Monday, 22 June 2015

Kejujuran Dalam Konteks Berpuasa.

Kejujuran dalam konteks berpuasa. Puasa dalam bahasa Al-Qur’an adalah Al-Shiyam, yang makna turunannya  adalah Al-Imsak yang artinya “ menahan “. Secara istilah, puasa diartikan sebagai “menahan makan dan minum serta sesuatu yang merusaknya mulai fajar hingga terbenam matahari”. Pengertian ini secara materil, kita yang berpuasa dilarang melakukan perbuatan yang secara materil berhubungan aktifitas kebendaan seperti makan, minum dan berhubungan badan (seksualitas). Tetapi makna tersebut sesungguhnya hanya pada wilayah kebendaan yang bersifat memberikan kepuasan yang bersifat fisik semata secara mikro. Sedangkan Al-Shiyam secara makro diartikan sebagai upaya menahan diri dari hal yang membatalkan secara kebendaan, maupun hala-hal yang merusaknya secara spiritual seperti perkataan kotor, perbuatan terlarang, dusta, kebodohan, jahil dengan seluruh kawan-kawannya, berikut melakukan amalan-amalan wajib dan sunnat yang berkaitan dengannya.
Pengertian Shiyam seperti inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT, sehingga kepada orang-orang beriman dipanggil untuk melakukannya (Al-Shiyam Adapun kejujuran atau jujur dalam bahasa Al-Qur’an “Al-Shadiqin” (Orang-orang benar atau jujur). Dan, panggilan untuk menjadi orang-orang benar-jujur, juga hanya dialamatkan Allah kepada orang-orang beriman sebagaimana panggilan puasa pada orang-orang beriman. 

“Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar/jujur” (QS: Al-Taubah: 119).

Artinya tanda-tanda paling utama dari orang beriman dan bertaqwa itu adalah orang yang berbuat benar/jujur. Atau dengan pengertian lain bahwa orang beriman itu ialah mereka yang bertaqwa dan mereka yang berkata benar/jujur

Harus diakui bahwa salah satu krisis terbesar di zaman sekarang adalah “Krisis kejujuran”. Akibat krisis ini maka orang-orang jujur/benar di zaman ini termasuk barang langka alias tidak banyak alias hanya sedikit sekali. Menemui manusia  yang jujur di zaman ini seperti mencari mutiara di lautan lepas . Bahkan menemukan masyarakat yang jujur pun tak ubahnya seperti sulitnya mendapatkan pemimpin yang jujur. Masyarakat dan pemimpin di zaman ini nyaris tidak terselamatkan dari perkataan dan perbuatan jujur. Mereka sedang berlomba dalam ketidakjujuran untuk mendapatkan kekuasaan dan rizki yang tidak berkah, alias haram.

Tahta,harta dan berkiblat pada wanita pemuas libido telah menjadi pemujaaan baru di era kini. Merasa bangga menikmati cara kehidupan tersebut, kendati mengklaim diri sebagai orang beriman. Sumpah dan janji atas nama agama semakin marak di ingkari ketika ia menjadi pemimpin. Mereka memakai Ilmunya kuda, ditaruh didepan dia menggigit di taruh dibelakang dia menyepak. Ketika ia jadi masyarakat biasa pun bertingkah  yang aneh-aneh. Untuk yang satu ini dipakai ilmunya kodok keatas menjilat, kesamping menyikut, kebawah menginjak. Begitulah gambaran makro masyarakat  kita. 

Sehingga mendapatkan manusia yang jujur di era kini sudah termasuk makhluk yang paling langka. Jika tidak kita akan mendapatkan sebuah generasi masyarakat yang serba pemissive  yang terus membiarkan tingkah laku konyolnya pada sesama. Akibatnya terjadilah kerusakan sikap moral negatif  diseluruh lapis  kehidupan masyarakat  karena didominasi manusia yang berbuat kerusakan. seperti yang tergambar dalam firman Allah 

“Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya merasakan pada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (kejalan yang benar) (QS: Al-Rum: 41).

Telah nyata secara de facto dan de jure tentang keadaan kita di era kekinian. Lantas apakah kita tidak mau mengambil pelajaran untuk segera kembali kepada jalan yang benar ? Ataukah kita ingin mendapatkan kehancuran total dari semua fasilitas dan sistem kehidupan kita dikemudian hari  ? yang merusak tatanan budaya luhur yang sudah dijalani generasi terdahulu dan menjadi pegangan hidup berbangsa dan bernegara yang dikenal punya rasa solidaritas sosial dan bermartabat mulia. Hanya orang-orang beriman yang muttaqin dan jujur dalam menjalani kehidupannya sajalah yang bisa memperbaiki keadaan ini sehingga shiyam harus diartikan sebagai mempuasakan diri dari segala bentuk kemungkaran. 

Sementara itu muttaqin harus pula mentaqwakan diri dari segala yang ma’ruf supaya tumbuh masyarakat baru yang lebih baik dan mendapat Ridha Allah SWT dinegeri yang kita diami inipun akan menjadi negeri Baldatun Thayyibatun Warabbun Gafur (penduduk yang senantiasa tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah Allah, bebas dari kesyirikan dan kedzaliman serta selalu mensyukuri nikmat yang Allah berikan.. Sungguh mereka mencintai Allah dan Allah mencintai mereka. Dan  senantiasa  meninggalkan pekerjaan yang mengandung kebohongan, baik dalam ucapan maupun tindakan).

Semenjak  dari usia baligh kita telah berpuasa dan malah disepanjang umur kehidupan kita. Nilai dari pendidikan puas itu seharusnya dapat merubah dan membuat trend peningkatan kepribadian kita menjadi lebih dan lebih baik dari sebelumnya . Yaitu: dari pribadi yang suka dengan perbuatan jujur, menjadi sosok pribadi yang taqwa (konstruktif), termasuk dari yang suka berbohong menjadi cinta pada kejujuran.

Lalu apakah ada yang salah ? .... Jujur kita akui bahwa masyarakat  di negeri ini banyak yang melaksanakan ibadah puasa, berhaji, berzakat dan masih setia membaca dua kalimat syahadat, tetapi implementasinya tidak sebanyak itu, gak tau berapa pastinya.... 

Sehingga bisa dikatakan ada yang salah ,artinya keberagamaan kita masih bersifat simbolik-situasional ketimbang berkepribadian agama secara otentik yakni satunya kata dengan perbuatan. Padahal perintah beragama itu secara substansial adalah membentuk kepribadian yang shaleh secara pribadi maupun shaleh secara sosial. Itulah hakekat beragama (berislam) yang sebenarnya untuk mendapatkan hasanah di dunia sekaligus hasanah di hari akhirat kelak yang menjadi dambaan setiap mukmin dalam do’a yang disebut sapu jagad itu.


Jika demikian halnya, maka kejujuran dalam konteks berpuasa harus menjadi satu setel pakaian lahir batin dalam keseharian kita. Dia harus menghiasi dan memperindah diri kita dalam setiap aktivitas dimana dan kapanpun kita berada. Jangan ada penyimpangan dalam diri orang yang beriman. Insyaallah mulai dari diri kita terlebih dahulu,maksudnya diri penulis  lho..!!..moga puasa tahun ini menjadikan instropeksi  diri kita semua menjadi manusia yang lebih bertakwa.

by so2015

0 komentar:

Post a Comment