Wednesday, 1 July 2015

Pilkada Serentak bagi Rakyat tidak sekedar Arena Kontesasi Elite

Eforia  PILKADA langsung di berbagai daerah di Indonesia pertama kalinya dicoba akan dimulai serentak sesuai agenda pemerintah. Untuk pelaksanaannya ini secara detail; Serentak digelar pada 9 Desember 2015 di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota.
Pilkada selanjutnya digelar pada Februari 2017 di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Pada Juni 2018, akan digelar pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.

Secara nasional, pilkada serentak akan digelar pada tahun 2027, di 541 daerah.

Pelantikan gubernur terpilih nanti akan dilakukan oleh Presiden, secara bersamaan di Istana Negara. Untuk bupati dan walikota pelantikannya akan tetap dilaksanakan dalam sidang paripurna DPRD kabupaten/kota.

Ini  merupakan substansi dari wujud kedaulatan itu ada di tangan Rakyat, UU otonomi daerah yang berlaku untuk mengganti sistim sentralistik menjadi sistim desentralisasi melahirkan UU yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung...Itu point pertamanya.

Gambaran yang bisa kita saksikan  semenjak PILKADA berlangsung ± 16 tahun ini dapat kita petakan dalam dua bagian pokok. Yaitu; Pilkada yang penuh dengan masalah dan pilkada yang relatif tidak bermasalah.. Pilkada yang penuh masalah kita bisa rasakan dengan kasat mata dimana dibeberapa daerah yang melangsungkan pilkada terjadi bentrok, kerusuhan antar pendukung pasca pemungutan suara atau pasca putusan KPU, praktik money politik yang begitu masif memang berlangsung diakui ataupun tidak. Apalagi nanti akan dilakukan pilkada serentak "Bayangkan kalau hampir di semua daerah rusuh, ini bisa crash. Ini perlu kesadaran yang kuat dari kita semua, pilkada serentak itu melibatkan elit, kelas menengah, hingga akar rumput. Persoalan yang sangat fenomenal  adalah rusaknya hubungan kekerabatan  masyarakat setempat karena masalah dukung mendukung. Kultur politik para politisi di banyak daerah di Indonesia masih belum siap saat menerima kekalahan dalam pemilu. Buntutnya para calon kepala daerah yang kalah akan melakukan cara apapun untuk memenangkan pilkada.  Masyarakat kita harus siap menghadapi proses perubahan menuju perbaikan sistem yang lebih baik, efisien dan tepat sasaran. Sedangkan pilkada yang relatif tidak bermasalah..kayaknya kita masih berproses kale ya...kita doain bangsa ini semakin dewasa dan realistis dalam proses demokrasi ini.

Masalah pun belum berakhir, setelah sang kepala daerah terpilih berkuasa, ia harus berpikir keras mengembalikan modal yang ia sudah keluarkan untuk menjadi kepala daerah, gaji seorang kepala daerah tidak akan mungkin bisa menutupi, maka jalan instant nya adalah korupsi Anggaran. itulah yang menyebabkan pejabat setingkat kepala daerah banyak terlibat dan menjadi tersangka kasus korupsi. Seperti yang kita baca dan lihat di media massa bahwa sebagian sudah divonis dan yang lain dalam proses persidangan atau penyelidikan. Pertanyaan kritisnya, apakah substansi PILKADA langsung bisa sebagai manivestasi kedaulatan rakyat? Kayaknya kita masih perlu mengamati dan menguji seberapa efektif sistem bisa di sosialisasikan dan bisa menjadi kultur politik yang siap kalah- menang yang akhirnya hasil pilkada ataupun pilpres diterima sebagai hal yang wajar dan menjadi milik bersama dalam kontrak sosial melalui praktek-pratek kebijakan ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan agama, mendorong pada perbaikan nasib rakyat sebagai warga daerah/negara. Pemimpin Daerah/Negara harus selalu hadir untuk rakyatnya, dalam kondisi apapun. Ini point kedua.

