Eforia
PILKADA langsung di berbagai daerah di
Indonesia pertama kalinya dicoba akan dimulai serentak sesuai agenda pemerintah. Untuk
pelaksanaannya ini secara detail; Serentak digelar pada 9 Desember 2015 di 9
provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota.
Pilkada
selanjutnya digelar pada Februari 2017 di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18
kota. Pada Juni 2018, akan digelar pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan
39 kota.
Secara
nasional, pilkada serentak akan digelar pada tahun 2027, di 541 daerah.
Pelantikan gubernur terpilih nanti akan dilakukan oleh Presiden, secara bersamaan di
Istana Negara. Untuk bupati dan walikota pelantikannya akan tetap dilaksanakan
dalam sidang paripurna DPRD kabupaten/kota.
Ini merupakan substansi dari wujud kedaulatan itu ada
di tangan Rakyat, UU otonomi daerah yang berlaku untuk mengganti sistim
sentralistik menjadi sistim desentralisasi melahirkan UU yang mengatur
mekanisme pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung...Itu point pertamanya.
Gambaran
yang bisa kita saksikan semenjak PILKADA
berlangsung ± 16 tahun ini dapat kita petakan dalam dua bagian pokok. Yaitu; Pilkada
yang penuh dengan masalah dan pilkada yang relatif tidak bermasalah.. Pilkada
yang penuh masalah kita bisa rasakan dengan kasat mata dimana dibeberapa daerah
yang melangsungkan pilkada terjadi bentrok, kerusuhan antar pendukung pasca
pemungutan suara atau pasca putusan KPU, praktik money politik yang begitu
masif memang berlangsung diakui ataupun tidak. Apalagi nanti akan dilakukan
pilkada serentak "Bayangkan kalau hampir di semua daerah rusuh, ini bisa
crash. Ini perlu kesadaran yang kuat dari kita semua, pilkada serentak itu
melibatkan elit, kelas menengah, hingga akar rumput. Persoalan yang
sangat fenomenal adalah rusaknya
hubungan kekerabatan masyarakat setempat karena masalah dukung mendukung. Kultur politik para politisi di banyak daerah di Indonesia masih belum siap saat
menerima kekalahan dalam pemilu. Buntutnya para calon kepala daerah yang kalah
akan melakukan cara apapun untuk memenangkan pilkada. Masyarakat kita
harus siap menghadapi proses perubahan menuju perbaikan sistem yang lebih baik,
efisien dan tepat sasaran. Sedangkan pilkada yang relatif tidak
bermasalah..kayaknya kita masih berproses kale ya...kita doain bangsa ini
semakin dewasa dan realistis dalam proses demokrasi ini.
Masalah
pun belum berakhir, setelah sang kepala daerah terpilih berkuasa, ia harus
berpikir keras mengembalikan modal yang ia sudah keluarkan untuk menjadi
kepala daerah, gaji seorang kepala daerah tidak akan mungkin bisa menutupi,
maka jalan instant nya adalah korupsi Anggaran. itulah yang menyebabkan pejabat
setingkat kepala daerah banyak terlibat dan menjadi tersangka kasus korupsi.
Seperti yang kita baca dan lihat di media massa bahwa sebagian sudah divonis
dan yang lain dalam proses persidangan atau penyelidikan. Pertanyaan kritisnya,
apakah substansi PILKADA langsung bisa sebagai manivestasi kedaulatan rakyat? Kayaknya kita masih perlu mengamati dan menguji seberapa efektif sistem bisa di
sosialisasikan dan bisa menjadi kultur politik yang siap kalah- menang yang
akhirnya hasil pilkada ataupun pilpres diterima sebagai hal yang wajar dan
menjadi milik bersama dalam kontrak sosial melalui praktek-pratek kebijakan
ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan agama, mendorong pada perbaikan
nasib rakyat sebagai warga daerah/negara. Pemimpin Daerah/Negara harus selalu
hadir untuk rakyatnya, dalam kondisi apapun. Ini point kedua.
Selanjutnya
adalah bagaimana menjamin PILKADA itu
memastikan bahwa sang calon terpilih benar-benar merupakan keinginan rakyat
setempat dan tentu saja pemimpin yang memilik track record yang baik dan memiliki
kompetensi untuk memimpin satu daerah. Selanjutnya bagaimana menjamin kepala
daerah terpilih tidak akan melakukan korupsi? Dan pertanyaan lain yang masih
banyak jika akan dilanjutkan.
