Kejujuran
dalam konteks berpuasa. Puasa
dalam bahasa Al-Qur’an adalah Al-Shiyam, yang makna turunannya adalah Al-Imsak yang artinya “ menahan “.
Secara istilah, puasa diartikan sebagai “menahan makan dan minum serta sesuatu
yang merusaknya mulai fajar hingga terbenam matahari”. Pengertian ini secara
materil, kita yang berpuasa dilarang melakukan perbuatan yang secara materil
berhubungan aktifitas kebendaan seperti makan, minum dan berhubungan badan
(seksualitas). Tetapi makna tersebut sesungguhnya hanya pada wilayah kebendaan
yang bersifat memberikan kepuasan yang bersifat fisik semata secara mikro.
Sedangkan Al-Shiyam secara makro diartikan sebagai upaya menahan diri dari hal
yang membatalkan secara kebendaan, maupun hala-hal yang merusaknya secara
spiritual seperti perkataan kotor, perbuatan terlarang, dusta, kebodohan, jahil
dengan seluruh kawan-kawannya, berikut melakukan amalan-amalan wajib dan sunnat
yang berkaitan dengannya.
Pengertian
Shiyam seperti inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT, sehingga kepada
orang-orang beriman dipanggil untuk melakukannya (Al-Shiyam Adapun kejujuran
atau jujur dalam bahasa Al-Qur’an “Al-Shadiqin” (Orang-orang benar atau jujur).
Dan, panggilan untuk menjadi orang-orang benar-jujur, juga hanya dialamatkan
Allah kepada orang-orang beriman sebagaimana panggilan puasa pada orang-orang
beriman.
Artinya tanda-tanda
paling utama dari orang beriman dan bertaqwa itu adalah orang yang berbuat
benar/jujur. Atau dengan pengertian lain bahwa orang beriman itu ialah mereka
yang bertaqwa dan mereka yang berkata benar/jujur
“Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar/jujur” (QS: Al-Taubah: 119).
Harus
diakui bahwa salah satu krisis terbesar di zaman sekarang adalah “Krisis
kejujuran”. Akibat krisis ini maka orang-orang jujur/benar di zaman ini
termasuk barang langka alias tidak banyak alias hanya sedikit sekali. Menemui
manusia yang jujur di zaman ini seperti
mencari mutiara di lautan lepas . Bahkan menemukan masyarakat yang jujur pun
tak ubahnya seperti sulitnya mendapatkan pemimpin yang jujur. Masyarakat dan
pemimpin di zaman ini nyaris tidak terselamatkan dari perkataan dan perbuatan
jujur. Mereka sedang berlomba dalam ketidakjujuran untuk mendapatkan kekuasaan
dan rizki yang tidak berkah, alias haram.
Tahta,harta
dan berkiblat pada wanita pemuas libido telah menjadi pemujaaan baru di era kini.
Merasa bangga menikmati cara kehidupan tersebut, kendati mengklaim diri sebagai
orang beriman. Sumpah dan janji atas nama agama semakin marak di ingkari ketika
ia menjadi pemimpin. Mereka memakai Ilmunya kuda, ditaruh didepan dia menggigit
di taruh dibelakang dia menyepak. Ketika ia jadi masyarakat biasa pun bertingkah
yang aneh-aneh. Untuk yang satu ini
dipakai ilmunya kodok keatas menjilat, kesamping menyikut, kebawah menginjak.
Begitulah gambaran makro masyarakat kita.
