Monday, 12 December 2016

Antara Jadi Cerdas dan Tak Waras

“ Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, slogan yang sudah sangat lengket di kepala kita semua, hasilnya bangsa kita cerdas-cerdas. buktinya pelajar Indonesia menjadi juara science olympiade dunia dan banyak lagi prestasi yang lainnya. 

Berjalannya waktu ternyata cerdas bisa melupakan kewarasan, jadi mungkin perlu dipertimbangkan apa perlu kita ganti slogan ini menjadi ““mewaraskan kehidupan bangsa”..cerdas itu lebih tepat di sebut sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul yang sebelumnya belum pernah bersentuhan dengan hal tersebut. Jadi cerdas itu sifat bawaan tanpa belajar..negatifnya orang cerdas ini mampu "mengarang bebas" mempengaruhi orang lain jadi waras dan tidak waras.
Kalau kita kilas balik maksud dari cerdas itu dalam arti "tau aja ngak cukup tapi butuh mengerti juga ( logika ) artinya mau pakai otak kiri apa kanan tergantung . lalu maksud waras itu bisa bedain mana yang benar dan salah. 

Orang-orang waras sudah merampas kewarasan pada orang-orang yang mereka jadikan  tidak waras. Jadi siapa yang waras, siapa yang tidak waras? Yang mana yang pelihara ke warasan nya, yang mana yang membuang kewarasan ?

Orang-orang hidup yang menganggap dirinya waras, apakah memang waras? Atau mungkin sebenarnya orang-orang yang dianggap tidak waras oleh orang-orang yang menganggap dirinya waraslah yang sebenarnya masih waras, karena mereka bebas. Bebas. ..Gak ikuti peraturan kewarasan yang ditetapkan oleh orang waras. Bebas. Memiliki tubuh, pikiran dan jiwa yang bebas. Gak terpasung sama trend/ isu terbaru, seharusnya begini, seharusnya begitu, gak terikat dengan pemikiran-pemikiran umum tentang tata cara hidup, kalau mereka gak mau ya gak mau..gituu dech.

Orang yang dianggap tidak waras oleh orang-orang yang mengaku dirinya waras itu pemberani. Gak mau ikut-ikutan kelakuan orang yang dianggap waras agar dapat dianggap waras. Mereka bukan pengecut karena mereka berani menyatakan dirinya, bukan seperti calon orang waras yang milih jadi penurut atau, jadi pengikut aja, orang-orang kayak gini dia juga harus gini. Gini udah gak zaman, terus ganti jadi gitu ya ngikut jadi gitu. Biar sama, biar waras katanya. Kata siapa ???

Orang yang dianggap tidak waras oleh orang-orang yang mengaku dirinya waras itu demokratis. Berani berdiri diatas pemikiran sendiri. Memiliki hidupnya seutuhnya, pemikiran seutuhnya, jiwanya utuh.

Bukan seperti zombi, mayat hidup, seperti orang-orang yang melabeli dirinya waras tapi hidupnya dimiliki orang lain, kemauan orang lain. Entah dia ingin dibilang mayat hidup, robot, atau boneka teletubie? Entah apa dia masih memiliki hidupnya sendiri? Menghidupi hidupnya. Atau hanya hidup dalam persepsi orang lain?

Banyak orang yang dipakaikan label tidak waras disekitar kita. Mereka toh gak peduli, persetan apa kata orang waras. Orang waras itu yang malah kebanyakan sakit jiwanya, pikirannya, hatinya.

Coba lihat di sekeliling kita;

Oknum aparatur Kepolisian, TNI, Kejaksaan, Hakim, Kepala daerah, tokoh masyarakat, politisi bahkan pendidik yang mengkonsumsi narkoba.

Ada oknum pejabat negara dan lokal  banyak  yang cukup cerdas dalam “mengumpulkan” uang negara masuk dompet pribadi. 

