Segala puji bagi
Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad
Salallahu‘alaihi Wa Sallam , keluarga, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga akhir zaman.
Keutamaan
perniagaan itu dari do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada setiap penjual dan pembeli yang senantiasa memudahkan orang lain dalam perniagaan nya.
Dari
Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
“Semoga Allah
merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan
ketika menagih haknya (utangnya).”
(HR. Bukhari no. 2076)
Perniagaan yang berkah
tentu saja bukan dengan asal-asalan dalam berdagang tanpa mengetahui aturan
yang berlaku dari Allah dan Rasul-Nya. Sangat mustahil keberkahan itu diraih,
namun seseorang yang tidak memahami aturan jual beli dalam syari’at Islam. Tentu
saja mesti dipelajari dan dipahami sebelum seseorang terjun ke
dunia bisnis ini. Tujuannya adalah agar tidak terjerumus dalam hal-hal
yang dilarang oleh agama.
Sejak masa salaf
dahulu (masa keemasan Islam), orang-orang mulia kala itu telah berpesan, "pahami dahulu tentang hal-hal yang dilarang dalam jual beli sebelum berdagang".
Misalnya, bila seseorang tidak memahami apa itu riba, dia akan menuai bahaya
yang besar. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan :
“Barangsiapa yang
berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam
riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
Lihatlah pula apa
kata ‘Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,
Janganlah
seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul
mengenai seluk beluk
riba
Intinya di sini,
seseorang yang hendak menerjuni dunia bisnis, ia harus mengetahui aturan-aturan
yang ada. Hukum asal berbagai bentuk jual beli itu dibolehkan. Oleh karena itu,
yang perlu sangat diketahui adalah apa saja bentuk jual beli yang terlarang.
Itulah yang menyebabkan dua khulafaurrosyidin yang mulia memerintahkan para
pedagang untuk memahami dulu apa itu riba.
Karena jual beli
yang mengandung riba adalah salah satu jual beli yang terlarang. Hal ini mesti
dipelajari lebih dulu agar seseorang tidak terjerumus di dalamnya.
Sudah seharusnya
setiap pebisnis menjadikan ilmu di depan segala amalnya.
Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Ilmu adalah
pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Barangsiapa yang
Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia
tentang agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan :
“Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya
pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak
diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan
bagusnya agama pada dirinya.”
Ini berarti jika ingin diberi kebaikan dan
keberkahan dalam bisnis, kuasailah berbagai hal yang berkaitan dengan hukum
dagang.
Berdagang yang
Mabrur itu seharusnya Membawa Manfaat bagi si Penjual - Pembeli. Banyak
cara yang ditempuh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, contohnya
berdagang (berniaga). Berdagang itu cara yang efektif untuk dapatkan untung
atau laba. Juga jadi sarana yang dapat mendekatkan seseorang terhadap
Tuhannya. Secara riil, berniaga membantu sesama saudara yang butuh barang
komoditas.
Berdagang juga pekerjaan yang pernah
dijalani Nabi Muhammad saw. Bersama pamannya beliau berdagang ke negeri
Syam untuk menyalurkan barang-barang komoditas dari Makkah.
Transaksi jual-beli
alias berdagang itu ada istilah yang disebut ba’i dan tijarah.
- Ba’i itu tukar menukar barang dengan yang lain sebatas memenuhi kebutuhan tidak mencari keuntungan atau laba.
- Tijarah itu lebih menitikberatkan pada hasil atau laba.
Kedua hal ini
memiliki satu tujuan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan.
Perniagaan itu
,masuk dalam usaha yang baik khususnya didalam proses jual belinya ..Jual beli
yang dimaksudkan tentu saja jual beli yang tidak mengandung unsur penipuan atau
yang merugikan salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam
arti, sama-sama rela tanpa ada unsur keterpaksaan dalam bertransaksi. Namun,
terkadang seseorang lupa akan etika jual-beli, sehingga memiliki kecenderungan
untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan pihak konsumen
(pembeli).
Padahal tujuan
jual-beli sesungguhnya bukan semata-mata murni mencari keuntungan atau laba,
namun juga membantu saudara yang sedang membutuhkan. Meraup keuntungan
sebesar-besarnya akan berdampak pada kecenderungan pedagang untuk berbuat
negatif serta berbohong, menipu, memanipulasi, malah mengucapkan sumpah palsu
untuk meyakinkan pembelinya , ambil kesempatan dalam kesempitan, dan lain-lain
modus .
Nabi Muhammad SAW. bersabda :
“Pedagang itu
(harus) jujur dan terpercaya”
.
Dalam kesempatan
yang lain, Sahabat bertanya pada Nabi saw. perihal usaha yang baik untuk
dikerjakan, sebagaimana dalam haditsnya :
“Usaha apakah yang paling baik, Nabi menjawab: Pekerjaan
seseorang dengan tangannya (jerih payahnya) dan tiap-tiap jual beli yang
mabrur.”
Mabrur (diberkahi) maksudnya
adalah jual beli yang terbebas dari penipuan dan kecurangan. Termasuk dalam
kriteria curang adalah melakukan sumpah palsu untuk menarik perhatian konsumen.
