Wednesday 24 November 2021

MENGOMENTARI DEBAT POLITIK PRAKTIS DI MEDIA SOSIAL



Setiap masa pergantian kepemimpinan nasional di medsos (FB, WA, Twitter) akan muncul dan lahir perdebatan perdebatan politik yang seru dan juga tak kalah lucunya.

Dalam diskusi di grup Whatsaap, Facebook atau Twitter, setiap orang bisa merasa paling benar. 
Setiap orang dapat mengatakan bahwa itu adalah kebenaran menurutmu, namun menurutku kebenaran tersebut adalah berbeda.

Tetapi, masa sekarang ini yang sistim politik nya telah terbuka.. orang sepertinya tidak peduli lagi pada kebenaran. Kejujuran pun gak pernah menjadi keutamaan.
Di masa mendekati pemilu atau pilkada maupun pilpres yang sesuai siklus (UU), misalnya, kebohongan menjadi budaya untuk disebar-luaskan dengan berbagai sarana dan cara, dengan argumen mengacu pada kebenaran. 

Demikian pula dusta dan manipulasi membanjiri pikiran masyarakat. 
“Sampai di titik ini, saya jadi bingung”, apakah berpolitik harus seperti itu? Benarkah cara berprosesnya  politik itu dengan menerabas moral dan etika..entahlah, saya pikir kembali ke hati nurani masing-masing aja ya.

Memang betul kalau setiap momen politik itu menyediakan kesempatan, dan setiap kesempatan menyediakan peluang. Setiap peluang adalah keuntungan. Sesungguhnya politik adalah tanda dan sarana penyelamatan untuk mewujudkan kebaikan bersama bagi seluruh anggota masyarakat. Dan seharusnya dalam momen hingar bingar nya perpolitikan saat perhelatan pergantian kepemimpinan itu masing-masing individu yang ikut berpartisipasi politik tidak mengingkari jati dirinya alias gak perlu menyeret isu terkait SARA. Karena sejatinya Indonesia itu lahir dari keberagaman. Keberagaman itu keberkahan bagi NKRI.

Saya dan juga banyak orang akan  lega bahwa teman-teman selalu menghindari atau bahkan tidak mau ngomong agama sebagai alat bagi individu sebagai pembenaran politik  nya apalagi mengaitkan agama dengan politik.

Memang hidup tak lepas dari konflik. Konflik telah menjadi bagian yang wajar dan tak terelakkan dalam kehidupan manusia. 
Konflik dapat dipastikan akan selalu muncul selama manusia memiliki tujuan, kepentingan, dan pengejaran cita-cita yang berbeda dalam hidup.

Karena itu, seiring dengan berjalannya waktu manusia harus bergelut dengan isu-isu konflik kata RW Mark dan RC Snyder.

Konflik sering dikaitkan dengan konsep yang terkait dengan kepentingan antagonis, kesalahpahaman, persaingan, kepentingan dan tujuan yang secara logis tidak dapat didamaikan, ketegangan yang berlawanan, persaingan, manuver politik, dan perilaku sebuah permainan.

Meskipun semua perilaku dan sikap ini mungkin menyertai, mempengaruhi, dan memberikan sumber konflik.

Kata seorang pakar politik Inggris Andrew Heywood. "Kalau sudah berurusan dengan power, kekuasaan, maka akan terjadi konflik. Sebab, kekuasaan adalah sumber daya yang terbatas, sementara yang menginginkan banyak.” Benar juga ya..

Kalau kita mau belajar dan memahami tentang proses politik maka bahasa seorang Machiavelli dengan Sutan Syahrir pasti akan beda banget. 

Bahasa Machiavelli itu untuk “mendapatkan sesuatu”, maka semua kekuatan politik saling bersaing; alias menghalalkan segala cara.

Bahasanya Sutan Syahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia: "Politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri. 

Menurut Sjahrir, dalam politik hidup  dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan.

Meminjam istilahnya Hannah Arendt,  *politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia—seni  untuk dikenang oleh sesama warga negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasinya dalam membangun kehidupan bersama.  Jasa dan prestasi itu menandai kepedulian terhadap kehidupan bersama yang memberi bobot identitas politikus*.

Ini kiranya yang dalam filsafat politik disebut sebagai *political virtue*, dalam arti moral excellence. 
Dalam berpolitik moral tidak boleh dilupakan. 

Sebab, urusan politik  sejatinya adalah urusan moral. Karena itu, dalam dunia politik muncul istilah-istilah yang berkaitan dengan moral. Misalnya, *kesetiaan, integritas, dan dedikasi atau pengkhianatan*.

Sebelum tulisan ini diakhiri, kita bertanya pada diri sendiri:

Apakah, politik seperti yang diarti bahasakan oleh Sutan Sjahrir ini masih punya tempat hidup di negeri ini?

By: Aad (2401121)

0 komentar:

Post a Comment