Sunday 1 December 2013

Mengendalikan Hidup Kita dengan ber Tafakur....

Ternyata  kalau kita coba ber-tafakur atau  bermakna berdiam diri dalam kaitan beribadah, selalu dilakukan sebagai tahapan cara sederhana yang justru dilakukan  dalam tahap puncak kegiatan, terlihat pada saat puncak ibadah haji, syarat sahnya adalah wukuf di Arafah. 
wukuf di arafah
Hal ini wajib hukumnya dilakukan pada aktivitas fisik yang melelahkan, maka cara sederhana itu diperintahkan Nabi  untuk  berdiam diri hingga menjelang turunnya matahari senja, dalam kegiatan berpuasa pun ada pada malam-malam terakhir Ramadhan, disunahkan untuk ber-itikaf, kegiatan inipun  bisa dimaknai sebagai ‘berdiam diri’ (di masjid).
Itikaf salah satu  kegiatan ikhtiar atau  upaya untuk mendapatkan berkah Lailatul Qodar.

Derajat seorang manusia lebih tinggi karena ia dikaruniai kemampuan berpikir. Puncaknya berpikir ini justru adalah tafakur (ber-kontemplasi), yang mana dalam proses tersebut dibutuhkan keadaan tenang, hening, dan berdiam diri. Bukan di anjurkan untuk  berpikir keras.
Berdiam diri ini bukanlah bersemedi lho…tapi suasana dimana seseorang bisa berpikir lebih dalam tentang dirinya dan Tuhannya. Suasana yang diberikan ini agar  manusia bisa lebih intim mengenal dirinya. Karena siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya. ( Man arofa nafsahu, faqod arofa Robbahu..).

Biijaksana itu  justru diperoleh saat banyak berdiam diri.

Apabila seseorang ingin bertafakur; ia harus memiliki modal pengetahuan yang menjadi sandaran dalam tafakurnya.
Sebagaimana banyak orang yang memiliki modal pengetahuan tetapi tidak memanfaatkannya dalam hidupnya. Dalam hal ini, datang dorongan untuk bertafakur, penjelasan tentang kepentingannya, dan kebutuhan seseorang terhadapnya. Bagaimana seseorang dapat bertafakur dengan cara yang benar dengan mengunakan penge­tahuan yang dimiliki?
Bertafakur itu adalah orang yang tidak tahu, belum mengerti apa-apa, tidak memiliki apa-apa.
Bertafakur berarti melakukan perenungan. Berserah diri, intinya pendekatan diri kepada Tuhan sama sekali tidak memiliki tujuan juga tidak memiliki keinginan atau tuntutan.
Orang yang melakukan tafakur diibaratkan bayi. Tidak tahu apa-apa, tidak tahu mana arah utara, selatan, timur maupun barat. Ia tidak memiliki kemampuan apa-apa, sehingga dipukul, dibentak, dibunuh atau diapakan dia akan diam saja.
Bertafakur tidak sama dengan sholat. Tetapi menyembah dalam arti beribadah. Tata caranya dengan duduk bersila, mengosongkan pikiran, berkonsentrasi penuh.
Karena menyembah, maksudnya berhubungan dengan Tuhan. Orang yang sedang melakukan kontak dengan Tuhan, alam pikir harus dikosongkan. Pikiran yang macam-macam, ingatan yang macam-macam, keinginan-keinginan yang macam-macam, harus diusir jauh-jauh. Hal yang harus difungsikan adalah hati, suara hati, jeritan hati, keinginan hati untuk menuju Tuhan.
Melakukan tafakur bukan berarti diam membisu dan mematung. Secara fisik memang demikian, tapi dalam ruhani harus ramai, bergemuruh ramai dalam diam, bergemuruh dalam kesunyian, yang ramai ialah suara hati.
Keselarasan pikiran dan hati, agar pikiran tidak melayang ke mana-mana, maka harus diisi. Isinya adalah dzikir. Dzikir yang harus dibaca, harus selaras antara hati dan pikiran. Artinya, dzikir yang dibaca didengar sendiri, dibaca terus menerus, diresapi dan dijaga sedemikian rupa agar alam pikir tidak melayang kemana-mana, kalau pikiran keluar jalur, harus dikembalikan ke jalur hati, sehingga terjaga terus. Dzikir yang harus dibaca banyak sekali.
Setiap guru punya anjuran sendiri-sendiri, ada juga mewajibkan berdzikir kalimat tauhid ”Laa ilaaha illallah”. Ada kalimat pendek mengambil dari asmaul husna misalnya ”Yaa hayyu yaa Qoyyum”.
Tapi, biasanya untuk penyerahan diri adalah berdzikir memuji Tuhan, yaitu membaca tasbih “Subhaanallah walhamdulilah walaailla haillallahu allahu akbar laa haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim".
Dzikir ini dibaca dalam kondisi duduk bersila secara terus menerus. Tidak merasa bosan. Malahan harus merasa enjoy. Jika sudah merasa enak, maka senantiasa akan kurang. Lamanya juga tidak diperdulikan
Waktu untuk bertafakur sebenarnya tidak ada aturan, bisa siang, sore, pagi, atau malam. Tetapi yang paling baik dilakukan pada tengah malam tatkala orang-orang sudah terlelap, sehingga memperoleh suasana hening-sunyi di malam hari.
Dzikir dalam tafakur berarti suara hati. Tanpa suara, tanpa kata-kata juga gerakan-gerakan. Ini berbeda dengan tata cara berdzikir yang ada cara duduk, gerakan badan dan suara.
Tujuan hidup kita di dunia sebagai orang beriman islam, adalah = " Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. Huud, 11: 7) ..untuk berhasil dalam ujian ini dan mencapai surga serta kesenangan yang baik dari Allah kelak setelah kebangkitan dari kematian.
Karena kesalahpahaman dalam memahami tujuan hidup ini, manusia tidak dapat menghubungkan kehidupan mereka sehari-hari dengan fakta bahwa mereka memiliki Pencipta. 
Itulah alasan dasar mengapa setiap manusia mengembangkan prinsip dan nilai-nilai moral pribadinya sendiri, yang terbentuk dalam budaya, komunitas, dan keluarga tertentu.

