“ Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, slogan yang sudah sangat lengket di kepala kita semua, hasilnya bangsa kita cerdas-cerdas. buktinya pelajar Indonesia menjadi juara science olympiade dunia dan banyak lagi prestasi yang lainnya.
Berjalannya
waktu ternyata cerdas bisa melupakan kewarasan, jadi mungkin perlu
dipertimbangkan apa perlu kita ganti slogan ini menjadi ““mewaraskan kehidupan
bangsa”..cerdas itu lebih tepat di sebut sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul yang sebelumnya belum pernah bersentuhan dengan hal tersebut. Jadi cerdas itu sifat bawaan tanpa belajar..negatifnya orang cerdas ini mampu "mengarang bebas" mempengaruhi orang lain jadi waras dan tidak waras.
Kalau kita kilas balik maksud dari cerdas itu dalam arti "tau aja ngak cukup tapi butuh mengerti juga ( logika ) artinya mau pakai otak kiri apa kanan tergantung . lalu maksud waras itu bisa bedain mana yang benar dan salah.
Kalau kita kilas balik maksud dari cerdas itu dalam arti "tau aja ngak cukup tapi butuh mengerti juga ( logika ) artinya mau pakai otak kiri apa kanan tergantung . lalu maksud waras itu bisa bedain mana yang benar dan salah.
Orang-orang
waras sudah merampas kewarasan pada orang-orang yang mereka jadikan tidak waras.
Jadi siapa yang waras, siapa yang tidak waras? Yang mana yang pelihara
ke warasan nya, yang mana yang membuang kewarasan ?
Orang-orang
hidup yang menganggap dirinya waras, apakah memang waras? Atau mungkin
sebenarnya orang-orang yang dianggap tidak waras oleh orang-orang yang
menganggap dirinya waraslah yang sebenarnya masih waras, karena mereka bebas.
Bebas. ..Gak ikuti peraturan kewarasan yang ditetapkan oleh orang waras. Bebas.
Memiliki tubuh, pikiran dan jiwa yang bebas. Gak terpasung sama trend/ isu terbaru,
seharusnya begini, seharusnya begitu, gak terikat dengan pemikiran-pemikiran umum
tentang tata cara hidup, kalau mereka gak mau ya gak mau..gituu dech.
Orang
yang dianggap tidak waras oleh orang-orang yang mengaku dirinya waras itu
pemberani. Gak mau ikut-ikutan kelakuan orang yang dianggap waras agar dapat
dianggap waras. Mereka bukan pengecut karena mereka berani menyatakan dirinya,
bukan seperti calon orang waras yang milih jadi penurut atau, jadi pengikut aja,
orang-orang kayak gini dia juga harus gini. Gini udah gak zaman, terus ganti jadi gitu
ya ngikut jadi gitu. Biar sama, biar waras katanya. Kata siapa ???
Orang
yang dianggap tidak waras oleh orang-orang yang mengaku dirinya waras itu
demokratis. Berani berdiri diatas pemikiran sendiri. Memiliki hidupnya
seutuhnya, pemikiran seutuhnya, jiwanya utuh.
Bukan
seperti zombi, mayat hidup, seperti orang-orang yang melabeli dirinya waras tapi
hidupnya dimiliki orang lain, kemauan orang lain. Entah dia ingin dibilang mayat hidup, robot, atau boneka teletubie? Entah apa dia masih memiliki hidupnya
sendiri? Menghidupi hidupnya. Atau hanya hidup dalam persepsi orang lain?
Banyak
orang yang dipakaikan label tidak waras disekitar kita. Mereka toh gak peduli,
persetan apa kata orang waras. Orang waras itu yang malah kebanyakan sakit
jiwanya, pikirannya, hatinya.
Coba lihat di sekeliling kita;
Oknum aparatur Kepolisian, TNI, Kejaksaan, Hakim, Kepala daerah, tokoh masyarakat, politisi bahkan pendidik yang
mengkonsumsi narkoba.
Ada oknum
pejabat negara dan lokal banyak yang cukup cerdas dalam “mengumpulkan” uang
negara masuk dompet pribadi.
