Friday 24 July 2015

Berkah berdagang yang Mabrur itu Membawa Manfaat .

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Salallahu‘alaihi Wa Sallam   , keluarga, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.


Keutamaan perniagaan itu dari do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada setiap penjual dan pembeli yang senantiasa memudahkan orang lain dalam perniagaan nya.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).” 
(HR. Bukhari no. 2076)


Perniagaan yang berkah tentu saja bukan dengan asal-asalan dalam berdagang tanpa mengetahui aturan yang berlaku dari Allah dan Rasul-Nya. Sangat mustahil keberkahan itu diraih, namun seseorang yang tidak memahami aturan jual beli dalam syari’at Islam. Tentu saja mesti dipelajari dan dipahami sebelum seseorang terjun ke dunia bisnis ini. Tujuannya adalah agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang dilarang oleh agama.

Sejak masa salaf dahulu (masa keemasan Islam), orang-orang mulia kala itu telah berpesan, "pahami dahulu tentang hal-hal yang dilarang dalam jual beli sebelum berdagang". 

Misalnya, bila seseorang tidak memahami apa itu riba, dia akan menuai bahaya yang besar. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan :

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”

Lihatlah pula apa kata ‘Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,

Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul 
mengenai seluk beluk riba

Intinya di sini, seseorang yang hendak menerjuni dunia bisnis, ia harus mengetahui aturan-aturan yang ada. Hukum asal berbagai bentuk jual beli itu dibolehkan. Oleh karena itu, yang perlu sangat diketahui adalah apa saja bentuk jual beli yang terlarang. Itulah yang menyebabkan dua khulafaurrosyidin yang mulia memerintahkan para pedagang untuk memahami dulu apa itu riba. 

Karena jual beli yang mengandung riba adalah salah satu jual beli yang terlarang. Hal ini mesti dipelajari lebih dulu agar seseorang tidak terjerumus di dalamnya.
Sudah seharusnya setiap pebisnis menjadikan ilmu di depan segala amalnya.
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” 
(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : 

“Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.”  

Ini berarti jika ingin diberi kebaikan dan keberkahan dalam bisnis, kuasailah berbagai hal yang berkaitan dengan hukum dagang.

Berdagang yang Mabrur itu seharusnya Membawa Manfaat bagi si Penjual - Pembeli. Banyak cara yang ditempuh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, contohnya berdagang (berniaga). Berdagang itu cara yang efektif untuk dapatkan untung  atau laba. Juga jadi sarana yang dapat mendekatkan seseorang terhadap Tuhannya. Secara riil, berniaga membantu sesama saudara yang butuh barang komoditas.

Berdagang juga pekerjaan yang pernah dijalani  Nabi Muhammad saw. Bersama pamannya beliau berdagang ke negeri Syam untuk menyalurkan barang-barang komoditas dari Makkah.
Transaksi jual-beli alias berdagang  itu ada istilah yang disebut ba’i dan tijarah. 
  • Ba’i itu tukar menukar barang dengan yang lain sebatas memenuhi kebutuhan tidak mencari keuntungan atau laba. 
  • Tijarah itu lebih menitikberatkan pada hasil atau laba. 

Kedua hal ini memiliki satu tujuan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan.

Perniagaan itu ,masuk dalam usaha yang baik khususnya didalam proses jual belinya ..Jual beli yang dimaksudkan tentu saja jual beli yang tidak mengandung unsur penipuan atau yang  merugikan salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam arti, sama-sama rela tanpa ada unsur keterpaksaan dalam bertransaksi. Namun, terkadang seseorang lupa akan etika jual-beli, sehingga memiliki kecenderungan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan pihak konsumen (pembeli).

Padahal tujuan jual-beli sesungguhnya bukan semata-mata murni mencari keuntungan atau laba, namun juga membantu saudara yang sedang membutuhkan. Meraup keuntungan sebesar-besarnya akan berdampak pada kecenderungan pedagang untuk berbuat negatif serta berbohong, menipu, memanipulasi, malah mengucapkan sumpah palsu untuk meyakinkan pembelinya , ambil kesempatan dalam kesempitan, dan lain-lain modus . 
Nabi Muhammad SAW. bersabda :

“Pedagang itu (harus) jujur dan terpercaya”
.
Dalam kesempatan yang lain, Sahabat bertanya pada Nabi saw. perihal usaha yang baik untuk dikerjakan, sebagaimana dalam haditsnya :

 “Usaha apakah yang paling baik, Nabi menjawab: Pekerjaan seseorang dengan tangannya (jerih payahnya) dan tiap-tiap jual beli yang mabrur.”

Mabrur (diberkahi) maksudnya adalah jual beli yang terbebas dari penipuan dan kecurangan. Termasuk dalam kriteria curang adalah melakukan sumpah palsu untuk menarik perhatian konsumen. Tak heran, bila Islam melarang praktik penawaran untuk mengecoh minat konsumen dan lain sebagainya yang berpotensi merugikan pembeli. Kecenderungan untuk mengambil laba setinggi mungkin itu banyak  dilakukan oleh umat islam pada momen-momen semisal hari raya ‘idul fitri, tahun baru, hari natal, dan seremonial yang lain seperti halnya acara  pengajian, konser, dan lain-lain. Pada momen seperti ini, para penjual dengan berbagai alasan serta modus, menaikkan harga barang tanpa kenal kompromi. Kita semua sudah merasakan kegiatan perdagangan yang tidak sehat ini dan diluar batas logika. 