Tak heran, bila Islam melarang praktik penawaran untuk mengecoh minat konsumen dan
lain sebagainya yang berpotensi merugikan pembeli. Kecenderungan untuk
mengambil laba setinggi mungkin itu banyak dilakukan oleh umat islam pada
momen-momen semisal hari raya ‘idul fitri, tahun baru, hari natal, dan
seremonial yang lain seperti halnya acara pengajian, konser, dan
lain-lain. Pada momen seperti ini, para penjual dengan berbagai alasan serta
modus, menaikkan harga barang tanpa kenal kompromi. Kita semua sudah merasakan
kegiatan perdagangan yang tidak sehat ini dan diluar batas logika.
Hampir di
seluruh kota di Indonesia ini kezholiman sering terjadi dan mengganggu kehidupan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya disamping permasalahan sosial masyarakat
lainnya (korupsi, red). Tak ayal, para konsumen pun banyak yang mengeluh dan
terkecoh tanpa bisa membela hak nya untuk menawar, justru hanya bisa mengurut
dada kesal . yang sangat disayangkan pelakunya (pedagang) itu beragama Islam.
Pernahkah si penjual ini ingat bahwa doa orang yang teraniaya atau di zholimi
di kabulkan AllAh ??. .Nauzubillah...!!.
Bicara soal laba
atau keuntungan, maksudnya adalah hasil yang diusahakan melebihi dari nilai
harga barang. Keuntungan yang berkah (baik) itu adalah keuntungan yang tidak
melebihi sepertiga harga modal.
Lalu penetapan laba
harus memperhatikan pelaku usaha dan pembeli. Oleh karena itu, pelaku usaha
boleh menambah laba yang akan berakibat makin tingginya harga. Sedangkan
pembeli juga diperkenankan untuk membayar lebih dari harga barang yang
dibelinya. Yang perlu diingat, bahwa tidak boleh mengambil keuntungan yang
terlalu besar. Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, Bairut: Dar al-Fikr,
juz I, h. 408-409 , Beliau mengkategorikan hal tersebut dengan orang
yang makan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, di samping itu juga
masuk dalam kategori penipuan. Karena dalam pandangan beliau, hal itu
bukanlah tabarru’ (pemberian sukarela) juga bukan mu’awadhah (tukar-menukar),
karena pada biasanya dalam mu’awadhah tidak sampai mengambil laba terlalu besar.
Dalam pandangan
Imam Malik bin Anas, pelaku usaha atau pedagang pasar tidak boleh menjual
barangnya di atas harga pasaran. Mengingat, mereka juga harus memperhatikan
kemaslahatan para pembeli. Sedangkan menjual barang dengan harga di atas harga
pasaran (normal) akan mengabaikan kemaslahatan pembeli. Bahkan, dalam hal ini
beliau memberikan peringatan dengan sangat tegas. Kalau sekiranya ada pedagang
(di pasar) menjual di luar harga pasaran, maka harus dikeluarkan dari pasar
tersebut.
Sebagian ulama dari
kalangan Malikiyyah membatasi maksimal pengambilan laba tidak boleh melebihi
sepertiga dari modal. Mereka menyamakan dengan harta wasiat, di mana Syar’i
membatasi hanya sepertiga dalam hal wasiat. Sebab wasiat yang melebihi batas
tersebut akan merugikan ahli waris yang lain. Begitu pula laba yang berlebihan
akan merugikan para konsumen (pembeli). Oleh sebab itu, laba tertinggi tidak
boleh melebihi dari sepertiga.
Islam memang tidak
memberikan standarisasi pasti terkait pengambilan laba dalam jual beli.
Kendatipun begitu, sepantasnya ( etika ) bagi seorang muslim untuk tidak
mendholimi sesama muslim yang lain dengan mengambil keuntungan terlalu besar.
Harga yang sangat
mahal karena keuntungan yang diambil sangat besar tentu sangat memberatkan
kepada pihak pembeli. Dalam hal ini, tidak akan ada istilah "tolong menolong" yang dinasehatkan dalam Al-Quran dan Hadist . Islam tidak melarang untuk
mengambil keuntungan, namun dalam batas kewajaran tentu saja Mabrur.
Sebagai ummat islam, contohlah perniagaan yang dilakukan Nabi, di mana beliau selalu
menyebutkan harga pokok barang agar konsumen (pembeli) tidak merasa rugi dan
dipermainkan dengan harga.
Dengan demikian,
berdagang yang mabrur itu hakikatnya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Toh, pembeli juga rela dengan laba yang diambil pihak penjual asalkan
sewajarnya dan tidak lupa saling tolong menolong buat sesama untuk mendapatkan
pahala yang diridhoi Allah . Semoga Allah selalu mendatangkan keberkahan bagi
usaha,upaya dan setiap langkah kita untuk menggapai ridho-Nya...Amiiiin.
[1] Muhammad Syattha al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, Bairut:
Dar al-Fikr, juz II, h. 355.
[2] Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Mu’ashirah, Bairut:
Dar al-Fikr, h. 139.
[3] Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, Bairut: Dar al-Fikr, juz
I, h. 408-409.
[4] An-Nawawi, Al-Majmu’, Maktabah Syamilah, juz
XIII, h. 34-35.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut:
Dar al-Fikr, juz V, h. 307.
Referensi dari (eL-Kafi.net, img: tribunnews)- cyberdakwah.com/2014/09/etika
Artikel ini BAGUS Bu.
ReplyDeleteBerdagang yang mabrur itu selain membawa manfaat, juga membawa ketenangan bagi seluruh umat manusia, terkhusus bagi penjual dan pembeli karena diantara keduanya saling ridho dan meridhoi.(saling rela dan merelakan)
Terima kasih, maaf telat reply..
ReplyDelete