“(Jiwa) yang Baik” ,Dalam Apologia, Socrates, diceritakan dia mengajukan pembelaannya atas
tuduhan-tuduhan para penuduhnya di hadapan para dewan. Dalam usahanya itu, ia
memberikan pembelaan yang boleh dikata menjebol kebekuan manusia yang cenderung
puas diri dalam kesempitan cara berpikir (dan karenanya juga melukai cita rasa
publik bahkan juga cita rasa religius elit masyarakat pada waktu itu).
Akibatnya jelas bahwa ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Kematian Socrates
adalah kematian demi kebenaran. Kebenaran di sini tak lain adalah
kebijaksanaan, yang dalam konteks Yunani kuno berarti pengetahuan. Bagi
Socrates sendiri, pengetahuan itu berarti adalah pengetahuan akan “yang baik“.
Adapun “yang baik“ itu adalah eudaimonia (Yun.) yang sering diterjemahkan
sebagai kebahagiaan. Yang dimaksud Socates ini bukan sekadar kebahagiaan
tetapi memiliki arti yang lebih dalam, yaitu sebagai suatu paham eksistensial
yang menunjuk pada keadaan objektif, yakni berkembangnya seluruh aspek atau
dimensi kemanusiaan seorang individu. Dengan paham ini maka jelaslah bahwa
tujuan hidup manusia itu tak lain adalah membuat dirinya atau jiwanya
berkembang secara menyeluruh dan sebaik mungkin. Dan “yang baik” itu dalam
tataran spiritualitas Socrates adalah Tuhan sang kesempurnaan kebijaksanaan.
Manusia musti memikirkan “yang baik“ itu, mencarinya, memahaminya,
menghayatinya, dan melakukannya. Jika orang memiliki keutamaan ini, tentunya
akan melakukan yang baik. Sebagai contoh, apabila orang tahu apa artinya
tolong-menolong maka dalam hidupnya tolong-menolong inilah yang hendaknya
terjadi atau ditindak kan dalam kehidupan ini. Baginya ( Socrates ) ketika orang
tahu yang baik itu maka sudah barang tentu dia berlaku baik, oleh karena itu
menurut Socrates kejahatan itu identik dengan ketidaktahuan.
Pemikiran yang sedemikian ini membawa serta konsekuensi-konsekuensi yang sering
tidak mengenak kan bagi mereka (misalnya: kesukaran-kesukaran, ketakutan, rasa
malu, dsb.), apabila seseorang ingin dengan sungguh-sungguh mencari dan
menindak kan “yang baik” tersebut. Orang di sini bertemu dengan yang namanya
realitasnya, al. realitas kehadirannya, realitas kehadiran sesamanya, realitas
tatanan hidup bersama dengan sesamanya, realitas dunia dimana ia berada,
realitas relasi nya dengan dunia, realitas Tuhannya dan realitas relasi nya
dengan Tuhan dalam hidupnya, dan realitas segala sesuatu yang ambil bagian di
dalamnya.
Berhadapan dengan segala realitas di atas, belum tentu manusia mampu untuk
memahaminya, karena memang tidak mudah. Butuh yang namanya keberanian untuk
menghadapi itu semua di samping penggerak lain yaitu “yang baik“. Ini penting!
Mengapa? Usaha menggapai kebijaksanaan itu sekali lagi riskan dan bahkan
berbahaya.
Akhir tulisan ini kupikir bahwa . Kematian atau lebih tepatnya kematian
Socrates ini membawa siapa saja yang merenungkannya kepada kesadaran akan
pentingnya “yang baik” yang ada dalam kehidupan ini. Sederhana namun sering
terhalang oleh pikiran-pikiran sempit yang malah terkadang mengaburkan
maknanya, lantaran tidak pernah direfleksikan secara mendalam.
Kepuasan dan kenyamanan dengan hanya memperoleh bayangan semu dari “yang baik”
ini bukanlah suatu yang patut diteruskan karena hanya akan membawa hidup ini
pada pendangkalan dan bukannya pada perkembangan jiwa yang baik, yakni jiwa
yang selalu mengembara, mencari, dan menemukan kebijaksanaan sejati.
Inilah kepalsuan yang menurut Socrates harus dihindari…..
Socrates berpendapat, bahwa dalam mencari kebenaran itu ia tidak
memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan
tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya,
melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran
harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan,
melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sebab itu metodenya disebut maieutik. Socrates mencari
kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan
dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan
definisi.
Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi yang menjadi metode
Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai
dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi.
(Dari berbagai sumber)
0 komentar:
Post a Comment