Selanjutnya  adalah bagaimana menjamin PILKADA itu memastikan bahwa sang calon terpilih benar-benar merupakan keinginan rakyat setempat dan tentu saja pemimpin yang memilik track record yang baik dan memiliki kompetensi untuk memimpin satu daerah. Selanjutnya bagaimana menjamin kepala daerah terpilih tidak akan melakukan korupsi? Dan pertanyaan lain yang masih banyak jika akan dilanjutkan. 

Semua butuh proses pembelajaran, butuh waktu untuk melihat dan menimbang pilihan sampai pada proses pemilihan secara demokrasi yakni PILKADA yang tentu saja memenuhi substansi yang sebenarnya, yakni “terpilihnya pemimpin yang memiliki kompetensi serta track record yang baik”. Sekarang ini sebenarnya sudah mulai terlihat dengan jelas telah munculnya pemimpin daerah yang berprestasi, seperti mantan walikota solo yang sukses sekarang menjadi presiden RI.  Biaya politik akan lebih murah bila demokrasi partisipasi mulai tumbuh dalam masyarakat kita. Bukankah biaya politik sebagian habis untuk Money Politik. Jika saja Money Politik tertekan atau tiada karena  masyarakatnya sudah memilih menggunakan akal; berkualitas ataukah tidak secara intelektual maupun emosional. Ratio mereka bermain untuk menakar kualitas para calon pemimpin maupun wakil rakyatnya, masyarakat bisa menyadari bahwa hak memilih itu hak konstitusionil dan hak mutlak atas diri sendiri, maka biaya poltik pasti rendah, jadi persoalannya kembali pada penegakan hukum atau aturan. Yang perlu kita catat disini ialah kita telah memilih jalan demokrasi dan sesungguhnya demokrasi itu memang butuh pengorbanan.

Sebagaimana yang diketahui, pilkada  adalah hajatan dimana rakyat adalah subyek utama untuk memilih dan menentukan pemimpin daerahnya sebagai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat.  Itulah esensi dari penyelenggaraan pemilihan umum termasuk pula penyelenggaraan Pilkada.

Menuju Pilkada Serentak 2015 dan 2027.
Kisruh pelaksanaan pemilu selama ini, yang terjadi merata di seluruh Indonesia itu menyangkut permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Hal yang sangat mengejutkan ada beberapa pemilih yang terdaftar sampai empat kali dan bahkan ada yang sampai 7 kali. Modus operandi dari “penggandaan” DPT ini adalah:
(1) Mendaftarkan seseorang lebih dari sekali dalam satu TPS yang sama dengan penempatan nomor urut pendaftaran yang berbeda pada rentang yang cukup besar.
(2) Mendaftarkan seseorang lebih dari sekali pada TPS yang berbeda dalam satu wilayah desa/kelurahan, dan
(3) Mendaftarkan seseorang pemilih dengan menggunakan data identitas yang berbeda yaitu dengan menggunakan NIK dan Nomor KTP. (I Wayan Juana; 2009)
Adapun modus-modus pelanggaran administrasi yang terjadi dalam pelaksanaan tahapan pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih antara lain :
(1) Mencantumkan warga yang sudah meninggal dunia dalam DPT;
(2) Mencantumkan warga negara yang berstatus sebagai TNI/Polri dalam DPT;
(3) Mendaftarkan pemilih yang sama lebih dari sekali;
(4) Mencantumkan warga negara yang belum memiliki hak pilih dalam DPT;
(5)Masih adanya warga negara yang telah memiliki hak pilih tidak tercatat dalam DPT.

Uraian tersebut diatas sepenuhnya menjelaskan bahwa banyak terjadi pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu. Walaupun masih dalam pelanggaran administrasi, namun justru hal ini menjadi krusial mengingat pelanggaran yang berakar dari buruknya  manajemen administrasi penyelenggara pemilu yang mempunyai efek domino terkait dengan penyediaan logistik pemilu dan dapat dipastikan mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu, seyogyanya ini tidak terulang lagi dalam pilkada nanti.   Lalu argumentasi tentang waktu penyelenggaraan yang mepet, cara ini tidak dapat digunakan lagi sebagai alasan bila terjadi kesalahan yang sama seperti yang terjadi pada pilkada yang telah lalu. Mengingat regulasi yang mengatur Pilkada sudah mapan dan KPU punya cukup banyak waktu (Desember 2015 get start) untuk mempersiapkan pelaksanaan Pilkada. Dalam permasalahan DPT, KPU provinsi seyognyanya menyiapkan seluruh KPU kabupaten/kota untuk mencari alternatif dan langkah-langkah efektif untuk bekerjasama dengan instansi lain agar hak pilih dari warga negara tidak lagi hilang, rusak atau hal yang tidak diinginkan..
Satu hal lagi yakni KPU harus mendorong dirinya untuk terus menjadi lembaga penyelenggara pemilu yang netral dan independen. Posisi ini mesti dijaga dan dikawal, mengingat KPU adalah lembaga yang paling rentan dari intervensi kekuatan-kekuatan yang ingin memenangkan pemilihan.