Prinsip-prinsip ini seharusnya berfungsi sebagai “petunjuk hidup” hingga datangnya kematian. Manusia yang menaati nilai-nilai mereka sendiri akan mendapatkan kenyamanan dalam harapan bahwa setiap tindakan yang salah akan dihukum sementara dalam neraka. 

Pemikiran sejenis menyimpulkan bahwa kehidupan abadi dalam surga akan mengikuti masa penyiksaan ini. Pemikiran tersebut tanpa sadar meredakan rasa takut akan hukuman yang memilukan di akhir kehidupan. Beberapa orang, di lain pihak, bahkan tidak merenungkan hal ini. Mereka sama sekali tidak memedulikan dunia selanjutnya dan mampu untuk “memanfaatkan hidup sebaik-baiknya”.

Bagaimanapun, hal tersebut di atas tidak benar dan kenyataannya berseberangan dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka yang berpura-pura tidak menyadari keberadaan Allah akan terjebak dalam keputus-asaan yang tak berkesudahan. Dalam Al Quran, orang-orang tersebut digambarkan sebagai berikut:

Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.
(QS. Ar-Ruum, 30: 7)

Tentulah, orang-orang ini hanya memahami sedikit saja mengenai keberadaan dan tujuan hidup sesungguhnya dalam dunia ini, dan mereka tidak pernah berpikir bahwa kehidupan dalam dunia ini tidaklah kekal abadi.

Ada beberapa ungkapan yang umum dipergunakan manusia mengenai pendeknya kehidupan ini: 
Manfaatkanlah hidupmu sebaik-baiknya selagi sempat, “hidup itu pendek”, “manusia tidak hidup selamanya”. 

Semua itu adalah ungkapan yang selalu dirujuk dalam mendefinisikan sifat dasar dunia ini. Namun, ungkapan-ungkapan ini mengandung keterikatan yang terselubung kepada hidup saat ini, dibandingkan kepada hidup setelahnya. 

Ungkapan-ungkapan itu mencerminkan perilaku umum manusia terhadap kehidupan dan kematian. Karena kecintaan akan hidup yang demikian besarnya, pembicaraan tentang kematian selalu diselingi dengan lelucon atau hal lain yang mengurangi keseriusan permasalahan tersebut. 
Selingan ini selalu memiliki tujuan, sebagai upaya sengaja untuk mereduksi permasalahan penting menjadi hal yang remeh.

Kematian sesungguhnya merupakan topik yang penting untuk direnungkan. Hingga saat seperti ini dalam kehidupannya, seseorang mungkin tidak menyadari betapa berarti kenyataan ini. Namun, karena kini ia punya kesempatan untuk memahami pentingnya hal tersebut, ia harus mempertimbangkan kembali kehidupan dan segenap harapannya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk bertobat kepada Allah serta mengarahkan kembali seluruh perilaku dan melanjutkan kehidupan seseorang dalam kepatuhan akan kehendak Allah. 
Hidup itu pendek, jiwa manusia kekal. Dalam masa yang pendek ini, seseorang seharusnya tidak membiarkan keinginan yang sementara mengendalikannya.

Jadi untuk mngendalikan keinginan dalam kehidupan didunia ini, kita perlu manfaatkan waktu untuk bertafakur.
Moga bermanfaat.. Tulisan ini hanya penafsiran sepihak dari seorang manusia yang masih belajar mengenal Tuhannya...Hanya Allah Pemilik Ilmu dan Maha Tahu akan segala penciptaan yang dikehendakiNya. Wallahualam bissawab...Ampunilah hamba jika terlalu sok tahu ini...



Ref: dari berbagai sumber..

0 komentar:

Post a Comment