Sehingga mendapatkan manusia yang jujur di era kini sudah termasuk makhluk yang
paling langka. Jika tidak kita akan mendapatkan sebuah generasi masyarakat yang
serba pemissive yang terus membiarkan tingkah laku konyolnya pada sesama. Akibatnya terjadilah kerusakan sikap moral negatif diseluruh lapis kehidupan masyarakat karena didominasi manusia yang berbuat kerusakan. seperti yang tergambar
dalam firman Allah
Telah
nyata secara de facto dan de jure tentang keadaan kita di era kekinian. Lantas
apakah kita tidak mau mengambil pelajaran untuk segera kembali kepada jalan
yang benar ? Ataukah kita ingin mendapatkan kehancuran total dari semua
fasilitas dan sistem kehidupan kita dikemudian hari ? yang merusak tatanan budaya luhur yang sudah
dijalani generasi terdahulu dan menjadi pegangan hidup berbangsa dan bernegara
yang dikenal punya rasa solidaritas sosial dan bermartabat mulia. Hanya
orang-orang beriman yang muttaqin dan jujur dalam menjalani kehidupannya
sajalah yang bisa memperbaiki keadaan ini sehingga shiyam harus diartikan
sebagai mempuasakan diri dari segala bentuk kemungkaran.
“Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya merasakan pada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka agar mereka kembali (kejalan yang benar) (QS: Al-Rum: 41).
Sementara itu muttaqin
harus pula mentaqwakan diri dari segala yang ma’ruf supaya tumbuh masyarakat
baru yang lebih baik dan mendapat Ridha Allah SWT dinegeri yang kita diami inipun
akan menjadi negeri Baldatun Thayyibatun Warabbun Gafur (penduduk
yang senantiasa tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah Allah, bebas dari
kesyirikan dan kedzaliman serta selalu mensyukuri nikmat yang Allah berikan..
Sungguh mereka mencintai Allah dan Allah mencintai mereka. Dan senantiasa
meninggalkan pekerjaan yang mengandung kebohongan, baik dalam ucapan
maupun tindakan).
Semenjak dari usia baligh kita telah berpuasa dan malah disepanjang umur kehidupan kita. Nilai dari pendidikan puas itu
seharusnya dapat merubah dan membuat trend peningkatan kepribadian kita menjadi
lebih dan lebih baik dari sebelumnya . Yaitu: dari pribadi yang suka dengan perbuatan
jujur, menjadi sosok pribadi yang taqwa (konstruktif), termasuk dari yang suka
berbohong menjadi cinta pada kejujuran.
Lalu apakah ada yang salah ? .... Jujur kita akui bahwa masyarakat di negeri ini banyak yang melaksanakan ibadah puasa, berhaji, berzakat dan masih setia membaca dua kalimat syahadat, tetapi implementasinya tidak sebanyak itu, gak tau berapa pastinya....
Lalu apakah ada yang salah ? .... Jujur kita akui bahwa masyarakat di negeri ini banyak yang melaksanakan ibadah puasa, berhaji, berzakat dan masih setia membaca dua kalimat syahadat, tetapi implementasinya tidak sebanyak itu, gak tau berapa pastinya....
Sehingga bisa dikatakan ada
yang salah ,artinya keberagamaan kita masih bersifat simbolik-situasional
ketimbang berkepribadian agama secara otentik yakni satunya kata dengan
perbuatan. Padahal perintah beragama itu secara substansial adalah membentuk
kepribadian yang shaleh secara pribadi maupun shaleh secara sosial.
Itulah hakekat beragama (berislam) yang sebenarnya untuk mendapatkan hasanah di
dunia sekaligus hasanah di hari akhirat kelak yang menjadi dambaan setiap
mukmin dalam do’a yang disebut sapu jagad itu.
Jika
demikian halnya, maka kejujuran dalam konteks berpuasa harus menjadi satu setel
pakaian lahir batin dalam keseharian kita. Dia harus menghiasi dan memperindah diri
kita dalam setiap aktivitas dimana dan kapanpun kita berada. Jangan ada
penyimpangan dalam diri orang yang beriman. Insyaallah mulai dari diri kita
terlebih dahulu,maksudnya diri penulis
lho..!!..moga puasa tahun ini menjadikan instropeksi diri kita semua menjadi manusia yang lebih
bertakwa.
by so2015
0 komentar:
Post a Comment