Saya
menulis sebuah status :
“Kadang
sesuatu yang dianggap benar oleh orang lain, terasa tidak benar untuk kita. Pun
sebaliknya yang kita anggap benar, terasa salah untuk orang lain. Kalau sudah
seperti ini bagaimana untuk menentukan siapa yang benar...???
Saya meyakini kebenaran mutlak hanya ada di kitab suci, sedang setiap
manusia punya keleluasaan memilih kebenaran yang paling sesuai dengan
intepretasi dan perspektifnya tanpa harus mempertanyakan kebenaran siapa paling
benar.
Kebenaran sejati untuk kita adalah yang memenuhi syarat: dipahami
akal, diyakini hati dan disetujui jiwa. Kebenaran yang mengejawantah pada
gilirannya haruslah dapat menciptakan kebiasaan, perilaku dan gaya hidup yang
baik dan membawa kebaikan.
Menyadari bahwa kita dan manusia lain tidak akan pernah mengorbit di existence
track yang sama, karena sesungguhnya manusia tidak ada yang kongruen satu
samalain. Maka kita boleh belajar dari kebenaran orang lain dan membiasakan
diri untuk mampu saling mengingatkan dan menguatkan. Namun tetap memberi ruang
pada diri sendiri dan siapapun untuk terus berkembang menjadikan pribadi sejati
yang tumbuh semakin baik.”
Sebagaimana prediksi, status ini segera mengundang uraian Kebenaran Tekstual
dari Kitab Suci di boks komentarnya:
“Kebenaran
itu hanya yang datang dari Tuhan ( QS. AlBaqarah: 184 & Ali Imran: 60),
bukan berdasarkan keinginan/hawa nafsu masing-masing (QS. AlMaidah: 48).
Oleh karena itu kebenaran akal, hati, jiwa bersifat relatif tidak dapat diikuti
jika bertentangan dengan kebenaran yang mutlak dari Pemilik kebenaran…”
Maka saya pun memberanikan diri melakukan penjabaran, tentang pentingnya
meyakini kebenaran akal, hati dan jiwa dalam menemukan kebenaran kontekstuald
alam kehidupan yang tengah kita jalani. Agar kebenaran tekstual yang sebetulnya
tak terbantahkan dapat benar-benar terinternalisasi dalam kehidupan. Bukan
hanya menjadi slogan yang kian hari semakin terdengar klise tergerus masa
karena terbatasnya upaya internalisasi dan serbuan doktrinasi yang tujuannya
mengkonstelasi belenggu rasa ‘takut salah’ secara tidak proporsional demi
melestarikan paham tertentu.
Kebenaran akal, hati, dan jiwa memang relatif karena sangat kontekstual di
kehidupan manusia yang tercipta dengan segala kreativitas Maha KaryaNya.
Tetapi, jika saja ketiga modal inner strength manusia ini bersepakat akan
sebuah kebenaran maka biasanya jika dicari dengan teliti akan ditemukan sumber
hakiki kebenarannya di Kitab Suci. Karena pada dasarnya Nurani yang bersemayam
di Jiwa kita tak kan pernah sependapat dengan akal dan hati, jika kebenaran
yang diikuti Naluri bertentangan dengan kebenaran hakiki. Meskipun Nurani tak
selamanya menang atas Naluri dalam setiap situasi yang dialami manusia, namun
di akhir kisah saat kebeningan datang Nurani akan kembali menggandeng Naluri
untukmencari jalan menuju kebenaran yang hakiki. Saat itulah kebenaran tekstual
terinternalisasi dalam satu kebenaran kontekstual yang akan selamanya menjadi
pegangan manusia yang berhasil memahaminya.
Been There, Done That... So many time...
Kebenaran hakiki akan senantiasa mengajak kita kembali, perjalanan menuju
kebenaran hakiki memuat pelajaran yang sangat berharga. Lebih dari jika kita hanya
mengikuti kebenaran yang ditemukan, dianut dan dibicarakan orang lain. Karena
sejatinya secara fitrah setiap jiwa berkoneksi dengan 'Source'nya, Sang Pemilik
Kebenaran. Hanya kualitas koneksi itu yang tak selamanya bebas hambatan tanpa
batas. Sesungguhnya, mendengarkan, mengikuti dan memahami kebenaran dalam diri
akan mengasah kemampuan kita membeningkan koneksi dengan Sumber Segala
Kebenaran.
Bagamaina
nasib keinginan (will) dan hawa nafsu (passion)…???
Sesungguhnya keduanya adalah komponen penting yang membangun ‘manusia’ di dalam
diri. Karena gairah membangun kehidupan akan terbangkitkan sebagai hasil
kolaborasi antara keinginan (will) dan hawa nafsu (passion). Pada tataran yang
benar keinginan dan hawa nafsu akan membawa kita pada kualitas hidup yang
optimal. Mengapa manusia mudah dibuat begitu takut pada keinginan dan hawa
nafsunya sendiri.