Bertolak dari sejarah bangsa di Indonesia, bahwa sistim kepemimpinan didalam masyarakat sudah ada peran dari masing masing posisinya. Penulis dalam hal ini mengambil contoh di Minangkabau . Ungkapan filosofis "tigo tungku sajarangan" memiliki makna mendalam membentuk peradaban kepemimpinan. Pilar kepemimpinan itu ada tiga : Alim Ulama ( Pemuka ), Cadiak pandai (Teknokrat) dan Ninik Mamak ( eksekutif ) mereka ini menjalankan posisinya masing masing secara independen agar jernih melihat persoalan masyarakat ( ini sangat cerdas dan waras ). Namun yang kita lihat saat ini, justru Ulama / pemuka agama yang katanya “cerdas” masuk jadi anggota partai politik atau menjadi pendukung/ simpatisan calon kepala daerah tertentu. waah ..Ini “cukup cerdas tapi tak waras”.. seharusnya tokoh agama itu menjadi pagar keimanan dan pembentukan moral umatnya. Bukan "berpihak ke satu golongan". Kita bisa tebak yang terjadi jika tidak netral pada saat ada persoalan dalam masyarakat , kaum ini tak jernih lagi menyelesaikan atau memilah masalah masyarakat justru mengaburkan masalah kenapa ??..karena etika moral makin tak waras.
Bertolak
dari rasa kemanusiaan yang mendalam pada saat kondisi masyarakat yang tidak
nyaman, peran dari seorang tokoh agama dan masyarakat ini harusnya bijak dalam menghimbau
dan menasehati pengikutnya untuk bersikap adil, toleran, jujur, saling peduli, memahami,
menghormati, mencintai, dan saling menolong di antara sesama manusia.
Sejalan
dengan itu, peran sentral tokoh agama semestinya berperan penting mengajarkan budaya
malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dan menumbuhkan budaya keteladanan itu
harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal.
Emang
sih, kita ini bangsa yang besar tapi ternyata menjadi sulit besar ..Kenapa? Karena
secara historis pernah “dididik” oleh bangsa-bangsa cerdas yang tak
waras (warisan pikiran kotor kali ya?!) Bukankah bangsa Belanda, Inggris, Prancis,
Jepang, Spanyol, Portugis adalah bangsa yang
cerdas? Kecerdasan yang diakui
oleh bangsa di dunia plus kebiadabannya.
Sebaiknya
jangan dicontoh oleh generasi bangsa saat
ini !!!!!.
Para
pemimpin dan tokoh masyarakat lah yang menjadi penentu
warasnya bangsa ini. Dalam dimensi kebangsaan
yang pluralistis ( suku bangsa yang beragam ) ini sebaiknya mulai dari presiden, dpr, tokoh politik sampai birokrasi terbawah wajib hukumnya melakukan "revolusi
mental dan moral" ( minjem istilah pak dhe..) mereka agar lebih waras dan cerdas.
Untuk menumbuhkan
suasana sosial dan politik yang berpaham demokrasi dan bercirikan keterbukaan, tanggung jawab,
tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan,
kesediaan untuk menerima perbedaan pendapat yang memihak kepada kebenaran bukan pembenaran,
serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban
dalam kehidupan berbangsa.
Etika
moral semua elemen bangsa harus diwujudkan dalam bentuk sikap
yang ber tata karama dalam perilaku sosial politik dan agama yang toleran ( hargai persaudaraan) , tidak berpura-pura, tidak
arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak
manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Mohon untuk kita jauhi semua itu.
Saatnya
bangsa ini di waras kan melalui pengajaran dan nasehat dari semua orang yang di tokoh kan oleh
masyarakat, karena bangsa yang waras itu lebih baik dari bangsa yang cerdas.
Kewarasan
identik dengan integritas dan kekuatan karakter. Mari kita semua mulai dari
diri sendiri, keluarga kembali kepada pembangunan kewarasan menuju
kewarasan kolektif agar menjadi bangsa yang lebih baik dan tak kalah bermoralnya
dari bangsa yang lebih kecil.
Ingat
baik baik... Indonesia adalah bangsa yang besar, jauh lebih besar dari negara
asean lainnya. Jangan terpatri dalam pikiran bangsa lain bahwa kita besar menjadi
terlihat kecil karena moralitasnya masih “kecil”.
Sebaliknya
mereka bangsa yang kecil tapi terlihat lebih “besar” karena moralitasnya lebih
baik. Pengajaran yang mewaraskan dan
mencerdaskan harus jadi terpadu. Tak
dapat dibantah proses pengajaranlah yang
bisa mewaraskan bangsa.
Bangsa
yang waras adalah bangsa yang cerdas namun bangsa yang cerdas belum tentu
waras.
Maaf
bila ada yang kurang berkenan, tulisan ini semata mata untuk saling
mengingatkan ..
by admin.2016
0 komentar:
Post a Comment