Trend sosial masyarakat yang terjadi di kalangan jamaah haji khususnya dari negara kita, ketika telah selesai bertahalul maka dalam panggilan nama ada perubahan yakni penambahan gelar Haji di depannya dan Hajjah bagi wanita. Lalu panggilan ini pun menjadi gelar kehormatan yang terus melekat dengan namanya, sehingga sebagian orang merasa tidak afdhal jika mereka tersebut tidak dipanggil atau ditegur tanpa mendahului dengan gelar itu.
Kita semua tahu perjalanan ibadah ini sangat mulia dan merupakan paripurna nya kewajiban dari perintah rukun Islam di samping memang membutuhkan pengorbanan yang besar baik tenaga, biaya maupun waktu sehingga tidak semua orang Islam mampu menunaikannya.
Panggilan itu bisa jadi bentuk penghormatan karena telah berhasil melewati acara spiritual yang agung, namun jika kita memahami bahwa panggilan ini juga bermula dari panggilan yang biasa digunakan oleh penduduk asli Arab ketika memanggil jamaah haji dengan “Ya Hajj” karena mereka memang tidak tahu siapa namanya jemaah tersebut.
Namun sebutan sebagai bapak atau ibu haji itu tidak akan memperoleh nilai apa-apa kecuali gelar dan panggilan yang tak bermakna bila di sisi Allah ia tak memperoleh bagian pahala apa-apa. Dikarenakan Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang dilakukan secara ikhlas semata-mata karenaNya.
Dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa aku bukannya bermaksud melarang orang untuk menghormati orang lain dengan memberi gelar haji ataupun hajjah. Yang perlu diluruskan itu, bahwa perjalanan haji adalah perjalanan ibadah untuk menjalankan perintah Allah Subhanahu Wata'ala dan sekaligus mengharap keridhaanNya, bukan untuk mendapatkan panggilan atau embel-embel tersebut.
Bagi Aku pribadi panggilan pak dan bu haji itu gak wajib karena tidak ada satupun hadist yang bisa dijadikan pegangan atau pun yang diperintahkan Allah Subhanahu Wata’ala dan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai keharusan untuk di jadikan gelar haji di depan nama kita,
Ada hadist Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang mengatakan: Jika suatu amalan yang tidak ada tuntunannya, maka amalan tersebut tertolak. Dan hadits lain, juga dikatakan khusus berkenaan dengan haji ini. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Hendaklah kalian mengambil dariku manasik (cara-cara) kalian dalam berhaji.” (HR. Muslim)
Jika kita berbicara soal realita, maka norma yang ada dalam hadist di atas tidak sepenuhnya terpraktekkan oleh sebagian masyarakat kita, mungkin tidak semua orang faham dan mengetahui apa tujuan dan makna haji itu yang sebenarnya.
Jika orang yang berhaji atau belum haji telah memahami apa makna dan tujuannya dalam berhaji, maka ketika dia melantun kan talbiyah pasti akan meresap dalam jiwanya bahwa seolah-olah ia sedang meninggalkan segala atribut keduniaan menuju Allah seraya mengatakan,
“Ya Allah aku datang, aku datang memenuhi panggilanMu, aku berdiri di pintuMu, aku singgah di sisiMu. Aku pegang erat kitabMu, aku junjung tinggi aturanMu, maka selamatkan aku dari adzabMu, kini aku siap menghamba kepadaMu, merendahkan diri dan berkiblat kepadaMu. Tak peduli aku berpisah dengan sanak keluarga, ku tinggalkan profesi dan pekerjaan, kulepas segala atribut dan jabatan karena tujuanku hanyalah wajah dan keridhaanMu, bukan dunia yang fana bukan nafsu yang serakah maka amankan aku dari adzabMu“, artinya semua yang sedang dilakukan itu tak lain dengan tujuan nya untuk kebersihan jiwa dan akhlak. Inilah barang termahal yang selayaknya dibawa pulang.
Jika hal ini tlah dipahami dan dimaknai maka tak ada lagi pejabat atau siapapun manusianya yang sudah menunaikan ibadah ini menjadi ; penerima sogok, hakim berat sebelah, pengusaha atau pun pedagang licik, curang dan lain sebagainya .
Lalu yang menjadi makna dari ibadah haji ini adalah untuk menjadi pelajaran bagi manusia bahwa Allah memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk menjadi Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban. Sesungguhnya haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia.
Semua ritual ini bermula dari “hati” manusia itu sendiri. Aku tak akan membahas masalah mabrur atau tidaknya lho.
Apalah artinya pergi haji jika hanya sekedar untuk menambah gelar namun yang korup tetap korup, yang lintah darat tetap lintah darat, yang bakhil malah makin jadi-jadian. Untuk menjadi khotimah hendaknya setiap orang yang akan melakukan ibadah haji sadar dan mengetahui bahwa perjalanan yang akan ia tempuh atau yang sudah ditempuh adalah perjalanan ibadah yang agung dan mulia sehingga harta yang digunakan untuk itu adalah dari penghasilan yang baik dan halal.
Aku tak ingin ibadah yang sudah dilakukan ini di identikan kepada predikat atau panggilan sebuah gelar “hajjah”, yang kuharapkan adalah pengertiannya dari semua sahabat dan karib kerabat serta handai taulan agar selalu memanggilku dengan panggilan nama kecilku saja ya..!!!.
Akhir kata : Bagiku sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala itu Maha Tahu bahwa kita telah menunaikan perintahNya dan Insyaallah akan memberi balasan sesuai dengan niat dan usaha yang kita lakukan.
Semoga Ibadah kita semakin lurus dan selalu istiqomah hingga kita sampai di panggil Allah nantinya…semoga harapanku ini dimaklumi..
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment