Monday 20 July 2015

Kebenaran Kontekstual, Identifikasi Keinginan (Will) dan Hawa Nafsu (Passion)...

Saya menulis sebuah status :

“Kadang sesuatu yang dianggap benar oleh orang lain, terasa tidak benar untuk kita. Pun sebaliknya yang kita anggap benar, terasa salah untuk orang lain. Kalau sudah seperti ini bagaimana untuk menentukan siapa yang benar...??? 


Saya meyakini kebenaran mutlak hanya ada di kitab suci, sedang setiap manusia punya keleluasaan memilih kebenaran yang paling sesuai dengan intepretasi dan perspektifnya tanpa harus mempertanyakan kebenaran siapa paling benar. 



Kebenaran sejati untuk kita adalah yang memenuhi syarat: dipahami akal, diyakini hati dan disetujui jiwa. Kebenaran yang mengejawantah pada gilirannya haruslah dapat menciptakan kebiasaan, perilaku dan gaya hidup yang baik dan membawa kebaikan. 


Menyadari bahwa kita dan manusia lain tidak akan pernah mengorbit di existence track yang sama, karena sesungguhnya manusia tidak ada yang kongruen satu samalain. Maka kita boleh belajar dari kebenaran orang lain dan membiasakan diri untuk mampu saling mengingatkan dan menguatkan. Namun tetap memberi ruang pada diri sendiri dan siapapun untuk terus berkembang menjadikan pribadi sejati yang tumbuh semakin baik.”




Sebagaimana prediksi, status ini segera mengundang uraian Kebenaran Tekstual dari Kitab Suci di boks komentarnya:

“Kebenaran itu hanya yang datang dari Tuhan ( QS. AlBaqarah: 184 & Ali Imran: 60),  

bukan berdasarkan keinginan/hawa nafsu masing-masing (QS. AlMaidah: 48).  
Oleh karena itu kebenaran akal, hati, jiwa bersifat relatif tidak dapat diikuti jika bertentangan dengan kebenaran yang mutlak dari Pemilik kebenaran…”




Maka saya pun memberanikan diri melakukan penjabaran, tentang pentingnya meyakini kebenaran akal, hati dan jiwa dalam menemukan kebenaran kontekstuald alam kehidupan yang tengah kita jalani. Agar kebenaran tekstual yang sebetulnya tak terbantahkan dapat benar-benar terinternalisasi dalam kehidupan. Bukan hanya menjadi slogan yang kian hari semakin terdengar klise tergerus masa karena terbatasnya upaya internalisasi dan serbuan doktrinasi yang tujuannya mengkonstelasi belenggu rasa ‘takut salah’ secara tidak proporsional demi melestarikan paham tertentu.


Kebenaran akal, hati, dan jiwa memang relatif karena sangat kontekstual di kehidupan manusia yang tercipta dengan segala kreativitas Maha KaryaNya.  Tetapi, jika saja ketiga modal inner strength manusia ini bersepakat akan sebuah kebenaran maka biasanya jika dicari dengan teliti akan ditemukan sumber hakiki kebenarannya di Kitab Suci. Karena pada dasarnya Nurani yang bersemayam di Jiwa kita tak kan pernah sependapat dengan akal dan hati, jika kebenaran yang diikuti Naluri bertentangan dengan kebenaran hakiki. Meskipun Nurani tak selamanya menang atas Naluri dalam setiap situasi yang dialami manusia, namun di akhir kisah saat kebeningan datang Nurani akan kembali menggandeng Naluri untukmencari jalan menuju kebenaran yang hakiki. Saat itulah kebenaran tekstual terinternalisasi dalam satu kebenaran kontekstual yang akan selamanya menjadi pegangan manusia yang berhasil memahaminya.


Been There, Done That... So many time... 



Kebenaran hakiki akan senantiasa mengajak kita kembali, perjalanan menuju kebenaran hakiki memuat pelajaran yang sangat berharga. Lebih dari jika kita hanya mengikuti kebenaran yang ditemukan, dianut dan dibicarakan orang lain. Karena sejatinya secara fitrah setiap jiwa berkoneksi dengan 'Source'nya, Sang Pemilik Kebenaran. Hanya kualitas koneksi itu yang tak selamanya bebas hambatan tanpa batas. Sesungguhnya, mendengarkan, mengikuti dan memahami kebenaran dalam diri akan mengasah kemampuan kita membeningkan koneksi dengan Sumber Segala Kebenaran.


Bagamaina nasib keinginan (will) dan hawa nafsu (passion)…???


Sesungguhnya keduanya adalah komponen penting yang membangun ‘manusia’ di dalam diri. Karena gairah membangun kehidupan akan terbangkitkan sebagai hasil kolaborasi antara keinginan (will) dan hawa nafsu (passion). Pada tataran yang benar keinginan dan hawa nafsu akan membawa kita pada kualitas hidup yang optimal. Mengapa manusia mudah dibuat begitu takut pada keinginan dan hawa nafsunya sendiri. 