Sedang Allah menciptakan keinginan dan hawa nafsu dalam Naluri sebagai pemandu
kita mencapai kualitas hidup yang semakin baik. Maha Benar Allah pun melengkapi
‘manusia’ di dalam diri dengan Nurani untuk memastikan kita tetap terkoneksi
dengan The Source. Allah pun mengharuskan setiap hambanya untuk menjalankan
ritual yang kan menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar. Allah pun
melengkapi kita dengan demikian banyak bacaan dan doa yang kan menjauhkan kita
dari kesia-siaan.
Pernahkah kita membayangkan hidup tanpa adanya keinginan dan hawa nafsu…???
Menahan keinginan dan hawa nafsu yang membangun atas dasar 'takut' pada Allah
akan menjauhkan kita dari membangkitkan gairah membangun kehidupan lewat
menemukan kesejatian peran. Sesungguhnya kita perlu takut pada Allah
karena menutup mata dan telinga dari Naluri yang diberikanNya pada fitrah kita
sebagai manusia, sama takutnya dengan jika kita terbawa keinginan dan hawa
nafsu pada kebutuhan untuk mengumbarnya.
Hidup itu tentang Harmoni. Penting bagi kita menemukan keseimbangan dalam
membangun diri demi menempatkan posisi kita sesuai peran sejati. Takdir
haruslah kita baca dan terjemahkan, lewat menemukan kebenaran itu di dalam
diri. Akal, hati dan jiwa akan membawa kita melalui tempat yang harus kita
lewati sebelummencapai tujuan tertinggi. Hukumnya wajib bagi kita untuk
senantiasa mengkalibrasi setiap kebenaran yang kita temukan dan yakini dalam
perjalanan kehidupan agar tidak bertentangan dengan kebenaran yang hakiki.
Maha Benar Allah dalam setiap FirmanNya, itu tak terbantahkan. Maka mari
sama-sama kita akui Maha Kerdil manusia yang tidak berusaha untuk memahami arti
FirmanNya bagi kehidupan di dalam diri kita. Percaya saja pada apapun
kata manusia lain. Sedangkan guru terbaik bukan dia yang menunjukkan jalan
kebenaran, melainkan dia yang berhasil mengakomodasi murid-muridnya untuk
menemukan kebenaran mereka sendiri. Kebenaran Kitab Suci tidak boleh hanya
dimengerti secara tekstual, perlu dilanjutkan dengan analisis kontekstual lewat
internalisasi setiap kebenaran.
Hingga menjadi Khalifah di muka bumi bukan lagi kata-kata klise yang semakin
buram maknanya. Kekhalifahan seorang manusia ditentukan dengan kemampuannya
menerjemahkan kebenaran dalam mengenali spesifikasi dirinya, yang pada
gilirannya menghasilkan kebutuhan untuk berbuat kebaikan di alam semesta sesuai
dengan spesifikasi tersebut. Adapun analisis spesifikasi bagi manusia tidak
mungkin dilakukan tanpa melibatkan analisis keinginan (will) dan hawa nafsu
(passion). Agama, Kitab Suci dan Kebenaran Ilahi sejatinya adalah peta dan
kompas untuk menemukan jalan mendaki tujuan akhir. Sedang akal, hati dan jwa
adalah GPS yang akan menunjukkan rute yang harus kita tempuh.
Berdasar pengalaman hidup, kebenaran yang kita temukan dari mempelajari
kesalahan akan tertanam di dasar hati dan kita terhindar dari kesalahan yang
sama. Setiap manusia sejatinya perlu punya keberanian untuk menyatakan
kebenaran mereka tanpa perlu bersembunyi di balik kebenaran tekstual di kitab
suci. Manusia perlu melakukannya dengan pengetahuan dan pengalaman mereka,
dikombinasi dengan anilisis kebenaran ayat-ayat Allah yang bertaburan di
semesta menggunakan akal, hati dan jiwa. Hingga bertemu dengan kebenaran
kontekstual. Kemudian dilanjutkan dengan membedah dan membandingkan kebenaran
kontekstual itu dengan kebenaran tekstual. Barulah manusia akan bisa dengan
jelas memahami bagaimana kitab suci sudah memuat setiap prinsip kebenaran yang
bertaburan di jagat raya tanpa manusia harus berbantahan tentangnya.
Konsistensi kita pada kebenaran tak boleh lekang tergerus zaman. Kitapun perlu
punya keberanian untuk mengakui pada diri bahwa kebenaran yang kita punya
memang sangat relatif. Maka jika tiba saatnya kebenaran yang lebih tinggi
datang menghampiri kesadaran kita, maka wajib bagi kita untuk mengupgrade
kebenaran versi sebelumnya, hingga akhirnya kita mencapai kebenaran hakiki yang
tersurat pada kebenaran tekstual di dalam Kitab Suci. Bahkan pemahaman kita
atas sebuah teks dalam kitab suci akan berkembang seiring dengan semakin
dekatnya kita pada Sumber Kebenaran yang Hakiki. Tanpa melakukan upgrading
terus menerus semacam ini, manusia hanya akan bisa bernyanyi tentang kebenaran
kitab suci tanpa penghayatan. Karena gagal merasakan seberapa benar kebenaran
itu bagi kehidupannya.
Live the life
at the most, then make heaven a place on earth...
Itu tugas manusia...
Semoga…
share from; Arifah
Handayani/ facebook.com/notes.
0 komentar:
Post a Comment