Wednesday 2 September 2015

MAMPU ASAL BICARA ATAU BAIKNYA DIAM.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” 
(QS.Al-Ahzab : 70-71)

Sebenarnya tidak sulit mencari yang benar seperti apa dan kenapa lalu seharusnya bagaimana. Kita tinggal mencontoh manusia paling baik dan paling benar di muka bumi ini. Akhlaknya paling tinggi tingkatannya dan dia tidak pernah berkata-kata yang tidak baik apalagi perkataan yang keji dan kotor terrmasuk dalam bercanda sekalipun. Rasulullah Muhammad adalah contoh dan teladan terbaik dan kita tak perlu sulit mengambil contoh jika orang-orang disekeliling kita tidak layak dijadikan contoh. Firman Allah :

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
(QS.Al Ahzab: 22)

Dan dalam sebuah hadits. Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah
Muhammad bersabda: "
Siapa yang percaya dengan keyakinan yang tinggi kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang percaya dengan keyakinan yang tinggi kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang percaya dengan keyakinan yang tinggi kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya"  
HR. Bukhari & Muslim).


Jika kita tidak mampu berkata baik, maka diamlah. Kunci mulut rapat-rapat karena kata -kata yang tidak baik akan memangsa kita sendiri dan dapat menghancurkan orang lain. 
Namun sebaliknya jika kita mampu berkata baik, maka jangan tutup mulut tapi sampaikanlah sebanyak mungkin. Sesuatu yang baik yang tidak disampaikan akan sia-sia dan tidak memberi manfaat bagi orang lain bahkan untuk diri sendiri.

Karena tidak menyampaikan kebaikan dan kebenaran akan sama buruknya dengan orang yang berkata buruk.  Hal ini karena salah satu tanda baiknya Islam seseorang  adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat. Sungguh telah banyak terjadi pembicaraan yang bersifat mubah berubah menjadi haram.

Bahwa pembicaraan yang kita lakukan harus sesuatu yang baik menurut hukum, baik sunnah atau wajib. Bila isi pembicaraan bersifat mubah, sebaiknya seperlunya saja karena dikuatirkan lama kelamaan pembicaraan itu menjurus kepada hal yang tidak berguna bahkan tidak dibenarkan  menurut syariat. Banyak petuah bijak disampaikan agar kita berhati-hati dalam bertutur kata. 

Teks kalimat yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan bahasa anak muda  sekarang hingga peribahasa warisan budaya bangsa.

“Memang lidah tak bertulang!”
“Mulutmu harimau mu!”
“Jikalau pedang lukai tubuh, masihlah ada harapan sembuh. Tapi jika lidah lukai hati, kemana obat hendak dicari?
“Ajining diri ono ing lati (dalam peribahasa Jawa yang  artinya kemuliaan diri ada di lisan).”

Suatu saat Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. memegang ujung lidah beliau dan berkata,

“Lidah ini (bila tidak berhati-hati) bisa menyebabkanku sampai pada tempat kesalahan dan celaka di dunia dan akhirat” 

Di kitab “Rawdhatul 'Uqalâ' wa Nuzhatul Fudhalâ'” Imam Ibnu Hibban al-Busti—beliau  juga penulis Shahih  Ibnu Hibban—menerangkan: Imam Abu Hatim ra. menjelaskan bahwa orang berakal harus lebih banyak mempergunakan kedua telinga daripada lisan. Dia harus menyadari bahwa diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu supaya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkan. Biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan akan menguasai dirinya.Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol apa yang akan dikatakan. Imam Abu Hatim ra. Juga menasihatkan bahwa lisan orang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun  orang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya, termasuk dalam menjaga lisan adalah menjaga tulisan.

Saat ini, begitu mudah kita menorehkan kata. SMS, forum, blog, jejaring sosial dan kolom komentar di situs berita online menjadi media utama sebagai ganti ucapan lisan. Mari kita perhatikan diri sendiri, tak perlu repot-repot mengamati orang lain.

Siapa pun kita, apakah kita murid, guru, mahasiswa, dosen, kepala keluarga, ibu, anak, pegawai, pengusaha, anak buah, atasan, anggota masyarakat, pemimpin formal/non formal, pejabat, politikus, anggota  kepolisian, tentara, santri maupun ustadz, mari kita evaluasi setiap perkataan/tulisan kita hingga detik ini. Apakah ucapan kita selama ini mengandung banyak manfaat ? Ataukah lebih sering bersifat mubah (tak ada manfaat dan mudharat)?  Atau lebih parah lagi yaitu menimbulkan kemudharatan ?    

Sahabat Ali bin Abi Thalib, memberi nasihat:

 “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah yang bermanfaat”.

Akhir Kata , Berbicara adalah ekspresi pembicara. Melalui pembicara, pembicara sebenarnya menyatakan gambaran dirinya. Berbicara merupakan simbolisasi kepribadian si pembicara.

Berbicara adalah ekspresi diri. Bila terisi oleh pengetahuan dan pengalaman yang kaya, maka dengan mudah yang bersangkutan menguraikan pengetahuan dan pengalamannya itu sebaliknya bila pembicara itu miskin pengetahuan dan pengalaman, maka yang bersangkutan akan mengalami kesukaran dalam berbicara.

Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati, seperti pikiran, perasaan, keinginan, idenya dan lain-lain. Karena itu sering dikatakan bahwa berbicara adalah indeks kepribadian.

Untuk itu, " Kita itu harus pahami dulu persoalannya baru bicara, jangan bicara tanpa kita pahami  dulu suatu persoalan yang dibicarakan, karena ujung ujungnya bisa menjadi fitnah . Pilihannya : MAMPU ASAL BICARA ATAU BAIKNYA DIAM.

Wallahu a’lam bish shawab


By: gio/15


0 komentar:

Post a Comment