Merenungkan Hikmah
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. ,setiap orang tentunya berbeda
beda; ada sebagian yang merayakan sedemikian antusias dan hiruk pikuk dengan
berbagai aktifitas, dan ada yang melakukannya secara sederhana, melalui
renungan hikmah peristiwa tersebut, dan ada pula yang hanya sekedar mengingat
semata.
Dari sisi histori
Isra’ dan Mi’raj itu sendiri sesungguhnya merupakan sebuah ujian, terutama bagi
orang yang beriman pada saat itu, apakah mereka benar benar meyakini keberadaan
Nabi Muhammad sebagai utusan Allah ataukah seperti yang selama itu dituduhkan oleh
orang orang kafir bahwa Muhammad hanyalah seorang pembohong dan ahli sihir.
Peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut dijelaskan pada saat itu sangat tidak rasional
bilamana hanya didasarkan kepada pengetahuan yang sempit dan
terbatas. Bagaimana mungkin Muhammad mengaku hanya semalam ia
diperjalankan oleh Tuhan dari masjid Haram di Makkah sampai ke masjid
al-Aqsha di Palestina.
Dalam hitungan
rasional saja dengan menggunakan kendaraan yang paling cepat hanyalah
kuda, dan kalau jarak tersebut ditempuh dengan kuda, memakan waktu berbulan, Muhammad mengakuinya semalam saja pulang pergi dari dan ke masjid al-Aqsha di Palestina. Orang mengatakan
gila , mengigau dan membual . Karena itu , mereka yang imannya tidak
kuat dengan cepat terpengaruh.
Namun bagi
yang imannya kuat seperti Abu Bakar dan para sahabat dekat Nabi saat itu,
dengan tegas menyatakan tetap percaya kepada Nabi Muhammad
Shalallahu 'Alaihi Wassalam. Jangankan Cuma ngejalani
perjalanan Makkah ke Palestina pulang pergi, sesuatu hal yang
disampaikan oleh Nabi lebih dari itu, mereka tetap percaya dan tak
ragu sedikitpun, karena semuanya atas ijin dan ridho Allah Maha
Kuasa.
Isra’ Mi’raj
tersebut pada akhirnya bermuara pada kewajiban
menjalankan shalat lima waktu setiap hari semalam bagi Nabi
Muhammad SAW beserta pengikut beliau hingga akhir zaman. Kewajiban
shalat disampaikan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad dan Allah
mengundangnya, tidak seperti perintah wajib lainnya yang berupa
wahyu saja. Karena kewajiban shalat adalah sebuah kewajiban yang istimewa dan
tidak sama dengan kewajiban lainnya. Contoh ; Sholat tidak
boleh ditinggalkan dengan alasan apapun, seperti sakit,
melakukan perjalanan jauh, maleeess, capek apalagi ya ???. Sedangkan ibadah atau kewajiban
lainnya dapat ditinggalkan dengan alasan syar’i.
Shalat menurut nabi
Muhammad ialah sebuah kewajiban yang akan menentukan baik dan buruknya amal
seseorang. Maksudnya kalau ibadah shalat seseorang itu baik bahkan
sangat baik, tentu amaliah lainnya juga akan mengikuti kebaikannya tersebut dan
begitu juga sebaliknya .
Kita lihat kondisi saat ini Di tengah derasnya arus modernitas, serikali manusia terlena dan larut dalam dekapan budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Nilai-nilai yang bersifat materi diagungkan, sementara nilai-nilai rohani diabaikan.
Dari sisi materi mereka tidak kekurangan, bahkan berlimpah, tetapi sisi rohani mereka gersang, kering kerontang. Fisik mereka sehat, namun jiwa mereka kosong dan rapuh.
Kenyataan inilah
bisa kita pahami pada link
Shalat juga
merupakan satu satunya amal ibadah pertama kalinya di akhirat nanti akan
dimintakan pertanggung jawaban oleh Allah, sebelum amaliyah lainnya.
Penutup.
Akhir kata ,
Penulis rasa sangat tepat jika Peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut dijadikan sebagai
refleksi untuk menyadari betapa selama ini kita kurang dalam hal
keseriusan dalam menjalankan ibadah shalat. kita harus segera
mengevaluasi diri, terutama dalam hal cara dan khusu’ nya shalat
kita. Semoga kita dapat meningkatkan kualitas shalat kita dan
sekaligus menjadikan diri kita Istiqomah (konsisten) Syaratnya adalah
fokus kepada sesuatu yang menjadi cita-cita hidup kita karena hal itu yang akan
menggerakkan seluruh hidup kita ke arah cita-cita tersebut. Kalau gak tahu apa
yang dituju, pasti akan goyah. Dapat ujian sedikit sudah limbung. bahwa
istiqomah itu salah satu ciri keimanan kita teruji atau tidak.
Ketika kita tidak
istiqomah, bisa dikatakan memang bahwa keimanan kita tidak teruji dengan baik.
Memang istiqomah menjadi suatu kondisi, suatu benteng untuk menunjukkan
ketundukan kita kepada Allah. Indikator keberagamaan kita atau ketakwaan itu
memang ada pada sikap istiqomah. Menjalankan sesuatu, sendirian atau
ramai-ramai, diberi reward tidak diberi reward, sikapnya sama saja. Itulah sikap
orang yang istiqomah, yang dibalut dengan perilaku ikhlas sebagai hamba.
Caranya agar kita bisa istiqomah dengan akan sangat terbantu dengan adanya amal
jama’i ( amal berjamaah).
Karena dengan
kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal
apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika
kita lalai, tentu yang lain ada yang mengingatkan. Berbeda dengan ketika kita
seorang diri. Ditambah lagi, nuansa atau suasana beraktivitas secara bersama
memberikan ‘sesuatu yang berbeda’ yang tidak akan kita rasakan ketika beramal
seorang diri. Rasulullah saw. bersabda, ‘istiqamahlah kalian, dan
janganlah kalian menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal
kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang dapat menjaga wudhu’ (baca; istiqamah
dalam whudu’, kecuali orang mukmin.) (HR. Ibnu Majah).
Sampailah pada satu
kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah menjadi permulaan dari sejarah kaum
Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas
kota suci Mekah, maka Isra’ Mi’raj menjadi “puncak”
perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.
By ; Zoel2015
0 komentar:
Post a Comment