“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni
dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar”
(QS.Al-Ahzab
: 70-71)
Sebenarnya tidak
sulit mencari yang benar seperti apa dan kenapa lalu seharusnya bagaimana.
Kita tinggal mencontoh manusia paling baik dan paling benar di muka bumi
ini. Akhlaknya paling tinggi tingkatannya dan dia tidak pernah
berkata-kata yang tidak baik apalagi perkataan yang keji dan kotor
terrmasuk dalam bercanda sekalipun. Rasulullah Muhammad adalah contoh dan
teladan terbaik dan kita tak perlu sulit mengambil contoh jika orang-orang
disekeliling kita tidak layak dijadikan contoh. Firman Allah :
“Sesungguhnya telah
ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
(QS.Al Ahzab: 22)
Dan dalam sebuah
hadits. Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah
Muhammad bersabda:
"
Siapa yang percaya dengan keyakinan yang tinggi kepada Allah dan hari
akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang percaya dengan keyakinan
yang tinggi kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya
dan barangsiapa yang percaya dengan keyakinan yang tinggi kepada Allah dan hari
akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya"
HR. Bukhari &
Muslim).
Jika kita tidak mampu berkata
baik, maka diamlah. Kunci mulut rapat-rapat karena kata -kata yang tidak baik
akan memangsa kita sendiri dan dapat menghancurkan orang lain.
Namun sebaliknya jika kita mampu
berkata baik, maka jangan tutup mulut tapi sampaikanlah sebanyak mungkin.
Sesuatu yang baik yang tidak disampaikan akan sia-sia dan tidak memberi manfaat
bagi orang lain bahkan untuk diri sendiri.
Karena tidak menyampaikan
kebaikan dan kebenaran akan sama buruknya dengan orang yang berkata buruk. Hal ini karena salah satu tanda baiknya Islam
seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat. Sungguh telah
banyak terjadi pembicaraan yang bersifat mubah berubah menjadi haram.
Bahwa pembicaraan yang kita lakukan harus sesuatu yang baik menurut hukum, baik sunnah
atau wajib. Bila isi pembicaraan bersifat mubah, sebaiknya seperlunya saja
karena dikuatirkan lama kelamaan pembicaraan itu menjurus kepada hal yang tidak
berguna bahkan tidak dibenarkan menurut syariat. Banyak petuah bijak
disampaikan agar kita berhati-hati dalam bertutur kata.
Teks kalimat yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan bahasa anak muda sekarang hingga peribahasa warisan budaya bangsa.
Teks kalimat yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan bahasa anak muda sekarang hingga peribahasa warisan budaya bangsa.
“Memang lidah tak
bertulang!”
“Mulutmu
harimau mu!”
“Jikalau pedang
lukai tubuh, masihlah ada harapan sembuh. Tapi jika lidah lukai hati, kemana
obat hendak dicari?
“Ajining diri ono
ing lati (dalam peribahasa Jawa yang artinya kemuliaan diri ada di
lisan).”
Suatu saat Sahabat
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. memegang ujung lidah beliau dan berkata,
“Lidah ini (bila
tidak berhati-hati) bisa menyebabkanku sampai pada tempat kesalahan dan celaka
di dunia dan akhirat”
Di kitab “Rawdhatul 'Uqalâ' wa Nuzhatul Fudhalâ'” Imam Ibnu Hibban al-Busti—beliau juga penulis Shahih Ibnu Hibban—menerangkan: Imam Abu Hatim ra. menjelaskan bahwa orang berakal harus lebih banyak mempergunakan kedua telinga daripada lisan. Dia harus menyadari bahwa diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu supaya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkan. Biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan akan menguasai dirinya.Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol apa yang akan dikatakan. Imam Abu Hatim ra. Juga menasihatkan bahwa lisan orang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya, termasuk dalam menjaga lisan adalah menjaga tulisan.
Saat ini, begitu
mudah kita menorehkan kata. SMS, forum, blog, jejaring sosial dan kolom
komentar di situs berita online menjadi media utama sebagai ganti ucapan lisan.
Mari kita perhatikan diri sendiri, tak perlu repot-repot mengamati orang lain.
Siapa pun kita,
apakah kita murid, guru, mahasiswa, dosen, kepala keluarga, ibu, anak, pegawai,
pengusaha, anak buah, atasan, anggota masyarakat, pemimpin formal/non formal,
pejabat, politikus, anggota kepolisian, tentara, santri maupun ustadz,
mari kita evaluasi setiap perkataan/tulisan kita hingga detik ini. Apakah
ucapan kita selama ini mengandung banyak manfaat ? Ataukah lebih sering
bersifat mubah (tak ada manfaat dan mudharat)? Atau lebih parah lagi
yaitu menimbulkan kemudharatan ?
Sahabat Ali bin Abi Thalib,
memberi nasihat:
“Sesungguhnya
sebaik-baik ucapan adalah yang bermanfaat”.
Akhir
Kata , Berbicara adalah ekspresi pembicara. Melalui pembicara, pembicara
sebenarnya menyatakan gambaran dirinya. Berbicara merupakan simbolisasi
kepribadian si pembicara.
Berbicara
adalah ekspresi diri. Bila terisi oleh pengetahuan dan pengalaman yang kaya,
maka dengan mudah yang bersangkutan menguraikan pengetahuan dan pengalamannya
itu sebaliknya bila pembicara itu miskin pengetahuan dan pengalaman, maka yang
bersangkutan akan mengalami kesukaran dalam berbicara.
Berbicara
pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati, seperti pikiran, perasaan,
keinginan, idenya dan lain-lain. Karena itu sering dikatakan bahwa berbicara
adalah indeks kepribadian.
Untuk
itu, " Kita itu harus pahami dulu persoalannya baru bicara, jangan bicara
tanpa kita pahami dulu suatu persoalan
yang dibicarakan, karena ujung ujungnya bisa menjadi fitnah . Pilihannya : MAMPU ASAL BICARA ATAU BAIKNYA DIAM.
Wallahu a’lam bish
shawab
By: gio/15
0 komentar:
Post a Comment