Saturday 12 December 2015

Etika, sudah mulai lapuk di negeri ini ...

Setiap orang di dunia ini  merindukan rumah, tempat dimana mereka akan pulang, tempat dimana orang-orang yang mereka sayangi berada. Pada hakikatnya, rumah bukan semata tempat  yang berbentuk bangunan segi empat atau bertingkat - tingkat. 

Tapi  rumah yang kita rindu kan itu sebuah rumah yang dibangun dengan cinta dan kasih sayang, juga rasa saling menghormati dan menghargai serta saling bahu membahu untuk semua kepentingan hidup bersama, apakah di rumah itu berdiam sahabat, saudara, kekasih, suami, istri, anak, adik, kakak, maupun orang tua kita sendiri. Rumah yang kita rindukan itu sebuah tempat yang telah memberi contoh pengajaran tata cara ber etika dan mengajarkan nilai luhur kekeluargaan.  Etika yang  merupakan pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sudut pandang budaya, susila dan agama lalu  terintegrasi  yang ujungnya bermuara kepada bentuk  jati diri penghuninya. Etika ini biasa disebut juga adat, kebiasaan atau kesepakatan bersama sebagai  pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota keluarga  tentang apa yang dinilai baik dan buruk  di masyarakat sekitarnya.

Contoh etika yang umum kita perhatikan di dalam rumah seperti, mengucap salam, merendahkan suara saat berbicara dengan orang tua, meminta maaf jika lakukan kesalahan dan lain sebagainya. Kesemua aktifitas yang menjadi kebiasaan baik ini  berlaku dari generasi ke generasi menjadi budaya sebuah kelompok masyarakat yang berkembang dari rumah yang kita rindukan selama ini menjadi tradisi  yang selalu di informasikan atau diajarkan secara berkelanjutan.

from ; academyofautomotiveexcellence,com
Jika rumah kita analogikan sebagai negara. Dalam beberapa dekade ini kita melihat dan merasakan kondisi kekeluargaan telah mengalami moral hazard seperti  sikap acuh tak acuh terhadap nasib orang lain yang notabene adalah saudaranya sendiri, mungkin kita bisa menyebutkan bahwa rasa kekeluargaan yang ada di negara kita ini mulai ter gerus dengan nilai budaya yang tidak lagi mencerminkan kebersamaan, terlihat dari cara kita menghargai nilai etika dan kesepakatan yang tidak tertulis itu sebagai pedoman yang harus dipatuhi bersama tentang apa yang dinilai baik atau buruk dari sisi nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum. Oleh karena itulah penulis merasa perlu untuk menganalogikan antara negara dengan sebuah rumah tangga dalam arti kita lebih bisa melihat secara sederhana apa yang sedang terjadi dalam kehidupan bernegara saat ini.

Kita semua paham, bahwa di dalam keluarga itu ada ayah, ibu, dan anak. Kemudian ada juga keluarga lain yang juga tercatat sebagai anggota keluarga. Tugas-tugasnya pun secara tertulis atau tidak tertulis sudah sangat jelas. Seperti misalnya ayah bertugas memberikan nafkah keluarga, memberi rasa aman, dan memberikan rasa keadilan terhadap semua anggota keluarga. Kemudian ibu bertugas untuk mengelola jalannya rumah tangga, menjadi wakil dari ayah ketika beliau sedang tidak ada di rumah, dan menjadi pelengkap kekurangan ayah dalam ke pemimpinan nya. 

Sedangkan anak, sebelum ia berkeluarga, berkewajiban untuk patuh terhadap peraturan yang ada di rumah tersebut, menjadi kebanggaan keluarga, dan juga berhak mendapatkan perlindungan dari ayah dan ibu mereka. Secara sederhananya dari semua anggota keluarga tersebut harus saling menjaga dan melindungi. Jika satu anggota sakit maka sakitlah anggota keluarga yang lain begitu juga sebaliknya. Idealnya seperti itu.

Dalam kehidupan sebuah keluarga, akan sangat malu kalau mendapati salah satu dari anggota keluarganya yang tersangkut masalah berperilaku buruk  seperti “mencuri, menipu orang atau menyakiti orang lain“. Karena orang yang ada di dalam keluarga tersebut pasti akan berfikir beberapa kali tentang nama baik keluarganya ketika ia akan melakukan hal-hal yang buruk dan tidak lazim di dalam masyarakat.Begitu juga dalam kehidupan bernegara. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat itu berfungsi selayaknya bagai orang tua ( Ayah dan Ibu ) secara normatif harus mampu melindungi, mengayomi dan menjamin rakyatnya bisa hidup adil sejahtera lahir dan batinnya.  

Tak pernah terbayangkan ,ketika masalahnya kemudian muncul ketika  Dewan Perwakilan Rakyatnya (Ibu) tidak sepenuh hati untuk memenuhi tugas dan janjinya. Dengan kata lain acuh terhadap kepentingan rakyatnya, menganggap bahwa rakyat harus bisa menyelesaikan segala kepentingannya  sendiri dengan berbagai macam dalih, lalu melepaskan tanggung jawabnya dan sibuk mencari kesenangan pribadi dengan mencampuri urusan yang tidak sepantasnya di lakukan dalam arti menyimpang dari kesepakatan tugas dan tanggung jawabnya. 

Hal ini sungguh sangat melukai hati rakyat yang berharap kepada mereka. Malah yang lebih parahnya adalah jika oknum Dewan ini bertindak diluar batas norma kepatutan dan kepantasan yang bisa memberi kesengsaraan pada rakyat dan negara di kemudian hari. Dapat dikatakan  sebagai sikap seseorang yang tidak berempati kepada rakyat yang telah ikhlas memberi kan amanah yang suci namun dibalas dengan sikap tak peduli dalam arti hak yang diberikan rakyat di terlantar kan oleh oknum tadi di Dewan Perwakilan Rakyat yang mereka jadikan daulah orang yang dihormati nya. 

Karena seperti kita ketahui bahwa jika orang tuanya saja sudah tidak peduli maka siapa lagi yang diharapkan untuk mengurusi anak negeri ( rakyat ). Kita semua tak akan rela bila di kemudian hari terlantar dan menjadi budak di negeri sendiri sampai kiamat mungkin.. Kita semua, sebagai rakyat di negeri ini menggugat etika kalian semua itu ada dimana ???.yang seharusnya menjadi pengawal moral bangsa yang dapat dijadikan panutan untuk menghargai budaya bangsa yang luhur itu .

Kita berhak untuk bertanya kepada mereka ini .."Masih adakah etika dan rasa malu itu di hati mu wahai senator ??? atau etika itu sudah mulai lapuk di negeri ini...".


0 komentar:

Post a Comment