Thursday 28 July 2011

Nasehat Ayah..

Anakku yang di sayang Allah,
Tidak mudah bagi ayah menuliskan dan menjawab sesuatu yang menjadi pegangan dan harapan menyangkut masa depan anaknya, terutama hal pernikahan, apalagi menyangkut kegiatan menghimpun dua keluarga karena pernikahan secara budaya berbeda pemahamannya, itupun kalau kita disebut orang yang berbudaya. Tapi walaupun begitu kita tidak membicarakan soal budaya..kita hanya merumuskan pemikiran dan pengalaman Ayah ditinjau dari sisi agama saja dan itupun hanya semampu yang ayah pahami…pemahaman ini perlu penyesuaian kematangan berpikir orang tua tentunya….tidak asal menafsirkan dan menterjemahkan tapi jelas sistematika pemikiran didasari ilmu dan pengalaman saat mengarungi samudera perkawinan hampir 25 tahun yang lalu dengan segala pahit getirnya maupun kebahagiaan yang dialami..terutama sisi derajat hidup di hadapan ALLAH Subhanahuwataala Pemilik Alam Semesta. Pernikahan adalah sunah Rasulullah. Banyak sekali sunah Rasulullah yang menjelaskan keutamaan pernikahan. 
Rasulullah pun bersabda,”Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang telah mampu untuk kawin maka hendaklah kawin, karena kawin itu lebih baik dapat memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu kawin, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu akan jadi perisai baginya.” (HR bukhari dan Muslim)
Anakku yang di sayang Allah.
Kesiapan seorang pemuda tidak semata-mata ditilik dari sisi usia. Ada banyak sisi yang mesti disiapkan agar jenjang pernikahan itu menjadi ibadah yang melejitkan derajat kita di mata Allah. Sehingga pernikahan yang barokah itu tidak diselingi dengan problem-problem yang mestinya selesai sebelum pernikahan itu dijalani. Tolak ukur dan standar kesiapan pernikahan (mampu kawin) itu pun tak dapat diukur dengan angka matematika. Bisa dimulai dari persiapan mental-psikologis maupun persiapan konseptual dan tentu saja bagi laki-laki persiapan ekonomi. Persiapan ekonomi tak berarti harus kaya harta, tetapi janganlah seorang laki-laki menganggur sehingga menelantarkan keluarganya.
Suami adalah pemimpin keluarga atau katakanlah unit terkecil dari keluarga adalah suami dan istri, atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung dibawah satu rumah tangga.
Unit ini memerlukan pimpinan, dan dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak.
Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri) (QS Al-Nisa' [4]: 34).
Ada dua alasan yang dikemukakan lanjutan ayat diatas berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu:
a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan
b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk      istri/keluarganya).
Alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah di balik setiap kewajiban ada hak? Bukankah
yang membayar memperoleh fasilitas? So pasti akang..
Adapun alasan pertama, maka ini berkaitan dengan faktor psikis lelaki dan perempuan.
Sementara psikolog berpendapat bahwa perempuan berjalan di bawah bimbingan perasaan, sedang lelaki di bawah pertimbangan akal.
Walaupun kita sering mengamati bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki dalam hal kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya.


Keistimewaan utama wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Keistimewaan ini amat diperlukan dalam memelihara anak. Sedang keistimewaan utama lelaki adalah konsistensinya serta kecenderungannya berpikir secara praktis.
Keistimewaan ini menjadikan ia diserahi tugas kepemimpinan rumah tangga.
Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi para suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka (para istri)". (QS A1-Baqarah [2]: 228).
Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis Syaikh Al-Mufasirin (Guru besar para penafsir) ImamAth-Thabari,
"Walau ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu."
Imam Al-Ghazali menulis, "Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahannya."
"Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain.
Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah, dan dalam
kedudukannya seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya
(istrinya) yaitu memberi nafkah kebutuhan sehari hari dan kebutuhan bathin. Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi." Demikian lebih kurang tulis Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi.
Sekali lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil.seperti kesanggupan memberi nafkah lahir.

Nah….anakku, maka bila kamu merasa telah siap untuk menikah (mampu kawin), kuatkanlah azzam atau keinginan itu dengan langkah-langkah nyata yang membuktikan bahwa kesiapan itu tidak kesiapan yang asal ucap.
Misalnya saja mulai dari ’ishlahun nafs’ atau perbaikan diri, kemudian konseptual penyelesaian study dan kesiapan ekonomi yaitu persiapan biaya nikah tahapan awal dalam konteks perkawinan adalah mahar, suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya dan biaya berumah tangga (maaf, tidak mengandalkan biaya hidup dari keluarga).
Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah.
Anakku yang di sayang Allah.
Dalam konteks perkawinan adalah mahar. Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar. Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS , A1-Nisa' [4]: 4).
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah. 

Tentang jodoh, darimana ia datang? Tentunya ini rahasia Allah. Dan rahasia Allah ini bisa kita dekati dengan amal-amal nyata yang membuktikan kita memang layak dikategorikan Allah sebagaimana …QS An Nur ayat 26, ”Lelaki yang baik untuk perempuan yang baik….” Sebagai manusia, usaha kita harus maksimal dan tidak mudah menyerah, baru setelahnya kita serahkan keputusan yang terbaik menurutNya. Begitu pun orang yang berusia tua namun tak juga menikah, apakah ia menyalahi fitrahnya? Wallahu alam, semua tergantung kepada niat, azzam, amal dan usaha yang maksimal dan ketergantungannya secara penuh kepada Allah…

By: EM

0 komentar:

Post a Comment