Semua
butuh proses pembelajaran, butuh waktu untuk melihat dan menimbang pilihan
sampai pada proses pemilihan secara demokrasi yakni PILKADA yang tentu saja
memenuhi substansi yang sebenarnya, yakni “terpilihnya pemimpin yang memiliki
kompetensi serta track record yang baik”. Sekarang ini sebenarnya sudah mulai
terlihat dengan jelas telah munculnya pemimpin daerah yang berprestasi, seperti mantan walikota solo yang sukses sekarang menjadi presiden RI. Biaya politik akan lebih murah bila demokrasi partisipasi
mulai tumbuh dalam masyarakat kita. Bukankah biaya politik sebagian habis untuk
Money Politik. Jika saja Money Politik tertekan atau tiada karena masyarakatnya sudah memilih menggunakan akal;
berkualitas ataukah tidak secara intelektual maupun emosional. Ratio mereka
bermain untuk menakar kualitas para calon pemimpin maupun wakil rakyatnya, masyarakat bisa menyadari bahwa hak memilih itu hak konstitusionil dan hak
mutlak atas diri sendiri, maka biaya poltik pasti rendah, jadi persoalannya
kembali pada penegakan hukum atau aturan. Yang perlu kita catat disini ialah
kita telah memilih jalan demokrasi dan sesungguhnya demokrasi itu memang butuh
pengorbanan.
Sebagaimana
yang diketahui, pilkada adalah hajatan dimana rakyat adalah subyek utama
untuk memilih dan menentukan pemimpin daerahnya sebagai wujud dari pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Itulah esensi dari penyelenggaraan pemilihan umum
termasuk pula penyelenggaraan Pilkada.
Menuju
Pilkada Serentak 2015 dan 2027.
Kisruh
pelaksanaan pemilu selama ini, yang terjadi merata di seluruh Indonesia itu
menyangkut permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Hal yang sangat mengejutkan
ada beberapa pemilih yang terdaftar sampai empat kali dan bahkan ada yang
sampai 7 kali. Modus operandi dari “penggandaan” DPT ini adalah:
(1)
Mendaftarkan seseorang lebih dari sekali dalam satu TPS yang sama dengan
penempatan nomor urut pendaftaran yang berbeda pada rentang yang cukup besar.
(2)
Mendaftarkan seseorang lebih dari sekali pada TPS yang berbeda dalam satu
wilayah desa/kelurahan, dan
(3)
Mendaftarkan seseorang pemilih dengan menggunakan data identitas yang berbeda
yaitu dengan menggunakan NIK dan Nomor KTP. (I Wayan Juana; 2009)
Adapun
modus-modus pelanggaran administrasi yang terjadi dalam pelaksanaan tahapan
pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih antara lain :
(1)
Mencantumkan warga yang sudah meninggal dunia dalam DPT;
(2)
Mencantumkan warga negara yang berstatus sebagai TNI/Polri dalam DPT;
(3)
Mendaftarkan pemilih yang sama lebih dari sekali;
(4)
Mencantumkan warga negara yang belum memiliki hak pilih dalam DPT;
(5)Masih
adanya warga negara yang telah memiliki hak pilih tidak tercatat dalam DPT.
Uraian
tersebut diatas sepenuhnya menjelaskan bahwa banyak terjadi pelanggaran dalam
penyelenggaraan pemilu. Walaupun masih dalam pelanggaran administrasi, namun
justru hal ini menjadi krusial mengingat pelanggaran yang berakar dari
buruknya manajemen administrasi penyelenggara pemilu yang mempunyai efek
domino terkait dengan penyediaan logistik pemilu dan dapat dipastikan
mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu, seyogyanya ini tidak terulang lagi
dalam pilkada nanti. Lalu argumentasi
tentang waktu penyelenggaraan yang mepet, cara ini tidak dapat digunakan lagi
sebagai alasan bila terjadi kesalahan yang sama seperti yang terjadi pada pilkada
yang telah lalu. Mengingat regulasi yang mengatur Pilkada sudah mapan dan KPU punya
cukup banyak waktu (Desember 2015 get start) untuk mempersiapkan pelaksanaan
Pilkada. Dalam permasalahan DPT, KPU provinsi seyognyanya menyiapkan seluruh
KPU kabupaten/kota untuk mencari alternatif dan langkah-langkah efektif untuk
bekerjasama dengan instansi lain agar hak pilih dari warga negara tidak lagi
hilang, rusak atau hal yang tidak diinginkan..