Penting diperhatikan, mengingat pelaksanaan pilkada bukan sebatas pelaksanaan demokrasi secara formal. Pilkada wajib menjadi pengejawantahan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat secara lugas menentukan pemerintahan sebagai bagian dari hak konstitusional dan hak asasi manusia. Sehingga pilkada tahun ini mampu mendorong kemajuan demokrasi di Indonesia secara substansi. Untuk itu, dibutuhkan penyelenggaraan yang bebas dan fair. Tentu saja dengan sistem administrasi pilkada yang kuat dan dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan bebas intervensi.

Secara sederhana,  kita seringkali mendefenisikan pemilu sebagai arena kontestasi elit yang berkompetisi untuk mengisi jabatan politik di pemerintahan. Its true.

Tapi pada zaman modern seperti saat ini, pemilu menjadi penting karena:
Pertama, pemilu sebagai mekanisme keberlangsungan demokrasi perwakilan. Kedua, pemilu menjadi indikator negara itu demokrasi. Ketiga, pemilu juga terkait dengan implikasi-implikasi yg luas secara politik, ekonomi dan sosial (dari pemilu); termasuk menjadi metode alternatif digunakan oleh kelompok-kelompok penekan dalam memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter.

Seperti  yang dikatakan dalam perspektif Schumpeterian tentang demokrasi: dimana ia menyebutkan demokrasi sebagai “metode politik”. Pendapat ini sekaligus mendominasi teorisasi demokrasi, sehingga banyak kalangan memberikan konklusi bahwa pemilu menjadi elemen penting untuk mengukur kadar demokrasi suatu negara.



Pemilu, tidak  hanya sebagai model labelisasi atas sebuah sistem yang sudah disepakati, Prezeworski dan kawan-kawan mengingatkan bahwa jika demokrasi hanya dipahami sebagai “sekedar rezimisasi yg menyelenggarakan pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan”, maka pemilu akan melahirkan aktor-aktor; pejabat-pejabat publik yang kotor dan dengan mendapat legitimasi secara politik dari masyarakatnya, namun tidak menjadikan legitimasi tersebut sebagai basis fondasi dalam melakukan kebaikan-kebaikan terhadap rakyat. Sedangkan kritik sering kita jumpai dalam pelaksanaan demokrasi elektoral (pemilu) kita saat ini, yaitu high cost (ekonomi, sosial dan politik). Baik pemilu nasional maupun dalam konteks pilkada. Biaya pemilu (secara finansial) yang mahal tersebut seringkali tidak paralel dengan terwujudnya kesejahteraan rakyat, atau paling tidak secara minimalis dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang pro rakyat, pro poor dan pro growth. Justru pemilu menciptakan ruang resistensi sosial pada level grassroot (munculnya berbagai konflik sosial politik di tingkat masyarakat) sebagai akibat dari pemilu dan hasil pemilu tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi tidak berjalannya fungsi-fungsi partai politik dalam melakukan pendidikan dan pemberdayaan politik kepada masyarakat.  Namun realitanya partai politik itu berdayanya saat ada hajatan pemilu dan pilkada saja. 

Sebenarnya,  mencari pemimpin itu tidak sulit,  justru prosedur-prosedur yang kita adopsi-lah yang mempersulit lahir dan munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas.