Sedang Allah menciptakan keinginan dan hawa nafsu dalam Naluri sebagai pemandu kita mencapai kualitas hidup yang semakin baik. Maha Benar Allah pun melengkapi ‘manusia’ di dalam diri dengan Nurani untuk memastikan kita tetap terkoneksi dengan The Source. Allah pun mengharuskan setiap hambanya untuk menjalankan ritual yang kan menghindarkan kita dari perbuatan keji dan mungkar. Allah pun melengkapi kita dengan demikian banyak bacaan dan doa yang kan menjauhkan kita dari kesia-siaan.



Pernahkah kita membayangkan hidup tanpa adanya keinginan dan hawa nafsu…???



Menahan keinginan dan hawa nafsu yang membangun atas dasar 'takut' pada Allah akan menjauhkan kita dari membangkitkan gairah membangun kehidupan lewat menemukan kesejatian peran.  Sesungguhnya kita perlu takut pada Allah karena menutup mata dan telinga dari Naluri yang diberikanNya pada fitrah kita sebagai manusia, sama takutnya dengan jika kita terbawa keinginan dan hawa nafsu pada kebutuhan untuk mengumbarnya.



Hidup itu tentang Harmoni. Penting bagi kita menemukan keseimbangan dalam membangun diri demi menempatkan posisi kita sesuai peran sejati. Takdir haruslah kita baca dan terjemahkan, lewat menemukan kebenaran itu di dalam diri. Akal, hati dan jiwa akan membawa kita melalui tempat yang harus kita lewati sebelummencapai tujuan tertinggi. Hukumnya wajib bagi kita untuk senantiasa mengkalibrasi setiap kebenaran yang kita temukan dan yakini dalam perjalanan kehidupan agar tidak bertentangan dengan kebenaran yang hakiki. 



Maha Benar Allah dalam setiap FirmanNya, itu tak terbantahkan. Maka mari sama-sama kita akui Maha Kerdil manusia yang tidak berusaha untuk memahami arti FirmanNya bagi kehidupan di dalam diri kita.  Percaya saja pada apapun kata manusia lain. Sedangkan guru terbaik bukan dia yang menunjukkan jalan kebenaran, melainkan dia yang berhasil mengakomodasi murid-muridnya untuk menemukan kebenaran mereka sendiri. Kebenaran Kitab Suci tidak boleh hanya dimengerti secara tekstual, perlu dilanjutkan dengan analisis kontekstual lewat internalisasi setiap kebenaran. 



Hingga menjadi Khalifah di muka bumi bukan lagi kata-kata klise yang semakin buram maknanya. Kekhalifahan seorang manusia ditentukan dengan kemampuannya menerjemahkan kebenaran dalam mengenali spesifikasi dirinya, yang pada gilirannya menghasilkan kebutuhan untuk berbuat kebaikan di alam semesta sesuai dengan spesifikasi tersebut. Adapun analisis spesifikasi bagi manusia tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan analisis keinginan (will) dan hawa nafsu (passion). Agama, Kitab Suci dan Kebenaran Ilahi sejatinya adalah peta dan kompas untuk menemukan jalan mendaki tujuan akhir. Sedang akal, hati dan jwa adalah GPS yang akan menunjukkan rute yang harus kita tempuh.



Berdasar pengalaman hidup, kebenaran yang kita temukan dari mempelajari kesalahan akan tertanam di dasar hati dan kita terhindar dari kesalahan yang sama. Setiap manusia sejatinya perlu punya keberanian untuk menyatakan kebenaran mereka tanpa perlu bersembunyi di balik kebenaran tekstual di kitab suci. Manusia perlu melakukannya dengan pengetahuan dan pengalaman mereka, dikombinasi dengan anilisis kebenaran ayat-ayat Allah yang bertaburan di semesta menggunakan akal, hati dan jiwa. Hingga bertemu dengan kebenaran kontekstual. Kemudian dilanjutkan dengan membedah dan membandingkan kebenaran kontekstual itu dengan kebenaran tekstual. Barulah manusia akan bisa dengan jelas memahami bagaimana kitab suci sudah memuat setiap prinsip kebenaran yang bertaburan di jagat raya tanpa manusia harus berbantahan tentangnya.



Konsistensi kita pada kebenaran tak boleh lekang tergerus zaman. Kitapun perlu punya keberanian untuk mengakui pada diri bahwa kebenaran yang kita punya memang sangat relatif. Maka jika tiba saatnya kebenaran yang lebih tinggi datang menghampiri kesadaran kita, maka wajib bagi kita untuk mengupgrade kebenaran versi sebelumnya, hingga akhirnya kita mencapai kebenaran hakiki yang tersurat pada kebenaran tekstual di dalam Kitab Suci. Bahkan pemahaman kita atas sebuah teks dalam kitab suci akan berkembang seiring dengan semakin dekatnya kita pada Sumber Kebenaran yang Hakiki. Tanpa melakukan upgrading terus menerus semacam ini, manusia hanya akan bisa bernyanyi tentang kebenaran kitab suci tanpa penghayatan. Karena gagal merasakan seberapa benar kebenaran itu bagi kehidupannya.



Live the life at the most, then make heaven a place on earth... 

Itu tugas manusia...


Semoga…


share from; Arifah Handayani/ facebook.com/notes.  

0 komentar:

Post a Comment