Satu
hal lagi yakni KPU harus mendorong dirinya untuk terus menjadi lembaga
penyelenggara pemilu yang netral dan independen. Posisi ini mesti dijaga dan
dikawal, mengingat KPU adalah lembaga yang paling rentan dari intervensi
kekuatan-kekuatan yang ingin memenangkan pemilihan.
Penting
diperhatikan, mengingat pelaksanaan pilkada bukan sebatas pelaksanaan demokrasi
secara formal. Pilkada wajib menjadi pengejawantahan kedaulatan rakyat, dimana
rakyat dapat secara lugas menentukan pemerintahan sebagai bagian dari hak
konstitusional dan hak asasi manusia. Sehingga pilkada tahun ini mampu
mendorong kemajuan demokrasi di Indonesia secara substansi. Untuk itu,
dibutuhkan penyelenggaraan yang bebas dan fair. Tentu saja dengan sistem
administrasi pilkada yang kuat dan dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara
pemilu yang independen dan bebas intervensi.
Secara
sederhana, kita seringkali
mendefenisikan pemilu sebagai arena kontestasi elit yang berkompetisi untuk
mengisi jabatan politik di pemerintahan. Its true.
Tapi pada zaman modern seperti saat ini, pemilu menjadi penting karena:
Pertama,
pemilu sebagai mekanisme keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu
menjadi indikator negara itu demokrasi. Ketiga, pemilu juga terkait dengan implikasi-implikasi yg luas secara politik, ekonomi
dan sosial (dari pemilu); termasuk menjadi metode alternatif digunakan oleh kelompok-kelompok
penekan dalam memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter.
Seperti
yang dikatakan dalam perspektif
Schumpeterian tentang demokrasi: dimana ia menyebutkan demokrasi sebagai
“metode politik”. Pendapat ini sekaligus mendominasi teorisasi demokrasi,
sehingga banyak kalangan memberikan konklusi bahwa pemilu menjadi elemen
penting untuk mengukur kadar demokrasi suatu negara.
Pemilu, tidak hanya sebagai model
labelisasi atas sebuah sistem yang sudah disepakati, Prezeworski dan kawan-kawan mengingatkan
bahwa jika demokrasi hanya dipahami sebagai “sekedar rezimisasi yg
menyelenggarakan pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan”, maka
pemilu akan melahirkan aktor-aktor; pejabat-pejabat publik yang kotor dan dengan mendapat
legitimasi secara politik dari masyarakatnya, namun tidak menjadikan legitimasi
tersebut sebagai basis fondasi dalam melakukan kebaikan-kebaikan terhadap
rakyat. Sedangkan kritik sering kita jumpai dalam pelaksanaan demokrasi
elektoral (pemilu) kita saat ini, yaitu high cost (ekonomi, sosial dan politik).
Baik pemilu nasional maupun dalam konteks pilkada. Biaya pemilu (secara
finansial) yang mahal tersebut seringkali tidak paralel dengan terwujudnya
kesejahteraan rakyat, atau paling tidak secara minimalis dapat melahirkan
pemimpin-pemimpin yang pro rakyat, pro poor dan pro growth. Justru
pemilu menciptakan ruang resistensi sosial pada level grassroot (munculnya
berbagai konflik sosial politik di tingkat masyarakat) sebagai akibat dari
pemilu dan hasil pemilu tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi tidak
berjalannya fungsi-fungsi partai politik dalam melakukan pendidikan dan
pemberdayaan politik kepada masyarakat. Namun realitanya partai politik
itu berdayanya saat ada hajatan pemilu dan pilkada saja.
Sebenarnya,
mencari pemimpin itu tidak sulit,
justru prosedur-prosedur yang kita adopsi-lah yang mempersulit lahir dan munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
Pengamatan penulis: hampir tidak ada dinegeri ini orang miskin yang punya kesempatan jadi pemimpin, karena
memang prosedur dan sistem kita hanya memberikan peluang bagi mereka yang kaya
saja untuk mengisi jabatan-jabatan publik (politik) untuk bangsa ini.
Kalau kita sepakat mengatakan pemilu itu cara atau metode, maka masih banyak
metode atau cara lain yang lebih bijak dan relevan dalam "menemukan"
pemimpin bangsa ini, baik untuk tingkat
nasional maupun tingkat lokal. Kita
perlu merenungkan kembali dan mengkritisi dengan pernyataan-pernyataan bahwa
Pemilu merupakan sarana rakyat untuk berdaulat atas dirinya sendiri, bukan
sebaliknya bahwa pemilu hanya sebagai
sarana sekelompok orang untuk menindas rakyat melalui cara yang konstitusional.
