Tuesday, 18 August 2015

“(Jiwa) yang Baik”

“(Jiwa) yang Baik” ,Dalam Apologia, Socrates, diceritakan dia mengajukan pembelaannya atas tuduhan-tuduhan para penuduhnya di hadapan para dewan. Dalam usahanya itu, ia memberikan pembelaan yang boleh dikata menjebol kebekuan manusia yang cenderung puas diri dalam kesempitan cara berpikir (dan karenanya juga melukai cita rasa publik bahkan juga cita rasa religius elit masyarakat pada waktu itu). 

Akibatnya jelas bahwa ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Kematian Socrates adalah kematian demi kebenaran. Kebenaran di sini tak lain adalah kebijaksanaan, yang dalam konteks Yunani kuno berarti pengetahuan. Bagi Socrates sendiri, pengetahuan itu berarti adalah pengetahuan akan “yang baik“. 


Adapun “yang baik“ itu adalah eudaimonia (Yun.) yang sering diterjemahkan sebagai kebahagiaan. Yang dimaksud Socates ini bukan sekadar kebahagiaan tetapi memiliki arti yang lebih dalam, yaitu sebagai suatu paham eksistensial yang menunjuk pada keadaan objektif, yakni berkembangnya seluruh aspek atau dimensi kemanusiaan seorang individu. Dengan paham ini maka jelaslah bahwa tujuan hidup manusia itu tak lain adalah membuat dirinya atau jiwanya berkembang secara menyeluruh dan sebaik mungkin. Dan “yang baik” itu dalam tataran spiritualitas Socrates adalah Tuhan sang kesempurnaan kebijaksanaan. 



Manusia musti memikirkan “yang baik“ itu, mencarinya, memahaminya, menghayatinya, dan melakukannya. Jika orang memiliki keutamaan ini, tentunya akan melakukan yang baik. Sebagai contoh, apabila orang tahu apa artinya tolong-menolong maka dalam hidupnya tolong-menolong inilah yang hendaknya terjadi atau ditindak kan dalam kehidupan ini. Baginya ( Socrates ) ketika orang tahu yang baik itu maka sudah barang tentu dia berlaku baik, oleh karena itu menurut Socrates kejahatan itu identik dengan ketidaktahuan. 



Pemikiran yang sedemikian ini membawa serta konsekuensi-konsekuensi yang sering tidak mengenak kan bagi mereka (misalnya: kesukaran-kesukaran, ketakutan, rasa malu, dsb.), apabila seseorang ingin dengan sungguh-sungguh mencari dan menindak kan “yang baik” tersebut. Orang di sini bertemu dengan yang namanya realitasnya, al. realitas kehadirannya, realitas kehadiran sesamanya, realitas tatanan hidup bersama dengan sesamanya, realitas dunia dimana ia berada, realitas relasi nya dengan dunia, realitas Tuhannya dan realitas relasi nya dengan Tuhan dalam hidupnya, dan realitas segala sesuatu yang ambil bagian di dalamnya. 



Berhadapan dengan segala realitas di atas, belum tentu manusia mampu untuk memahaminya, karena memang tidak mudah. Butuh yang namanya keberanian untuk menghadapi itu semua di samping penggerak lain yaitu “yang baik“. Ini penting! Mengapa? Usaha menggapai kebijaksanaan itu sekali lagi riskan dan bahkan berbahaya. 


Akhir tulisan ini kupikir  bahwa . Kematian atau lebih tepatnya kematian Socrates ini membawa siapa saja yang merenungkannya kepada kesadaran akan pentingnya “yang baik” yang ada dalam kehidupan ini. Sederhana namun sering terhalang oleh pikiran-pikiran sempit yang malah terkadang mengaburkan maknanya, lantaran tidak pernah direfleksikan secara mendalam. 


Kepuasan dan kenyamanan dengan hanya memperoleh bayangan semu dari “yang baik” ini bukanlah suatu yang patut diteruskan karena hanya akan membawa hidup ini pada pendangkalan dan bukannya pada perkembangan jiwa yang baik, yakni jiwa yang selalu mengembara, mencari, dan menemukan kebijaksanaan sejati.

Inilah kepalsuan yang menurut Socrates harus dihindari…..

Socrates berpendapat, bahwa dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.

Sebab itu metodenya disebut maieutik. Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi.

Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi.


(Dari berbagai sumber)

0 komentar:

Post a Comment