Saturday 13 January 2018

Wujudkan Pilkada dan Pilpres Harapan Masyarakat Meraih Sejahtera.

Persoalan politik sampai SARA beberapa waktu yang lalu 2016 telah membuat suasana sosial budaya yang tidak sehat bagi warga di negara tercinta ini.
Isu-isu tersebut  tak lain sebagai salah satu gerakan yang  bersifat identitas dalam menentukan arah politik dan memilih pemimpin.
Kita harus melihat substansi memilih seorang pemimpin. Dia harus bisa jadi panutan dan menjadi pemimpin semua golongan masyarakat.
Di negara demokrasi ini, warga masyarakat bebas memilih, tanpa harus dipengaruhi atau mempengaruhi orang lain. Namun, belakangan seakan-akan bangsa mulai tercerai-berai karena ceramah-ceramah politisi dan kelompok tertentu. Padahal, Indonesia mempunyai budaya dan pandangan sendiri dalam memilih pemimpin. Pemimpin yang mereka inginkan itu idealnya harus berjiwa melayani.
Umar bin al-Khattab pernah berucap :
" Pemimpin kuat berkuasa mengendalikan diri dan pegawai-pegawainya. Pemimpin lemah berkuasa mengendalikan diri, tapi membiarkan pegawai bertindak seenaknya ".
Pemimpin bertindak seenaknya. Ini sangat berbahaya. Ada lagi jenis penguasa yang membiarkan diri dan para pegawai bertindak seenaknya. Jenis pemimpin terakhir ini  yang paling berbahaya. Dia bisa memusnahkan secara keseluruhan tata sosial budaya masyarakat.
Masyarakat sudah seharusnya cerdas dalam menentukan pemimpinnya. Mereka yang diberikan amanah akan menjadi wakil rakyat dan penentu nasib masyarakat dan bangsa masa depan. Jika masyarakat salah menentukan pemimpin karena hanya mengekor, apalagi karena diberi materi, masa depan bangsa dan negara itu terancam rusak dan hancur. 
Isu SARA ( Suku, Agama, Ras, Aliran ) yang sudah disepakati  sering mengalahkan isu program kerja calon kepala daerah.
Bangsa ini sudah 71 tahun menjalani kemerdekaan. Bila hal ini masih diributkan, maka sama saja dengan kemunduran.
Isu SARA atau hal-hal negatif yang bersumber dari “ konflik “ perbedaan aliran dalam Agama Islam dan perbedaan Agama Islam dengan Agama lain pada akhirnya dapat dipergunakan dengan baik oleh kalangan anti Islam yang berstandar ganda didalam kesempatan waktu hajatan pilkada dan bisa berlanjut pada hajatan pilpres nanti, karena suasana kompetisi dan fanatisme  masyarakat pemilih rentan dimanfaatkan kalangan tertentu. 

Managemen Konflik yang dikembangkan Orde Baru pada waktu dulu ternyata tidak tenggelam bersama masa Orde Baru akan tetapi secara masif dan sistematis secara estafet dilanjutkan oleh kekuatan anti Islam dari kalangan Liberalis, Demokratis Individualistis Sekuler yang ingin memisahkan Islam dari kehidupan bernegara dan mengganti tata nilai Pancasila tersebut dengan Slogan Liberty, Equality , Fraternity melalui pendekatan Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia. 
Hal ini tentu saja bertentangan dengan deklarasi sumpah pemuda yang dilakukan pada tanggal 28 Oktober 1928 serta TAP MPR Nomor II Tahun 1978 tentang  pegangan hidup Bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, sehingga segala bentuk perbedaan identitas yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia ( Suku, Ras, Agama dan Antar
Golongan ) dilebur dan dibentuk menjadi satu pandangan dalam hidup
berbangsa / bermasyarakat dan bernegara.

Penyatuan pandangan/pegangan hidup
inilah yang kemudian membentuk pola pikir “mindset” bangsa Indonesia menjadi
satu, searah, dalam melihat, menilai segala permasalahan dalam berbangsa dan bernegara, yaitu berdasarkan Pancasila. 
Indonesia  butuh pemimpin wilayah yang tidak hanya punya rasa berkeadilan, tetapi butuh pemimpin yang tegas dalam menegakkan aturan aturan  yang sudah disepakati di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah , Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam menjalankan pemerintahan nya.
Masyarakat sudah memahami bahwa sistem pemerintahan di Indonesia itu menggunakan sistem sentralisasi dan desentralisasi dan bisa kita baca perbedaan pemerintah pusat dan daerah pada UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jadi setiap warga negara yang berniat untuk jadi pemimpin di daerah dan pusat, tentu saja memiliki kompetensi dalam mengelola pemerintahan dapat mengikuti prosedur , pedoman dan tata cara menjalankan pemerintahan sesuai undang-undang.
Jadi pada prinsipnya dalam masa Pilkada 2018 ini masyarakat menyadari hak  dan kewajiban nya dalam memilih dan dipilih tentu saja  memenuhi asas
LUBER JURDIL

Menurut hemat penulis , Luber Jurdil
memiliki arti :
a. Langsung
Dalam hal ini langsung berarti pemilih memilih secara langsung tanpa diwakilkan kepada siapapun pada saat pemilu tersebut dilaksanakan. 
b. Umum 
Umum berarti pemilih yang telah memenuhi syarat usia ( yang telah berumur 17 tahun ke atas) dapat menggunakan hak suaranya tanpa adanya pengecualian yaitu hak aktif dan hak pasif. 
c. Bebas 
Bebas berarti pemilih memiliki kebebasan untuk menggunakan hak suaranya sesuai hati nuraninya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun 
d. Rahasia 
Pemilih pada saat memilih dan menggunakan hak suaranya dipastikan tidak akan diketahui oleh orang lain atas apa yang telah dipilihnya. 
e. Jujur 
Pada saat pelaksanaan pemilu, pemilih maupun panitia pemilu serta semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan tidak ada kecurangan yang dilakukan. 

f. Adil 
Seluruh pemilih dan pihak yang terlibat mendapatkan perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, maupun tingkat sosial.
Kita berharap pilkada dan pilpres 2018 & 2019 ini mampu memberikan harapan Masyarakat Meraih Sejahtera lahir dan batin  yang diberkahi Allah SWT.
Buat yang mencalonkan diri jadi pemimpin di daerahnya , niatkan  :
Jadi Kepala Daerah itu dengan niat
untuk mencukupkan sebagian ibadah dalam agamamu. Artinya bila agama yang menjadi rujukannya maka sudah pasti dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat yang ada takkan pernah tanggung-tanggung untuk senantiasa memimpin dengan kesungguhan hati yang mendalam.

Keberkahan Allah tentu akan selalu disanding dengan kebaikan dan kebahagiaan setiap saatnya.. insyaallah.

0 komentar:

Post a Comment