maupun dengan menggunakan data tambahan sebagai rujukan, untuk mendapatkan kesimpulan agar segera dapat diambil tindakan nyata untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Usaha semacam inilah yang secara umum dikenal dengan kata ijtihad. Secara khusus makna ijtihad dibatasi hanya untuk para ulama tertentu yang "memiliki" kualifikasi sebagai seorang mujtahid. Dalam pengertian ini, usaha serupa yang dilakukan orang awam tidak disebut sebagai ijtihad.

Pentingnya kualifikasi tentu saja berkaitan dengan "tingkat kesempurnaan" atau akurasi pengambilan keputusan. Orang dengan penguasaan Quran 70%, Sunnah 80%, diharapkan mampu untuk lebih akurat menganalisa masalah dan mengambil keputusan dibandingkan mereka yang tingkat penguasaan Quran dan Sunnahnya tidak lebih dari itu. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa pendapat orang awam pada satu kasus tertentu lebih akurat dibanding pendapat ulama atau bahkan mujtahid. Untuk kasus khusus seperti ini seorang ulama yang arif tak segan untuk mengambil pendapat orang awam tersebut dan menjadikannya sebagai sandaran hujjah dalam keputusan yang diambilnya. Umar bin Khattab pernah mencontohkan hal demikian dengan kalimatnya yang terkenal, "...ibu ini benar, dan Umar salah"...

Seorang Mujtahid yang telah merumuskan keputusan atas beberapa persoalan dalam implementasi ajaran Islam, kemudian diikuti oleh banyak orang, beliau inilah yang disebut sebagai Imam Mazhab.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqh Al Islami wa Adilatuhumenyebutkan  6 tingkatan mujtahid fiqih.

Pertama:
Mujtahid mustaqil (mujtahid independen).
Ini tingkatan paling tinggi. Seorang mujtahid mustaqil memiliki kemampuan untuk menetapkan kaidah-kaidah fikih berdasarkan kesimpulan terhadap perenungan dalil Al Quran dan Sunah. Selanjutnya, kaidah-kaidah ini digunakan sebagai landasan dalam membangun pendapatnya. Di antara ulama yang telah mencapai derajat mujtahid mustaqil adalah para imam mazhab yang empat.

Kedua:
Mujtahid mutlaq yang tidak mustaqil.
Mereka adalah orang yang telah memenuhi persyaratan dalam berijtihad secara independen, namun mereka belum membangun kaidah sendiri tetapi hanya mengikuti metode imam mazhab dalam berijtihad. Mereka memiliki kemampuan menetapkan hukum dari beberapa dalil sesuai dengan kaidah yang ditetapkan pemimpin mazhab. Bisa jadi, mereka berselisih pendapat dalam beberapa masalah yang terperinci di bidang fikih, namun secara prinsip, mereka mengikuti imam mazhab. Seperti murid para imam mazhab.

Ketiga:
Mujatahid muqayyad (mujtahid terikat).
Mereka adalah kelompok ulama mujtahid yang memiliki kemampuan untuk mengkiaskan keterangan-keterangan yang disampaikan oleh imam mazhab, untuk memecahkan permasalahan baru yang tidak terdapat dalam keterangan-keterangan ulama mazhab. Pendapat hasil ijtihad ulama pada tingkatan ini disebut dengan “al wajh”. Terkadang, dalam satu mazhab, para ulama dalam mazhab tersebut berbeda pendapat, sehingga sering dijumpai dalam penjelasan di buku fikih, pada suatu permasalahan terdapat sekian wajh. Artinya, dalam permasalahan itu terdapat sekian pendapat dalam mazhab tersebut.

Keempat:
Mujtahid takhrij.
Mereka adalah deretan ulama yang men-takhrij beberapa pendapat dalam mazhab. Kemampuan mereka dalam menguasai prinsip dan pengetahuan mereka dalam memahami landasan mazhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk menguatkan salah satu pendapat.


Kelima:
Mujtahid tarjih.
Mereka adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan memilih pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika terdapat perbedaan pendapat, baik perbedaan antara imam mazhab atau perbedaan antara imam dengan muridnya dalam satu mazhab.

Keenam:
Mujtahid fatwa.
Mereka adalah para ulama yang memahami pendapat mazhab, serta menguasai segala penjelasan dan permasalahan dalam mazhab, sehingga mereka mampu menentukan mana pendapat yang paling kuat, agak kuat, dan lemah. Namun, mereka belum memiliki kepiawaian dalam menentukan landasan kias dari mazhab.

Tambahan 1 peringkat oleh Ibnu Abidin yakni:

Ketujuh,
Tingkatan para muqallid (orang yang taklid).
Mereka adalah orang yang tidak mampu membedakan antara (pendapat) yang kuat dan yang tidak kuat. Inilah tingkatan umumnya dari masyarakat.

Mazhab itu ada 4 (empat) yang terkemuka dan menjadi rujukan umat islam hingga hari ini:

Mazhab Al-Hanifiyah.
Didirikan oleh An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah.
Mazhab Al-Hanafiyah ini; Sangat dikenal dan terkemuka dalam masalah pemanfaatan akal/logika mengupas masalah fiqih.

Mazhab Al-Malikiyah.
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93– 179H).
Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab Al-Malikiyah  ini, merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan cara hidup penduduk Madinah, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.
Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhab Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru 'kebanjiran' sumber-sumber syariah.

Mazhab As-Syafi'iyah.
Didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H).Beliau dilahirkan di Gaza Palestina (Syam) tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.

Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra'yi (Al-Hanafiyah) dan fiqh ahli hadits (Al-Malikiyah).

Mazhab As-Syafi'iyah ini :
Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, ”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan, ”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Mazhab Al-Hanabilah.
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H) dikenal sebagai Imam Hambali. Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam.

Imam Syafi’I adalah guru beliau ketika datang ke Baghdad, sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari (104 – 183 H).

Mazhab Al-Hanabilah 
Dasar madzhab, adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’. Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukan madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain.

Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kekuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar.

Jadi untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan bantuan dan perantara "ahli khibrah". "Ahli khibrah" ialah orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan membedakan antara mujtahid dan antara a'lam dengan yang tidak.


Semoga bermanfaat.


By: ZM

0 komentar:

Post a Comment