Thursday 1 August 2013

Ada kesabaran yang aku pertahankan.tapi di dalam hati ku,menangis....

Tulisan dan rangkaian kalimat pada catatan kali ini, ku awali dengan linangan air mata..Yaaah, karena aku telah menangis sebelum menulis di halaman ini. Aku menangis, karena aku pengen, itu saja. Dan kini, tetes bening hangat kehidupan masih tersisa di pipi ku. Sesekali, ia menderas, lalu berkurang lagi. Dan begitulah seterusnya. Ada beberapa bulir yang masih mengayut, menghangatkan pipi ku. Sedih, banget!
Entahlah, aku benar-benar dalam kondisi sangat bersedih, saat ini. Entah mengapa..mood is falling down.
Padahal, aku pikir tiada masalah apa-apa. Lalu, mengapa aku menangis, tiba-tiba tanpa aku menyadarinya?


Baiklah teman…
Pada awal tulisan ini, aku kembali tersedu. Sedangkan tetesan air mata yang mengalir di pipi ku makin membuncah lagi.
Mata ku mulai agak buram saat memandang dan melihat kata demi kata pada display ini mulai mengembang.
Makanya, aku menyeka kedua mata ku yang semakin basah.

Sebelum menyampaikan apa yang aku ingin sampaikan, “Aku bermohon kepada Allah Yang Maha Pengampun, untuk mengampuni segala kesalahan ku. Astaghfirullaahal’adziim. Ampuni hamba Ya Rabb apabila hal ini membuat Engkau tidak menyukai. Namun dengan segala kelembutan-Mu, mohon bimbinglah kami dalam menjadikan hati-hati ini lembut. Sehingga kelembutannya menjadi jalan bagi kami dalam berlemah lembut terhadap hamba-hamba-Mu yang lain.

Kelembutan yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku kami. Pun kelembutan itu melekat erat dalam nada suara yang mengalir dari bibir ini. Lembutkanlah hati kami Ya Rabb, Engkau Yang Menggenggamnya, Membolak-balikkan dengan Kuasa-Mu. Aamiin ya Rabbal’alamiin.”
Ada gumpalan rasa yang ingin menunjukkan dirinya segera, setiap kali aku mendengarkan nada-nada suara yang tinggi.
Ingin ku suarakan ia dalam bicara, namun bibir ini segera mengatup, rapat tak mau berbunyi.
Hingga buliran air mata pun porak poranda melewati batang bulu mataku, menderas bersahutan.
Hik hiks…, aku mo menangis segera, bila mendengarkan suara yang bernada tinggi di hadapan ku.

Begitulah.

Namun apa yang terjadi? Ketika nada-nada yang lebih dari normal itu masih terdengar oleh indera pendengaran ini,
sedangkan ia tidak tertuju pada ku, langsung. Apakah yang aku alami pada saat yang sama? Wajah ku memang tidak menangis.
Akan tetapi, ada kesabaran yang aku pertahankan. Sedangkan di dalam hati ku, menangis.  Aku sangat pilu. Aku terluka.
Aku ingin memandang kepingan hati yang mulai memisahkan diri. Aku ingin menyatukannya lagi, agar ia tidak merasakan apa itu luka.
Aku ingin segera merengkuhnya, menggenggam erat, dan merapikan dengan telaten. Aku, kiranya tidak dapat merengkuh kepingan hati
yang berangsur-angsur pecah. Berderai ia, meneteskan sisa-sisa kepedihan, ia merasa tersayat sembilu. Ia merasakan bagaimana
hati lain di luar sana, yang sedang berhadapan dengan suara-suara bernada tinggi. Aku, itulah aku.

Sedangkan kepingan hati di sana?
Ah, tidak dapat aku bertanya pada saat yang sama. Apakah ia pun terluka?
Semaksimal upaya ku coba memanggilnya, menyapa dan menjaga. Semampu ku coba untuk memberikan perhatian terbaik padanya.
Namun masih saja aku belum mampu memberikan cara terbaik ku. Wahai hati, ku bisikkan padamu kini, tolong maafkan aku yang terlalu perasa. Adakah yang salah?

Dalam pikirku menitip bayang. Sebaris pesan ingin dia sampaikan. Alangkah baik kiranya, kalau kita mengembalikan semua yang kita lakukan terhadap diri kita utamanya. Karena pastilah, sebagai sesama insan, kita mempunyai rasa, bukan? Maka apa yang kita rasakan, pun orang lain mengalami juga.


0 komentar:

Post a Comment