Tuesday, 29 December 2015

Menumbuhkan Budaya Egaliter, Mengentaskan Mental Miskin dalam Budaya Kita.

Kadang dalam kehidupan ini sering terjadi kontradiksi, contoh:  ”Kenapa kalau kita menawarkan suatu barang dagangan atau produk bikinan sendiri ke teman dekat, atau keluarga selalu mereka berpikir kalau kita mencari untung besar dari uang mereka, padahal harga yang kita tawarkan lebih rendah dan berkualitas dari harga yang dijual dipasar. Dan yang paling menjengkelkan itu mereka tidak menghargainya. Justru mereka rela ditipu oleh orang lain yang tak dikenal/asing dan ujug ujug malah mendukungnya. Ini adalah contoh budaya bermental miskin yang sering kita temukan di sekitar kita...!"

Bicara soal budaya bermental miskin ini disebabkan oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang menghambat masyarakat itu untuk berkembang dan maju. Feodalisme merupakan salah satu nilai yang dalam hal ini menyebabkan budaya bermental miskin. Ini mengakibatkan  masyarakat sulit untuk mengembangkan kreatifitas dalam berusaha. 

Mereka yang menganut paham ini lebih mempercayai produk atau dagangan orang asing daripada keluarga atau bangsa sendiri. Inilah yang menjadikan masyarakat  kita tanpa disadari tertanam budaya ber mental miskin, yaitu mental yang tidak ingin maju, tidak suka bekerja keras, pemalas, dan suka menjilat serta mengagungkan karya bangsa asing. Budaya ini juga yang memberi ruang untuk berbuat korupsi di negeri ini, akhirnya menjual harga diri serta hilangnya rasa malu.
Saat ini kita butuh budaya egaliter yakni  perlakuan yang setara dalam dimensi kehidupan sosial berkeluarga, dan bermasyarakat. Tidak memandang lagi bahwa orang lain apalagi orang asing/bule lebih tinggi keberadaannya dalam perspektif sosial, budaya, teknologi dan lain sebagainya.

Kita bisa rasakan kebanyakan orang Indonesia terpesona dengan keindahan fisik orang-orang asing/bule. Kulit putih mulus, hidung mancung, rambut pirang, mata biru adalah perlambang kecantikan dan ketampanan sempurna di mata orang-orang Indonesia kebanyakan. Tak heran, jika banyak diantara orang-orang kita meniru-niru lagak dan gaya mereka.

Sebaliknya jika orang asing/bule belajar kebahagiaan kepada orang Indonesia, kenapa kita hanya meniru gaya mereka saja. Teman saya spontan ngomong, kenapa kita enggan belajar budaya kedisiplinan, kerja keras, integritas, dan profesionalitas mereka dalam bekerja dan berdagang  ya?

Bagi saya pribadi, orang bule itu, atau orang Eropa dan Jerman khususnya (karena saya ada disana), yang istimewa itu adalah etos kerja mereka. Mereka begitu profesional di bidangnya. Serta budaya egaliter yang mereka jalani, seperti halnya jabatan, pendidikan tak menjadikan orang merasa lebih terhormat dari lainnya. Mereka jika bekerja sesuai kompetensi masing masing, fokus dan serius selama waktu kerja.  Seorang yang berkedudukan bos di sebuah perusahaan merasa sama derajatnya dengan seorang pembersih MCK.  Seorang bos membukakan pintu untuk seorang pembersih toilet di sebuah kantor adalah hal yang lumrah dan wajar.  Hal demikian ini dianggap sebagai keadaan alami dari sebuah masyarakat. Dan tentunya hal yang teramat langka ada di Indonesia.

Bagaimana caranya mereka menjadi percaya diri untuk mulai berbisnis dan kreatif menciptakan dan menggunakan produk sendiri dalam masyarakat mereka? Alasan utamanya  adalah karena mereka bersedia mendukung bussines associate mereka, menjaga kepentingan satu sama lain, maka secara alami mereka mendapatkan manfaat yang lebih banyak lagi..beda dengan bangsa kita terutama pemimpinnya, mereka lebih suka membeli produk import yang tidak berbasis pada kemampuan bangsa sendiri, dengan alasan lebih murah dan teknologinya lebih baru. Kenapa pemimpin kita bersikap demikian? Karena mental mereka yang miskin dan masih sangat feodal.

Teman-teman, saudara, keluarga serta pemerintah kita seharusnya secara bergantian mendukung kita untuk berusaha dan berkarya demi mendapat manfaat  dalam kehidupan masyarakat yang mandiri. Maka lingkaran kesejahteraan masyarakat ini akan terus bertumbuh dan semakin bertumbuh.
Sederhananya, kita akan mulai bersemangat menjadi wiraswasta ketika kita bisa memahami  apa yang kita lakukan.

Tidak salah kalau mau berusaha untuk menjual atau menawarkan produk yang kita hasilkan itu, yang menjadi orang pertama mempercayai kita adalah orang asing (diluar orang dekat di sekitar kita). Teman akan menutup diri dari penawaran kita. Teman biasa akan menjauh, dan keluarga akan memandang rendah usaha kita.

Jika suatu saat kita telah sukses, maka kita akan membayar semua tagihan mereka ketika makan malam bersama, atau suguhan entertainment, dan disitu kita menyadari semua orang yang tidak mendukung awal dari usaha kita tadi akan hadir, kecuali orang asing yang pertama mempercayai kita lupa untuk dihadirkan.
Jelaslah bagi kita, dari proses menawarkan barang dagangan untuk memulai usaha tadi sekarang kita sudah paham, hal yang menghambat kita untuk menjadi pebisnis itu dimulai dari nilai budaya bermental miskin yang berkaitan pada nilai budaya feodalisme.

Kita juga harus ingat untuk memperlakukan pelanggan orang asing itu tadi lebih baik lagi! Dan demikian juga kepada sebagian teman yang tahu apa yang kita lakukan, tetapi tetap mendukung kita.


Perlakukanlah pelanggan pertama dan orang orang yang bersimpati kepada usaha kita lebih baik lagi mulai hari ini. Karena mereka adalah pelanggan terbaik kita.


By: ZM 291215

0 komentar:

Post a Comment