Bertolak dari sejarah bangsa di Indonesia, bahwa sistim kepemimpinan didalam masyarakat sudah ada peran dari masing masing posisinya. Penulis dalam hal ini mengambil contoh  di Minangkabau . Ungkapan filosofis "tigo tungku sajarangan" memiliki makna mendalam membentuk peradaban kepemimpinan. Pilar kepemimpinan itu ada tiga : Alim Ulama ( Pemuka ), Cadiak pandai   (Teknokrat) dan Ninik Mamak ( eksekutif  ) mereka ini menjalankan posisinya masing masing secara independen agar jernih melihat persoalan masyarakat ( ini sangat cerdas dan waras ). Namun yang kita lihat saat ini, justru Ulama / pemuka agama yang katanya “cerdas” masuk jadi anggota partai politik atau menjadi pendukung/ simpatisan  calon kepala daerah tertentu. waah ..Ini “cukup cerdas tapi tak waras”.. seharusnya tokoh agama itu menjadi pagar keimanan dan pembentukan moral umatnya. Bukan "berpihak ke satu golongan". Kita bisa tebak yang terjadi jika tidak netral pada saat ada persoalan dalam masyarakat , kaum ini tak jernih lagi menyelesaikan atau memilah masalah masyarakat justru mengaburkan masalah kenapa ??..karena etika moral  makin tak waras.

Bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam pada saat kondisi masyarakat yang tidak nyaman, peran dari seorang tokoh agama dan masyarakat ini harusnya bijak dalam menghimbau dan menasehati pengikutnya untuk bersikap adil, toleran, jujur, saling peduli, memahami, menghormati, mencintai, dan saling menolong di antara sesama manusia. 

Sejalan dengan itu, peran sentral tokoh agama semestinya berperan penting mengajarkan budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dan menumbuhkan budaya keteladanan itu harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal.

Emang sih, kita ini bangsa yang besar tapi ternyata menjadi sulit besar  ..Kenapa? Karena   secara historis pernah “dididik” oleh bangsa-bangsa cerdas yang tak waras (warisan pikiran kotor kali ya?!)  Bukankah bangsa Belanda, Inggris, Prancis, Jepang, Spanyol, Portugis adalah bangsa yang  cerdas?  Kecerdasan yang diakui oleh bangsa di dunia plus kebiadabannya. 

Sebaiknya jangan dicontoh  oleh generasi bangsa  saat ini !!!!!.

Para pemimpin  dan tokoh masyarakat lah yang menjadi penentu warasnya bangsa ini.  Dalam dimensi kebangsaan yang pluralistis ( suku bangsa yang beragam ) ini sebaiknya mulai dari presiden, dpr, tokoh politik  sampai birokrasi terbawah wajib hukumnya melakukan "revolusi mental dan moral" ( minjem istilah pak dhe..)  mereka agar lebih waras dan cerdas.

Untuk menumbuhkan suasana sosial dan politik yang berpaham demokrasi  dan bercirikan keterbukaan, tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima perbedaan pendapat  yang memihak kepada kebenaran bukan pembenaran, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.

Etika moral semua elemen bangsa harus diwujudkan dalam bentuk sikap yang ber tata karama dalam perilaku sosial politik dan agama  yang toleran ( hargai persaudaraan) , tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Mohon untuk  kita jauhi semua itu.

Saatnya bangsa ini di waras kan melalui pengajaran dan nasehat  dari semua orang yang di tokoh kan oleh masyarakat, karena bangsa yang waras itu lebih baik dari bangsa yang cerdas.

Kewarasan identik dengan integritas dan kekuatan karakter. Mari kita semua mulai dari diri sendiri, keluarga kembali kepada pembangunan kewarasan menuju kewarasan  kolektif agar menjadi  bangsa yang lebih baik dan tak kalah bermoralnya dari bangsa yang lebih kecil.

Ingat baik baik... Indonesia adalah bangsa yang besar, jauh lebih besar dari negara asean lainnya. Jangan terpatri dalam pikiran bangsa lain bahwa kita besar menjadi terlihat kecil karena moralitasnya masih “kecil”.

Sebaliknya mereka bangsa yang kecil tapi terlihat lebih “besar” karena moralitasnya lebih baik. Pengajaran  yang mewaraskan dan mencerdaskan harus  jadi terpadu. Tak dapat dibantah proses pengajaranlah  yang bisa mewaraskan bangsa.

Bangsa yang waras adalah bangsa yang cerdas namun bangsa yang cerdas belum tentu waras.


Maaf bila ada yang kurang berkenan, tulisan ini semata mata untuk saling mengingatkan ..

by admin.2016

0 komentar:

Post a Comment