Tulisan
dan rangkaian kalimat pada catatan kali ini, ku awali dengan linangan air mata..Yaaah, karena
aku telah menangis sebelum menulis di halaman ini. Aku menangis, karena aku
pengen, itu saja. Dan kini, tetes bening hangat kehidupan masih tersisa di pipi
ku. Sesekali, ia menderas, lalu berkurang lagi. Dan begitulah seterusnya. Ada
beberapa bulir yang masih mengayut, menghangatkan pipi ku. Sedih, banget!
Entahlah, aku
benar-benar dalam kondisi sangat bersedih, saat ini. Entah mengapa..mood is falling
down.
Baiklah teman…
Pada
awal tulisan ini, aku kembali tersedu. Sedangkan tetesan air mata yang mengalir
di pipi ku makin membuncah lagi.
Mata
ku mulai agak buram saat memandang dan melihat kata demi kata pada display ini
mulai mengembang.
Makanya,
aku menyeka kedua mata ku yang semakin basah.
Sebelum menyampaikan
apa yang aku ingin sampaikan, “Aku bermohon kepada Allah Yang Maha Pengampun,
untuk mengampuni segala kesalahan ku. Astaghfirullaahal’adziim. Ampuni hamba Ya Rabb
apabila hal ini membuat Engkau tidak menyukai. Namun dengan segala
kelembutan-Mu, mohon bimbinglah kami dalam menjadikan hati-hati ini
lembut. Sehingga kelembutannya menjadi jalan bagi kami dalam berlemah lembut
terhadap hamba-hamba-Mu yang lain.
Kelembutan yang
tercermin dalam sikap dan tingkah laku kami. Pun kelembutan itu melekat erat
dalam nada suara yang mengalir dari bibir ini. Lembutkanlah hati kami Ya Rabb,
Engkau Yang Menggenggamnya, Membolak-balikkan dengan Kuasa-Mu. Aamiin ya
Rabbal’alamiin.”
Ada
gumpalan rasa yang ingin menunjukkan dirinya segera, setiap kali aku
mendengarkan nada-nada suara yang tinggi.
Ingin
ku suarakan ia dalam bicara, namun bibir ini segera mengatup, rapat tak mau
berbunyi.
Hingga
buliran air mata pun porak poranda melewati batang bulu mataku, menderas
bersahutan.
Hik
hiks…, aku mo menangis segera, bila mendengarkan suara yang bernada tinggi di
hadapan ku.
Begitulah.
Namun
apa yang terjadi? Ketika nada-nada yang lebih dari normal itu masih terdengar
oleh indera pendengaran ini,
sedangkan
ia tidak tertuju pada ku, langsung. Apakah yang aku alami pada saat yang sama?
Wajah ku memang tidak menangis.
Akan
tetapi, ada kesabaran yang aku pertahankan. Sedangkan di dalam hati ku, menangis.
Aku sangat pilu. Aku terluka.
Aku
ingin memandang kepingan hati yang mulai memisahkan diri. Aku ingin
menyatukannya lagi, agar ia tidak merasakan apa itu luka.
Aku
ingin segera merengkuhnya, menggenggam erat, dan merapikan dengan telaten. Aku,
kiranya tidak dapat merengkuh kepingan hati
yang
berangsur-angsur pecah. Berderai ia, meneteskan sisa-sisa kepedihan, ia merasa
tersayat sembilu. Ia merasakan bagaimana
hati
lain di luar sana, yang sedang berhadapan dengan suara-suara bernada tinggi.
Aku, itulah aku.
Sedangkan
kepingan hati di sana?
Ah,
tidak dapat aku bertanya pada saat yang sama. Apakah ia pun terluka?
Semaksimal
upaya ku coba memanggilnya, menyapa dan menjaga. Semampu ku coba untuk
memberikan perhatian terbaik padanya.
Namun
masih saja aku belum mampu memberikan cara terbaik ku. Wahai hati, ku bisikkan
padamu kini, tolong maafkan aku yang terlalu perasa. Adakah yang salah?
Dalam
pikirku menitip bayang. Sebaris pesan ingin dia sampaikan. Alangkah baik
kiranya, kalau kita mengembalikan semua yang kita lakukan terhadap diri kita
utamanya. Karena pastilah, sebagai sesama insan, kita mempunyai rasa, bukan?
Maka apa yang kita rasakan, pun orang lain mengalami juga.
0 komentar:
Post a Comment