Saturday 5 September 2015

Sikap Tabayyun Dalam Keseharian Kita

Sikap tabayyun dalam keseharian kita. Dalam era keterbukaan informasi, semua berita bisa kita dapatkan dengan mudah. Perlu dimaklumi bahwa berita yang kita dengar dan kita baca dalam keseharian itu tidak mesti semuanya benar. Terlebih lagi kita hidup pada zaman yang banyak terjadi fitnah, hasut, ambisi kedudukan, bohong atas nama ulama atau tokoh yang kita kenal, baik itu dilakukan melalui internet, koran, majalah maupun media masa lainnya.

Jangan heran jika berita tersebut menimbulkan pendapat atau komen pro kontra, yang akhirnya berujung  dalam sebuah hubungan persaudaraan tiba-tiba terjadi perseteruan sengit. Setelah diusut, biangnya adalah salah dalam menerima dan menyampaikan sebuah berita. Jangan pula mengira, berita dari mulut ke mulut, berita dari surat kabar dan sebagainya, itu pasti benar. Boleh jadi itu adalah bisikan iblis yang masuk ke jiwa pendengki yang ingin merenggut nyawa dan akidahmu kawan.

Syekh Sholih Fauzan hafidzahullah berkata: ”Hendaknya kita pelan-pelan dalam menanggapi suatu perkataan, tidak terburu-buru, tidak tergesa-gesa menghukumi orang, hendaknya tabayyun.


Nah kalau kita bicara soal tabayyun, maka..bisa diterjemahkan dengan “periksalah dengan teliti”. Maksudnya telitilah berita itu dengan cermat, dengan pelan-pelan, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar. Hendaknya meneliti berita yang datang kepadamu sebelum kamu beritakan, sebelum kamu kerjakan dan sebelum kamu menghukumi orang.

Mari kita baca alquran surah  Al-Hujurot [49]:6, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” 

Banyak hal yang menyebabkan seseorang tidak melakukan tabayyun dan klarifikasi, diantaranya adalah sikap egois dan merasa sudah memahami berita dengan benar, sombong dan merasa lebih tinggi dari sumber klarifikasi, malas untuk mencari kebenaran dan lain sebagainya.

Syaikh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah berkata: “Jika ada orang fasiq membawa berita maka hendaknya diteliti terlebih dahulu, tidak langsung diterima. Jika langsung diterima maka bias menjatuhkan pelakunya kepada perbuatan dosa. Berita orang fasiq tentu tidak sama dengan berita orang yang benar. Jika dianggap sama (tidak dilakukan tabayyun) maka bisa berakibat saling bunuh, hilangnya harta dan nyawa tanpa bukti yang benar, dan pasti menyesal.

Oleh karena itu, apabila datang berita dari orang yang fasiq hendaklah diteliti, jika berita yang disampaikan nyata atau ada tanda kebenarannya, maka boleh diterima. Namun jika berita itu dusta maka dustakanlah dan tolaklah. Ayat ini juga menunjukkan bahwa berita orang yang benar boleh diterima dan berita orang pendusta ditolak. Sedangkan berita orang fasiq ditangguhkan sampai ada bukti lain yang menunjukkan kebenaran atau dustanya. 

Lalu siapa orang fasiq yang dimaksud di sini? Mereka adalah orang yang keluar dari ketentuan syar’i, orang yang berbuat ingkar, yang meninggalkan perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, Iblis dikatakan fasiq karena enggan melaksana kan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala agar sujud kepada Nabi Adam ‘Alaihis Salaam… Baca QS. al-Kahfi[18]: 50.

Kefasikan dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Kefasikan yang menjadikan pelakunya tetap muslim akan tetapi mereka ingkar., seperti ayat di atas. QS. al-Hujurat [49]: 6
Dan kefasikan yang menjadikan pelakunya kafir, keluar dari Islam.
Allah berfirman :
“Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. as-Sajdah[32]: 18).  

Oleh Karena itu Allah ‘Azza wa Jalla mencela orang yang mudah memfasiqkan orang yang beriman. Jika  kita mengamati ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla tidak memerintahkan kita agar menolak berita orang fasiq atau menerimanya, karena bisa jadi beritanya benar atau salah. Karenanya wajib kita teliti terlebih dahulu agar kita tidak menyesal atas kurang hati-hatinya kita. Kita diperintahkan agar meneliti berita yang disampaikannya, jika ada tanda dan bukti bahwa berita yang dibawanya benar,  maka boleh mengambil beritanya, sekalipun kefasiqan yang telah dilakukannya berat. Inilah kaidah untuk mengambil riwayat dari orang yang fasiq dan persaksiannya, sebab banyak pula orang fasiq yang benar berita dan riwayatnya dan juga persaksiannya. Sedangkan kefasiqan mereka itu urusan lain. Jika seperti ini berita atau persaksiannya tidak boleh ditolak. Akan tetapi jika kefasiqannya karna dia sering berdusta dan mengulang-ulang kedustaannya, dan sekiranya bohongnya lebih banyak dari pada benarnya, maka kabarnya dan persaksiannya tidak diterima.” 

