Wednesday 27 January 2021

ADA MASALAH JILBAB DI ESEMKA PADANG

Kenapa beberapa tahun terakhir ini saja di Indonesia yang bilang jilbab itu kewajiban? Kenapa dulu-dulu orang tidak bicara kewajiban? Di zaman Belanda lalu ke zaman Jepang dan baru di tahun 80-an rame sampai pake ribut segala soal jilbab ini.

Sebenarnya,  yang percaya jilbab itu kewajiban silahkan, tapi jangan memaksakan orang harus pakai jilbab seperti kejadian di sekolah SMK negeri di Padang itu. 

Bukti bahwa ada pemaksaan ber jilbab ini adalah bentuk pemaksaan yang harus dihentikan. Bagi yang percaya itu budaya juga silahkan gak ada masalah kalau hal tersebut didasarkan rasa suka dan senang..ya silahkan. Gak usah jadi masalah apalagi dibawa bawa ke ranah politik.. kayaknya gak gitu juga.

Dalam sejarahnya, penggunaan hijab ini, baik dalam keyakinan Yahudi maupun Kristen, adalah simbol kesederhanaan dan kepantasan. Perintah penggunaan penutup kepala bagi perempuan itu seperti larangan mengenakan topi bagi laki-laki saat berada di dalam gereja (begitulah pesan Santo Paulus). Karena itu jika ada umat Kristen dan Yahudi kontemporer yang menolak hijab sebetulnya mereka telah mengingkari dan menolak asal-usul dan warisan sejarah dan tradisi agamanya sendiri. 

Lalu, bagaimana cerita hijab dalam sejarah Islam?

Menariknya, masyarakat Arab pada mulanya tidak mengenal tradisi hijab ini lho. Kebudayaan Byzantium dan Persi-lah yang memperkenalkan “budaya hijab” ini ke masyarakat Arab.

Mungkin karena dianggap sebagai “tradisi yang baik”, sejumlah agama kemudian mengadopsi “tradisi berhijab” ini menjadi bagian dari norma keagamaan. 

Memang jika kita mengkaji secara mendalam dengan perangkat keilmuan (bukan dengan keimanan) kita akan mendapatkan sejumlah tradisi atau kebudayaan masyarakat yang kemudian menjadi ajaran-ajaran normatif agama.

Dengan kata lain, ada budaya yang dinormakan atau “diagamakan.” Ada pula agama atau norma yang dibudayakan. Hijab adalah salah satu contoh dari budaya yang “dinormakan/diagamakan” tadi.

Pemerintah Arab Saudi sekarang 2021 tak mewajibkan penerapan peraturan mengenai busana Muslim dan aktivitas para perempuan tersebut. Bahkan, tidak ada larangan bagi wanita di Arab Saudi soal bagaimana mereka berpakaian dan mereka boleh tidak mengenakan busana Muslimah, seperti hijab, cadar, nikab atau burka. Katanya Arab Saudi masuk era modernisasi.

Kementerian Budaya dan Informasi Pemerintah Arab Saudi Khaleed A.A. Al Ghamdi, baru-baru ini di Riyadh mengatakan, adalah hak para wanita Arab Saudi untuk mengenakan busana yang mereka sukai.

Adakah hubungannya antara pakaian dan kesalehan, antara jubah atau jilbab dengan kebaikan, moralitas, dan perilaku seseorang? Jelas tidak. Itu hanya sehelai pakaian. Tidak kurang, tidak lebih. Karena itu keliru besar jika orang2 di Barat sana misalnya yang mengaitkan antara jubah & hijab dengan radikalisme, ekstremisme, anti-kemanusiaan dan seterusnya. 

Hal itu sama kelirunya dengan sebagian kaum Muslim di Indonesia yang menganggap orang Islam lain yang tidak berjubah & berjilbab itu sebagai Muslim kafir. Lebih konyol lagi jika ada yang beranggapan bahwa surga itu hanya untuk kaum Muslim yang berjubah dan berjilbab...( benar kah ? ).

Beragama itu tidak cukup hanya membaca ayat ini, hadis itu, perkataan ulama ini-itu, tanpa melihat konteks ayat, hadis, dan perkataan ulama tadi.

Segala sesuatu ada konteksnya. Setiap dalil ada sejarahnya. 

Begitu pula risalah tentang “hijab” ini: Ada sejarah dan konteknya. Jika umat Islam membaca dengan teliti dan seksama diiringi dengan pemahaman sosial-kesejarahan, maka kita akan tahu bahwa sesungguhnya tidak ada “juklak” dan “juknis” mengenai berhijab ini.

Dulu tahun 70 sampai 80 waktu penulis di Padang, pelajar di Padang tidak ada menggunakan hijab dan sejenisnya sebagai pelengkap seragam sekolah tapi seragam tersebut menutup aurat, yang penulis ingat hari Jumat, pelajar perempuan wajib mengenakan baju kurung dan selempang kerudung.




Orang tua dan saudara penulis serta keluarga para ulama tetap menggunakan pakaian yang sederhana dan menutup kepala mereka dengan selendang kain. Dan jika sholat ibu dan saudara perempuan ku tetap menggunakan mukena dan kain sarung yang bersih.

Begitu juga dengan ayah dan kakak lelaki penulis memakai kain sarung dan kopiah hitam kalau pergi sholat ke mesjid atau surau. Dan ada yang pakai celana pantofel / kain untuk melakukan shalat..dengan baju yang dilapis jas dan memakai syal bila sholat subuh, kalau masalah jenggot tergantung pribadi masing-masing mereka gak pernah pakai abaya atau celana cingkrang seperti yang saya lihat sekarang.. penulis berpikir bahwa pakaian yang dipakai itu bersih dari najis dan menutup aurat maka semua itu memenuhi syarat melakukan sholat.sederhana sekali tapi tidak mengurangi nilai ibadah sholat tersebut.

Jadi kalau tidak mengguna
kan hijab dikatakan tidak menghormati budaya daerah kayaknya gak nyambung juga ya, sebab pakaian tradisional Minangkabau tidak ada jilbabnya. Karena pakaian tradisional Minangkabau yang dikenakan umumnya berbentuk kerudung yang terkancing rapi menutupi tubuh yang menggunakan nya serta kerudung.

Kembali ke soal budaya berpakaian atau berhijab itu adalah soal keyakinan dan hak pribadi masing-masing ... Bagi yang percaya itu budaya juga silahkan gak ada masalah kalau hal tersebut didasarkan rasa suka dan senang...bagi yang gak suka silahkan. Prinsipnya jagalah aurat kalian, pakaian itu mencerminkan siapa pemakainya...

By :ae



0 komentar:

Post a Comment