Negara dan pemerintah sesungguhnya diciptakan untuk menjamin kondisi rakyat
agar menjadi baik, menjawab segala tuntutan rakyat soal terwujudnya welfare
state, seperti yg diingatkan oleh Jhon Locke, bahwa "negara diciptakan karena
suatu perjanjian (kontrak) kemasyarakatan antar rakyat. dengan tujuannya
melindungi hak milik, hidup & kebebasan dari berbagai ancaman bahaya", demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan harus memenuhi tiga syarat pokok:
1) Kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas antara individu dan atau kelompok
(terutama parpol) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan;
2).
Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga dalam pemilihan pemimpin
& kebijakan, paling tidak melalui pemilu secara reguler dan adil, tak
satupun kelompok dikecualikan;
3).
Kebebasan sipil & politik (berbicara, pers, berserikat) yang cukup menjamin
intergritas kompetisi & partisipasi politik.
Secara
substantif Demokrasi pada dasarnya dibangun dengan landasan etis dan moraliti
yang mencakup nilai-nilai moral, pemikiran kritis, fair, yang kesemua itu
muncul dalam tiap praktek pada arena politik dan ekonomi. dan pemerintah
mengejawantahkannya dalam tataran empirik obyektif melalui praktek-pratek
kebijakan ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan agama, mendorong pada
perbaikan nasib rakyat sebagai warga negara. Negara harus selalu hadir untuk
rakyatnya, dalam kondisi apapun.
Untuk lebih jelasnya, " landasan moraliti demokrasi itu tentunya dipahami
sebagai mekanisme penciptaan tata pemerintahan yang punya empati terhadap
rakyatnya secara konkrit, dan bukan hanya melalui proses pencitraan pemimpin
semata ".
Sehingga
keteladan terhadap seorang pemimpin itu merujuk
pada “aspek sistem” bukan pada “perilaku individu” alias jaim semata. Naah yang
kayak gini pernah terjadi pada waktu yang lalu.
Demokrasi itu bukan tujuan, demokrasi secara substantif merupakan jalan
alternatif menuju perbaikan hubungan negara, daerah dan rakyat dalam rangka
mewujudkan kebaikan bersama serta mempermudah berlangsungnya kontrak sosial
kemasyarakatan.
Kesimpulannya
:
Kepada semua warga masyarakat diharapkan untuk bersedia berpartisipasi menggunakan hak konstitusi alias hak pilihnya dengan benar. Dan kepada kandidat yang menawarkan diri menjadi pemimpin dalam pilkada serentak ini harus menyadari kemampuan dirinya (kompeten, integritasnya, handal melayani dan bisa dipercaya, mengerti budaya daerahnya, tahu cara mengaplikasikan keinginan rakyat dan tentu saja inovatif dalam menumbuhkan potensi daerah menjadi syarat kesejahteraan rakyatnya ).
Kepada semua warga masyarakat diharapkan untuk bersedia berpartisipasi menggunakan hak konstitusi alias hak pilihnya dengan benar. Dan kepada kandidat yang menawarkan diri menjadi pemimpin dalam pilkada serentak ini harus menyadari kemampuan dirinya (kompeten, integritasnya, handal melayani dan bisa dipercaya, mengerti budaya daerahnya, tahu cara mengaplikasikan keinginan rakyat dan tentu saja inovatif dalam menumbuhkan potensi daerah menjadi syarat kesejahteraan rakyatnya ).
Open
your Mind, Before your Mouth, Jangan sekedar janji di mulut, buktikan !!.
Selamat
memilih dan dipilih, sukses pilkada Desember 2015- Juni 2018
referensi tulisan :
Syarief Aryfa'id, Staf Pengajar Ilmu
Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta. : Pemilu & Demokrasi
Prosedural vs Substansi
I Wayan “Gendo” Suardana, S.H .
PILKADA; MENYONGSONG DEMOKRASI SUBSTANSI*, gendovara / September 29, 2009
/ Politik, Hukum, dan HAM
Fransiskus Allo, Pro dan Kontra
Pilkada ; Kompasiana. 06 September 2014.
writted by.so61
0 komentar:
Post a Comment