Pengamatan penulis: hampir tidak ada dinegeri ini orang miskin  yang punya kesempatan jadi pemimpin, karena memang prosedur dan sistem kita hanya memberikan peluang bagi mereka yang kaya saja untuk mengisi jabatan-jabatan publik (politik)  untuk bangsa ini.


Kalau kita sepakat mengatakan pemilu itu cara atau metode, maka masih banyak metode atau cara lain yang lebih bijak dan relevan dalam "menemukan" pemimpin  bangsa ini, baik untuk tingkat nasional maupun tingkat lokal.  Kita perlu merenungkan kembali dan mengkritisi dengan pernyataan-pernyataan bahwa Pemilu merupakan sarana rakyat untuk berdaulat atas dirinya sendiri, bukan sebaliknya bahwa  pemilu hanya sebagai sarana sekelompok orang untuk menindas rakyat melalui cara yang konstitusional. Negara dan pemerintah sesungguhnya diciptakan untuk menjamin kondisi rakyat agar menjadi baik, menjawab segala tuntutan rakyat soal terwujudnya welfare state, seperti yg diingatkan oleh Jhon Locke, bahwa "negara diciptakan karena suatu perjanjian (kontrak) kemasyarakatan antar rakyat. dengan tujuannya melindungi hak milik, hidup & kebebasan dari berbagai ancaman bahaya", demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan harus memenuhi tiga syarat pokok:

1) Kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas antara individu dan atau kelompok (terutama parpol) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan;

2). Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga dalam pemilihan pemimpin & kebijakan, paling tidak melalui pemilu secara reguler dan adil, tak satupun kelompok dikecualikan;

3). Kebebasan sipil & politik (berbicara, pers, berserikat) yang cukup menjamin intergritas kompetisi & partisipasi politik.

Secara substantif Demokrasi pada dasarnya dibangun dengan landasan etis dan moraliti yang mencakup nilai-nilai moral, pemikiran kritis, fair, yang kesemua itu muncul dalam tiap praktek pada arena politik dan ekonomi. dan pemerintah mengejawantahkannya dalam tataran empirik obyektif melalui praktek-pratek kebijakan ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan agama, mendorong pada perbaikan nasib rakyat sebagai warga negara. Negara harus selalu hadir untuk rakyatnya, dalam kondisi apapun.


Untuk lebih jelasnya, " landasan moraliti demokrasi itu tentunya dipahami sebagai mekanisme penciptaan tata pemerintahan yang punya empati terhadap rakyatnya secara konkrit, dan bukan hanya melalui proses pencitraan pemimpin semata ".

Sehingga keteladan terhadap seorang pemimpin itu  merujuk pada “aspek sistem” bukan pada “perilaku individu” alias jaim semata. Naah yang kayak gini pernah terjadi pada waktu yang lalu.

Demokrasi itu bukan tujuan, demokrasi secara substantif merupakan jalan alternatif menuju perbaikan hubungan  negara, daerah dan rakyat dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama serta mempermudah berlangsungnya kontrak sosial kemasyarakatan.

Kesimpulannya : 
Kepada semua warga masyarakat diharapkan untuk bersedia berpartisipasi menggunakan hak konstitusi alias hak pilihnya dengan benar. Dan kepada kandidat yang menawarkan diri menjadi pemimpin dalam pilkada serentak ini harus menyadari kemampuan dirinya (kompeten, integritasnya, handal melayani dan bisa dipercaya, mengerti budaya daerahnya, tahu cara mengaplikasikan keinginan rakyat dan tentu saja inovatif dalam menumbuhkan potensi daerah menjadi syarat kesejahteraan rakyatnya ).

Open your Mind, Before your Mouth, Jangan sekedar janji di mulut, buktikan !!.

Selamat memilih dan dipilih, sukses pilkada Desember 2015- Juni 2018

referensi tulisan :
Syarief Aryfa'id, Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta. :  Pemilu & Demokrasi Prosedural vs Substansi
I Wayan “Gendo” Suardana, S.H . PILKADA; MENYONGSONG DEMOKRASI SUBSTANSI*, gendovara / September 29, 2009 / Politik, Hukum, dan HAM
Fransiskus Allo, Pro dan Kontra Pilkada ; Kompasiana. 06 September 2014.

writted by.so61


0 komentar:

Post a Comment