Hampir di seluruh kota di Indonesia ini kezholiman sering terjadi dan mengganggu kehidupan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya disamping permasalahan sosial masyarakat lainnya (korupsi, red). Tak ayal, para konsumen pun banyak yang mengeluh dan terkecoh tanpa bisa membela hak nya untuk menawar, justru hanya bisa mengurut dada kesal . yang sangat disayangkan pelakunya (pedagang) itu beragama Islam. Pernahkah si penjual ini ingat bahwa doa orang yang teraniaya atau di zholimi di kabulkan AllAh ??. .Nauzubillah...!!.

Bicara soal laba atau keuntungan, maksudnya adalah hasil yang diusahakan melebihi dari nilai harga barang. Keuntungan yang berkah (baik) itu adalah keuntungan yang tidak melebihi sepertiga harga modal.

Lalu penetapan laba harus memperhatikan pelaku usaha dan pembeli. Oleh karena itu, pelaku usaha boleh menambah laba yang akan berakibat makin tingginya harga. Sedangkan pembeli juga diperkenankan untuk membayar lebih dari harga barang yang dibelinya. Yang perlu diingat, bahwa tidak boleh mengambil keuntungan yang terlalu besar. Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, Bairut: Dar al-Fikr, juz I, h. 408-409 , Beliau mengkategorikan hal tersebut dengan orang yang makan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, di samping itu juga masuk dalam kategori penipuan. Karena dalam pandangan beliau, hal itu bukanlah tabarru’ (pemberian sukarela) juga bukan mu’awadhah (tukar-menukar), karena pada biasanya dalam mu’awadhah tidak sampai mengambil laba terlalu besar.

Dalam pandangan Imam Malik bin Anas, pelaku usaha atau pedagang pasar tidak boleh menjual barangnya di atas harga pasaran. Mengingat, mereka juga harus memperhatikan kemaslahatan para pembeli. Sedangkan menjual barang dengan harga di atas harga pasaran (normal) akan mengabaikan kemaslahatan pembeli. Bahkan, dalam hal ini beliau memberikan peringatan dengan sangat tegas. Kalau sekiranya ada pedagang (di pasar) menjual di luar harga pasaran, maka harus dikeluarkan dari pasar tersebut. 

Sebagian ulama dari kalangan Malikiyyah membatasi maksimal pengambilan laba tidak boleh melebihi sepertiga dari modal. Mereka menyamakan dengan harta wasiat, di mana Syar’i membatasi hanya sepertiga dalam hal wasiat. Sebab wasiat yang melebihi batas tersebut akan merugikan ahli waris yang lain. Begitu pula laba yang berlebihan akan merugikan para konsumen (pembeli). Oleh sebab itu, laba tertinggi tidak boleh melebihi dari sepertiga. 

Islam memang tidak memberikan standarisasi pasti terkait pengambilan laba dalam jual beli. Kendatipun begitu, sepantasnya ( etika ) bagi seorang muslim untuk tidak mendholimi sesama muslim yang lain dengan mengambil keuntungan terlalu besar.

Harga yang sangat mahal karena keuntungan yang diambil sangat besar tentu sangat memberatkan kepada pihak pembeli. Dalam hal ini, tidak akan ada istilah "tolong menolong" yang dinasehatkan dalam Al-Quran dan Hadist . Islam tidak melarang untuk mengambil keuntungan, namun dalam batas kewajaran tentu saja Mabrur.

Sebagai ummat islam, contohlah  perniagaan  yang dilakukan Nabi, di mana beliau selalu menyebutkan harga pokok barang agar konsumen (pembeli) tidak merasa rugi dan dipermainkan dengan harga.

Dengan demikian, berdagang yang mabrur itu hakikatnya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Toh, pembeli juga rela dengan laba yang diambil pihak penjual asalkan sewajarnya dan tidak lupa saling tolong menolong buat sesama untuk mendapatkan pahala yang diridhoi Allah . Semoga Allah selalu mendatangkan keberkahan bagi usaha,upaya dan setiap langkah kita untuk menggapai ridho-Nya...Amiiiin.


[1] Muhammad Syattha al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, Bairut: Dar al-Fikr,  juz II, h. 355.
[2]  Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Mu’ashirah, Bairut: Dar al-Fikr, h. 139.
[3]  Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, Bairut: Dar al-Fikr, juz I, h. 408-409.
[4]  An-Nawawi,  Al-Majmu’, Maktabah Syamilah, juz XIII, h. 34-35.
[5]  Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut: Dar al-Fikr, juz V, h. 307.

Referensi dari (eL-Kafi.net, img: tribunnews)- cyberdakwah.com/2014/09/etika

2 komentar:

  1. Artikel ini BAGUS Bu.

    Berdagang yang mabrur itu selain membawa manfaat, juga membawa ketenangan bagi seluruh umat manusia, terkhusus bagi penjual dan pembeli karena diantara keduanya saling ridho dan meridhoi.(saling rela dan merelakan)

    ReplyDelete
  2. Terima kasih, maaf telat reply..

    ReplyDelete