Mungkin ada yang bertanya:

Jika berita orang fasiq tidak langsung ditolak, lalu apa faidahnya ayat di atas? Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab: “Berita orang fasiq itu ada faidahnya, yaitu menggerakkan jiwa dan semangat agar manusia bertanya dan menelitinya. Karena tanpa berita dari mereka, kita tidak bergerak dan tidak pula berusaha. Akan tetapi ketika ada berita, kita berkata: Barangkali berita itu benar, maka menggerakkan kita untuk menanya dan mencari kebenarannya. Jika ada bukti atas kebenarannya atau tanda kebenarannya, maka kita boleh mengambilnya. Namun jika tidak, maka kita menolaknya.”

Tabayyun terhadap sebuah berita bukan hanya ditujukan kepada orang yang fasiq saja, sekalipun orang fasiq lebih diutamakan karena terkait dengan kefasiqannya, akan tetapi kepada mukmin yang tsiqoh (dapat dipercaya) pun sebaiknya juga perlu tabayyun, karena bagaimanapun juga manusia bisa lupa dan salah.

Meneliti berita dibutuhkan dua perkara:

Pertama, dari sisi amanat. Inilah yang dimaksud dalam QS. al-Hujurot: 6, karena orang fasiq tidak amanat.
Kedua, dari sisi kekuatan. Yaitu kekuatan ingatannya ketika menerima berita atau menyampaikannya dengan cepat sekali. Maka ketika saya berkata kepadanya, saya akan teliti dulu, bukan berarti saya mengatakan kamu fasiq, kamu menurut saya adalah orang yang jujur, akan tetapi boleh jadi kamu memahami ayat keliru, atau terburu-buru, atau lupa.

Kesimpulannya, sikap tabayyun terhadap sebuah berita sangat diperlukan sekalipun dari orang muslim yang dipercaya, karena tabayyun berbeda dengan buruk sangka, akan tetapi sikap teliti  yang kita lakukan adalah semata untuk mencari tambahan dan menguatkan keterangan dari suatu berita, sebagai ummat islam kita harus paham terhadap ajaran agama yang kita anut didasarkan alquran dan hadist.

Waspada terhadap pertanyaan yang memancing, karena tidak semua penanya bermaksud baik kepada yang ditanya, terutama ketika menghukumi seseorang. Oleh karena itu tidak semua pertanyaan harus dijawab. Bahkan menjawab ‘saya tidak tahu’ adalah separuh dari pada ilmu.

Kalau menurut hemat saya, untuk perkara-perkara yang krusial maka kita harus teliti dan pahami, atau paling tidak wajib untuk berusaha paham. Bertanya sampai dapat jawaban yang memuaskan. Memuaskan di sini bukan dalam konteks kepuasan pribadi, tapi 'puas' dalam arti bahwa penjelasan yang ada sudah comply dengan aturan syariat yang lebih tinggi. 

Waspadalah dari berita orang yang mengumbar lisannya tanpa ilmu dan tidak takut dosa. Orang Islam hendaknya tidak membicarakan sesuatu yang dia tidak tahu perkaranya, karena Allah ‘Azza wa Jalla mengancam orang yang berbuat dan berbicara tanpa ilmu. Baca QS. al-Isra’[17]: 36 dan QS. al-A’raf [7]: 33

Waspadalah berita yang disebarkan penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa manusia wajib meneliti berita terutama yang disampaikan oleh orang penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan atau perorangan. Jika berita datang dari orang yang kurang dipercaya, maka wajib diteliti dan jangan terburu-buru dalam menghukum padahal berita itu dusta, maka kamu akan menyesal. Dari sinilah datang dalil ancaman keras bagi orang yang menggunjing, yaitu mengutip sebagian perkataan orang yang bermaksud merusak orang lain. 

Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ Laa yadkhulul jannah qottaatun “ 

artinya “Tidaklah masuk Surga orang yang pemfitnah.”

Moga tulisan ini ada manfaatnya, terutama buat penulis selalu tabayyun tentunya. Insyaallah kita semua  terhindar dari dosa fitnah, ghibah dan sejenisnya.  


By: Gio/15




0 komentar:

Post a Comment